SOLOPOS.COM - Pekerja melintas di area THR Sriwedari, Solo, Minggu (10/12/2017). (M. Ferri Setiawan)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (27/12/2017). Esai ini karya Aris Setiawan, esais dan Vianisti yang menjadi dosen di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Alamat e-mail penulis adalah segelas.kopi.manis@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Taman Hiburan Remaja (THR) Sriwedari Solo resmi ditutup pada 4 Desember 2017 lalu. Rencananya di kawasan bekas THR Sriwedari akan dibangun masjid. THR Sriwedari selama ini menjadi ruang publik bagi masyarakat akar rumput di Kota Solo.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dengan demikian, tutupnya THR Sriwedari sekaligus juga menjadi kekalahan hiburan bagi rakyat kecil, tergantikan dengan mal dan gedung-gedung komersial bertingkat. Jejak hidup THR Sriwedari tidak semata-mata menyajikan hiburan permainan anak seperti mobil senggol, komedi putar, perahu anak, roller coaster, dan lain sebagainya, tapi juga sajian pertunjukan musik.

Dangdut menjadi salah satu sajian utama yang ditunggu (di samping tembang kenangan Koes Plus). Musik dangdut kali pertama digelar pada 1987 atau dua tahun setelah THR dibuka untuk kali pertama (Maret 1985).

Dangdut yang dianggap sebagai representasi musik desa atau kampungan kala itu justru menjadi hiburan yang menyenangkan dan membangkitkan antusiasme masyarakat Solo untuk mendatangi THR Sriwedari. Pengunjung sering kali harus antre berjam-jam sebelum pertunjukan dangdut digelar. Sejarah THR Sriwedari adalah sejarah dangdut di Solo.

Kuntowijoyo dalam tulisannya berjudul Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa (2003), menjelaskan jejak sejarah pembangunan Sriwedari bukan sekadar pengakuan legitimasi kekuasaan seorang raja.

Lebih dari itu, Sriwedari adalah ruang ”pelarian” tempat mimpi dan imjainasi masyarakat kecil tentang modernitas yang tidak mampu digapai. Kala raja, pemerintah kolonial, dan kaum priayi-bangsawan mampu memanjakan hidup dengan bergelimang fasilitas, satu-satunya hiburan yang memungkinkan diakses masyarakat kecil (wong cilik) adalah Sriwedari.

Selanjutnya adalah: Masyarakat kecil hanya mampu menjadi penonton

Menjadi Penonton

Masyarakat kecil hanya mampu menjadi penonton paling pinggir saat trem kota, listrik, bioskop, dan gedung pertunjukan serta hiburan baru dihadirkan di lingkungan dalam tembok istana. Mereka tidak dapat menjangkau karena harganya yang mahal.

Sriwedari kemudian menjadi wilayah pelarian wong cilik dari kekalahan mereka karena tidak mampu mengakses fasilitas yang dimiliki kalangan atas. Sriwedari tidak ubahnya upaya ”penjinakan” (dalam bahasa Kuntowijoyo: pelarian) agar masyarakat kecil tak terlalu menuntut akibat kecemburuan sosial.

Dari situlah Sriwedari tidak lagi sekadar tempat hiburan, namun berpendar menjadi makna dan nilai-nilai baru. Masyarakat akar rumput datang untuk menghibur diri, bertemu, dan bersosialisasi dengan sesama.

Siapa pun tanpa status dan golongan sosial dapat mendatangi Sriwedari. Hal ini sekaligus menjelaskan tentang dikotomi antara siapa pengunjung Sriwedari dan pengakses hiburan kelas atas.

Lambat laun, THR Sriwedari hadir dengan isi yang juga merakyat. Dangdut adalah sebuah keniscayaan untuk diadakan. Setiap Rabu malam dan Sabtu malam dangdut dihadirkan. Masyarakat datang untuk bergoyang dan berdendang.

Pembangunan mal dan gedung-gedung komersial baru terus berjalan melintasi waktu, tapi dangdut di THR Sriwedari masih terus menemani. Penggemarnya tentu bukanlah kalangan elite, namun tukang becak, kuli, buruh pabrik, sopir angkutan perkotaan, dan sejenisnya.

Dengan berdangdut mereka melepaskan impitan masalah yang selama ini dihadapi. Sedikit mengobati kekalahan hidup dengan nyanyian dan goyangan. Setidaknya, dengan dangdut, mereka masih bergoyang, walaupun sesedih apa pun lagu yang dibawakan.

Selanjutnya adalah: Dangdut adalah musik yang menarasikan kehidupan

Narasi Kehidupan

Dangdut adalah musik yang menarasikan kehidupan masyarakat kecil. Kehidupan mereka dikisahkan lewat lirik-lirik tembang dangdut yang tak semata-mata berisi romantisme serius ala generasi pecinta drama Korea.

Romantisme versi dangdut justru sangat egaliter, blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling, sederhana, dan merakyat. Dengarkanlah lagu-lagu dangdut terbaru seperti Semar Mesem, Bojo Galak, dan Ditinggal Rabi versi Nella Kharisma atau Sayang, Kebacut Kangen, Kimcil Kepolen, dan Selingkuh versi Via Vallen.

Sayangnya, THR Sriwedari harus tutup kala lagu dangdut daerah sedang mekar-mekarnya. Lewat panggung THR Sriwedari, legitimasi nama Via Vallen sebagai artis dangdut papan atas diguratkan.

Menurut artis asal Desa Kalitengah, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur itu, komunitas penggemarnya, yang dikenal dengan nama Vianisti, muncul kali pertama di panggung dangdut THR Sriwedari Solo.



THR Sriwedari dengan hiburan ala masyarakat kecil berusaha bertahan dan melawan di tengah gempuran varian hiburan baru yang lebih modern dan canggih. Dengan tutupnya THR Sriwedari maka kisah-kisah berdangdut dan bergoyang secara rutin kini telah tiada.

Masyarakat kehilangan ruang eksistensi diri. Mendatangi konser dangdut di THR Sriwedari tidak semata-mata karena keinginan bergoyang dan bernyanyi, namun lebih dari itu, berdangdut adalah upaya detoksifikasi dari berbagai ketimpangan hidup.

Setelah bergoyang, keringat bercucuran, badan segar, dan tidur nyenyak. Bernyanyi dangdut tak ubahnya pencurahan isi hati. Mereka menceritakan kisah hidup bukan kepada teman, sahabat atau orang lain, tapi pada “nada dan lirik dangdut”.

Selanjutnya adalah: Panggung dangdut di THR Sriwedari

Dangdut

Panggung dangdut di THR Sriwedari bukan sekadar arena yang menceritakan kisah-kisah ketubuhan lewat goyangan sensual penyanyi, tapi pada nilai-nilai tak terbatas yang tak mampu dijangkau oleh telinga dan mata.

Menutup THR Sriwedari berarti menutup pula harapan, mimpi, dan imajinasi masyarakat akar rumput. THR Sriwedari tidak hanya melahirkan artis-artis dangdut sekelas Via Vallen, namun juga komunitas-komunitas yang memberi penyegaran tentang warna Kota Solo yang tak melulu harus ”adiluhung”, kaku, dan monoton.

THR Sriwedari menjadi simbol antitesis dari kebekuan sebuah kota yang melegitimasi dirinya sebagai ”kota budaya” dan ”tradisi”. Justru dengan berdangdut di THR Sriwedari, Solo menunjukkan keterbukaan dan keberpihakan kepada masyarakat kecil.

Membangun masjid di area bekas THR Sriwedari barangkali berangkat dari visi menginsafkan diri dari goyang dan nyanyian vulgar berdangdut, tapi juga tak menjamin menjadikan masyarakat Solo lebih religius dan agamis.

Dengan melihat fakta bahwa sejarah dibangunnya Sriwedari adalah ruang sosial dan kultural bagi masyarakat kecil, sudah selayaknya episentrum serupa dapat hadir kembali.

Jika THR Sriwedari telah tutup, ke mana masyarakat kelas bawah harus mencari ”pelarian” dan hiburan jika mal-mal dan gedung komersial bertingkat tak mampu dijangkau serta terasa asing dan aneh bagi mereka? Solo butuh THR Sriwedari dan tentu saja panggung dangdut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya