SOLOPOS.COM - Joko Wahyono, Peneliti di Center for Study of Religion and Social Cultural Diversity Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogja

Joko Wahyono, Peneliti di Center for Study of Religion and Social Cultural Diversity Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogja

Setidaknya dua kali dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini kabut hitam menyelimuti bumi Sampang, Madura. Akhir Desember 2011 lalu rumah pemimpin warga Syiah diserang, musala dan madrasah mereka dibakar massa. Sebanyak 200 pengikut Syiah mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kini, Sampang kembali membara. Tepat sepekan setelah umat Islam merayakan Idul Fitri, warga Syiah di Nanggernang, Sampang, Madura, Jawa Timur kembali diserang. Diperkirakan sedikitnya dua orang warga Syiah tewas, sejumlah orang mengalami luka-luka, ratusan warga terpaksa mengungsi dan puluhan rumah penganut Syiah ludes dibakar massa.

Tidak ada motif rasional yang melatarbelakangi penyerangan tersebut. Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang yang menjatuhkan vonis dua tahun terhadap Tajul Muluk (Ketua Syiah Sampang) karena menghina Alquran tidak cukup menjadi pemantik bagi warga anti-Syiah untuk mengulangi aksi kekerasan.

Dalam vonis tersebut jelas dinyatakan bahwa ajaran Syiah ala Tajul ini tidak masuk kategori aliran sesat sehingga ajarannya tetap bisa dijalankan oleh para penganutnya dengan tenang. Sementara konstitusi memberikan tanggung jawab kepada negara untuk melindungi dan mengayomi setiap pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agama dan sistem kepercayaan yang mereka anut.

 

Klaim Mayoritas

Jika ditelisik lebih mendalam, tragedi kaum Syiah di Sampang merupakan cermin dari kegagalan negara dalam melaksanakan sistem demokrasi yang menghendaki perlindungan terhadap hak-hak individu. Pada kenyataannya, sistem demokrasi lebih mengedepankan kontestasi mayoritas versus minoritas. Banyak kebijakan publik yang didasarkan pada suara mayoritas.

Begitu pula harus jujur diakui bahwa mentalitas orang beragama masih terjebak pada logika tersebut. Konsepsi kebenaran ajaran agama dinilai dengan jumlah mayoritas. Sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti dalam beragama.

Di sinilah benturan mentalitas orang beragama dengan demokrasi mayoritas terjadi. Dalam kondisi ini hampir tidak pernah diketemukan ruang diskusi untuk mencapai titik kompromi. Sebaliknya, atas nama demokrasi kaum mayoritas bisa mengklaim memiliki otoritas untuk memaksakan kebenaran versi mereka. Sementara kaum minoritas harus tunduk pada klaim-klaim kebenaran kaum mayoritas.

Klaim kebenaran ini berlaku di hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di wilayah agama. Posisi mayoritas ini pada gilirannya kerap dimanfaatkan secara superfisial untuk mengancam dan mengintimidasi kelompok minoritas lain. Akibatnya, nilai-nilai substansi demokrasi, seperti kesetaraan, keadilan, toleransi dan tanggung jawab diabaikan demi mengedepankan kepentingan kelompok mayoritas tertentu.

Kekerasan yang menimpa warga Syiah di Sampang menjadi bukti pelaksanaan demokrasi mayoritas ini. Mentalitas demokrasi yang mengedepankan diskusi yang rasional dan keterbukaan cara berpikir menjelma menjadi kekuasaan mayoritas yang cenderung tiran dan anarkistis.

Inilah wujud ekspresi demokrasi yang kebablasan. Di satu sisi, demokrasi menjamin hak asasi individu. Di sisi lain, kekerasan yang dipraktikkan justru merupakan penindasan terhadap hak asasi individu. Di sinilah demokrasi tercerabut dari akar historisnya.

Kondisi ini merupakan antitesis terhadap agenda demokrasi sebagai sistem untuk mengawal serta melindungi kebebasan hak setiap warga negara dalam menjalankan ajaran agama yang diyakininya.

 

Jaminan Kultural

Kekerasan merupakan pengingkaran terhadap hak asasi individu. Hak asasi individu adalah rumusan ”sakral” yang tidak boleh diruntuhkan karena menjadi basis kuat dari demokrasi. Meski kehendak mayoritas berdaulat dalam sistem demokrasi namun terdapat area tertentu yang tidak bisa disentuh oleh kehendak mayoritas, yakni hak individu.

Perlindungan terhadap hak individu ini berangkat dari konsepsi bahwa manusia memiliki nilai-nilai instrinsik berupa harkat dan martabat yang dilekatkan oleh Sang Pencipta. Negara harus paham bahwa dasar-dasar demokrasi yang sehat dan kuat adalah jaminan terhadap empat kebebasan pokok manusia yakni freedom of speech, freedom of religion, freedom from want dan freedom from fear (Franklin D Roosevelt, 1941).

Di sinilah demokrasi harus menjadi jaminan kultural bagi kehidupan beragama. Demokasi tidak cukup diimplementasikan secara prosedural. Pemerintahan demokratis tidak akan berjalan jika mengabaikan hak-hak individu, baik di ranah politik, ekonomi, berpendapat, berbicara, berkumpul, maupun beragama dan berkeyakinan.

Ketika hal ini dipisahkan dari demokrasi, maka hasilnya adalah tirani dan anarki. Demokrasi harus menjadi cara hidup yang mampu melahirkan kultur masyarakat egaliter dengan mengedepankan kesetaraan, keadilan, toleransi dan kebebasan bertanggungjawab bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.

Konkritisasi dari jaminan kultural demokrasi adalah penegakan hukum. Penegakan hukum tanpa diskriminasi merupakan prinsip fundamental dalam demokrasi sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dalam penyelesaian konflik dan kekerasan horizontal.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum justru melegitimasi usaha main hakim sendiri. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat sipil menggunakan kekerasan. Sembari mengelola setiap perbedaan dengan membuka ruang diskusi dialogis, negara harus menegakkan hukum sehingga jalur ekstraparlementer yang retan terhadap kekerasan dapat dieliminasi.

Jika kekerasan terhadap warga Syiah di Sampang dibiarkan tanpa sanksi yang tegas, bukan tidak mungkin kekerasan berjubah agama lainnya akan terus bermunculan. Masih banyak aliran-aliran agama dan kepercayaan minoritas lainnya yang berbeda dengan aliran mainstream di negeri ini.

Oleh karena itu, negara harus hadir memberikan jaminan kultural dengan membangun iklim demokrasi yang adil, rasional, terbuka, sehat dengan memperhatikan nilai-nilai moral kemanusiaan dan keagamaan.



 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya