SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi bandungmawardi@yahoo.co.id Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi  bandungmawardi@yahoo.co.id  Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi
bandungmawardi@yahoo.co.id
Pengelola Jagat Abjad Solo

Berita politik, korupsi, aksi kekerasan, kriminalitas telah jadi menu besar dalam sajian berita di koran dan majalah. Berita-berita itu sering membuat pembaca termangu, merasa ada ketidakberesan di Indonesia. Berita tentu memberi rangsangan bagi pembaca untuk berefleksi dan menentukan aksi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kita memang ingin menganggap berita adalah rujukan mengerti pelbagai peristiwa, berlangsung dari hari ke hari. Berita-berita besar bisa menguras perhatian ketimbang berita kecil dan ganjil. Pembedaan ini tak bermaksud meremehkan sajian berita kecil dan ganjil. Kita memiliki hak dan kompetensi turut merenung dan berreaksi jika berkaitan dengan nasib dunia dan manusia.

Harian Solopos akhir Agustus lalu menerbitkan sejumlah berita serta  tajuk bertema jebakan tikus dengan listrik bertegangan tinggi yang memakan korban nyawa manusia. Tikus dan kematian manusia menjadi tema genting, berkaitan kasus serbuan tikus ke lahan pertanian di wilayah Klaten, Sukoharjo, dan Sragen.

Harian Solopos beruntun memuat berita tentang aksi petani membasmi hama tikus menggunakan listrik bertegangan tinggi yang dialirkan ke lahan sawah. Aksi itu memang bisa membunuh ratusan tikus. Niat mengusir dan membunuh tikus bertujuan melindungi tanaman padi, sumber penghidupan para petani.

Mereka tak ingin rugi atau menangis meratapi nasib bertani akibat serangan tikus. Pembasmian pun dilakukan dengan risiko kematian manusia. Aliran listrik untuk membunuh tikus justru mengenai manusia. Aksi itu menimbulkan korban manusia dan kematian ular sebagai  hewan predator tikus.

Kita membaca pesan redaksi Solopos bahwa pembasmian tikus dengan listrik berisiko tinggi. Kita tak harus menimpakan kesalahan kepada petani. Aparat-aparat pemerintah melalui instansi pertanian juga patut diberi jeweran dan gugatan. Mereka tampak tak memiliki kebijakan pertanian, memperhatikan dan membimbing petani dalam mengelola sawah.

Pemerintah tentu sibuk membuat laporan pertanian di kertas ketimbang hadir di desa-desa dan berlumpur di sawah. Komunikasi dengan petani seolah tak terjadi, mengakibatkan ada perbedaan persepsi dan aksi. Kasus kematian orang terkena aliran listrik membuktikan ada kesenjangan kebijakan pembasmian tikus antara petani dan pemerintah.

Peristiwa ironis di dunia pertanian abad XXI mengingatkan kita atas sejarah pertanian dan kearifan manusia Jawa. Kita bisa membuka kembali Kitab Mujarobat, kitab tentang jimat rajah, mantra, doa hasil racikan Islam dan Jawa.

Halaman-halaman di Kitab Mujarobat mencantumkan perihal doa menanam palawija, doa memetik padi, doa pembungkam ular, jimat rajah pencegah babi hutan dan tikus, rajah penolak belalang.

Kitab Mujarobat itu gamblang memberi tuntunan bagi orang Jawa untuk menuliskan selarik doa dalam huruf-huruf Arab, diletakkan di sekian penjuru area sawah. Ritus itu ampuh mengusir tikus. Sawah pun terselamatkan, rezeki masih bisa diharapkan demi memenuhi kebutuhan hidup bagi kalangan petani.

Anjuran dari kearifan Jawa di masa silam adalah kesadaran etis dan ekologis dalam bertani. Petani mesti menciptakan harmoni bersama alam, mengolah tanah tanpa melakukan eksploitasi dan keserakahan. Bertani selalu berurusan dengan Tuhan, flora, fauna, manusia, air, tanah, angin.

Kosmologi agraris Jawa menghendaki ada harmoni, hidup berjalan dengan anutan nilai-nilai demi kebaikan dan kebahagiaan. Ingatan atas ritus-ritus pertanian di masa lalu telah rapuh, berganti kesadaran teknologi dalam bertani. Risiko pun muncul berwujud keberlimpahan hasil pertanian meski harus diperoleh dengan aksi eksploitatif.

 

Pudar

Kesadaran etis-ekologis perlahan pudar. Peran pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan bertanian bersandar kosmologi agraris juga tergantikan oleh mantra Revolusi Hijau dan pembangunanisme. Kita bergerak cepat untuk ”menghancurkan” ritus-ritus pertanian berdalih kemajuan zaman.

Pemerintah telah abai, menggerakkan pertanian tanpa referensi etis-ekologis. Situasi ironis ini terjadi secara masif selama masa Orde Baru. Kita pun mengingat bahwa Soeharto menghendaki pertanian menjadi simbol pembangunan di Indonesia, berlimpah hasil dengan menerapkan teknologi pertanian.

Kita bisa membandingkan kebijakan Orde Baru mengacu anjuran aparat-aparat pemerintah di masa 1940-an. Pamong Kismo Tegalgondo, Delanggu, Klaten (1941) pernah mengeluarkan buku mengenai woelangan bertani berjudul Pantoen, Katjang-Pendem, Kedele, Brambang. Kebijakan untuk membasmi tikus dicantumkan agar ada pedoman bagi petani. Ikhtiar membasmi hama tikus tercantum dalam uraian nggoleki lan mateni tikoes kang pada ana rong.

Keterangan teknis: Toemindake adja moeng sapisan, nanging bola-bali lan koedoe milih wektoe kang prajoga, oepamane nalika tikoes wiwit njindil, jaikoe kiwa tengene sasi Maret. Nanging manawa tikoes akeh oetawa kagawa saka kahanan lija, bisa diwiwiti jen tandoer pari wis oemoer 3-4 minggoe, jaikoe mangsa tandoer wiwit kena dimangsa tikoes.

Petunjuk ini mengesankan teknis pembasmian bergantung kesadaran waktu dan kesabaran dalam bertindak. Zaman terus berubah. Tikus-tikus terus mencari santapan di sawah. Petani sering kewalahan untuk mencegah dan membasmi. Pola pertanian secara ekspolitatif dan pengabaian waktu-ekologis mengakibatkan tikus-tikus menjadi hama mengerikan.

Masa tanam padi dan panen dianjurkan oleh pemerintah dilakukan tiga kali selama setahun. Pembangunanisme menghendaki hasil berlimpah, melupakan kearifan lokal dan kosmologi agraris. Jadwal tanpa perhitungan kultural itu mengakibatkan tikus-tikus juga tak mengenal jadwal untuk menghabisi sawah.

Aksi pembasmian tikus pun tak dilakukan mengacu ke ritual-ritual dan teknik tradisional. Racun dan aliran listrik jadi pilihan agar sawah terbebas dari hama tikus. Kita mendapati lakon pertanian di Jawa menjadi lakon ironis. Pertanian mengalami pembangkrutan nilai-nilai kultural, religius, etis, ekologis.

Rezim Orde Baru telah membentuk pertanian sebagai urusan ekonomi, topangan dari agenda pembangunanisme. Peminggiran ritual-ritual dan nalar ekonomistik membuat kehidupan petani amburadul, kehilangan orientasi, dan kosmologi agraris berdalih harmoni.

 



 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya