SOLOPOS.COM - Joko Wahyono djowhy@yahoo.co.id Analis di Center for Study of Religion and Social-Cultural Diversity Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Joko Wahyono  djowhy@yahoo.co.id     Analis di Center for Study of Religion and Social-Cultural Diversity Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Joko Wahyono
djowhy@yahoo.co.id
Analis di Center for Study of Religion and Social-Cultural Diversity Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Idul Adha selalu mendatangkan euforia bagi umat Islam di Indonesia. Semarak kegembiraan tergambar jelas dengan semakin meningkatnya antusiasme masyarakat untuk menyembelih hewan kurban (udhiyah). Entah didasari atau digerakkan oleh motif dan kepentingan apa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun, yang jelas ada berkah yang tersembunyi (blessing in disguise) yang ingin diperjuangkan oleh mereka yang berkurban (al-qarib). Seperti jamak kita ketahui pelaksanaan ritus kurban merefleksikan catatan sejarah perjuangan monoteistik dan humanistik Nabi Ibrahim.

Dimensi monoteistik tecermin dari semangat ketauhidan Ibrahim yang tulus, setia, dan loyal terhadap titah Sang Pencipta. Sejarah merekam perjuangan Ibrahim yang diperintah Tuhan untuk menyembelih Ismail.

Ekspedisi Mudik 2024

Besarnya rasa cinta dan kasih sayang Ibrahim kepada putra kesayangannya itu harus diuji dengan ketaatan dan kesetiaannya kepada Tuhan. Akhirnya, keduanya bersepakat untuk melaksanakan perintah itu dan Tuhan menggantikan jasad Ismail dengan seekor domba yang kemudian disembelih oleh Ibrahim.

Ini memang sebuah peristiwa di luar batas nalar manusia biasa. Logika dan hati nurani manusia mana yang sanggup melaksanakan itu? Di sinilah letak kuasa Tuhan yang menyiratakan pesan moral keilahian melalui pengorbanan dua hamba-Nya agar tertransformasikan ke dalam aksi nyata perjuangan kemanusiaan.

Betapa ritus kurban memiliki dimensi ritual transendental sekaligus sosial. Ali Syari’ati (1997) juga menuturkan ritus kurban tidak hanya bermakna kedekatan secara total kepada Tuhan, tetapi juga kedekatan kepada sesama yang miskin dan terpinggirkan. Ini mencerminkan pesan solidaritas sosial Islam dengan mendekatkan diri kepada masyarakat yang kekurangan.

Namun, tingginya kesadaran berkurban tak linier dengan peningkatan kesejahteran masyarakat. Dan memang terlalu berlebihan jika mengharap ritus kurban menjadi medium pembebas masyarakat dari belenggu kemiskinan.

Tetapi, justru dari situlah titik tolak kita untuk mengukur sejauh mana masyarakat memahami esensi pengorbanan sebenarnya lewat ritus kurban sesuai yang dikehendaki Tuhan.

 

Hanya Seremoni

Agenda reformasi yang semula menawarkan harapan kini berbuah kecemasan. Bukan perubahan yang terjadi, melainkan keterpurukan. Praktik korupsi yang terdesentralisasi dari hulu ke hilir telah memeratakan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan.

Sementara beratus-ratus ton daging kurban tiap tahun didistribusikan oleh para penyelenggara negara di setiap momentum Idul Adha. Namun sayang, untuk kesekian kalinya muatan humanistik ritus kurban gagal membebaskan masyarakat dari lilitan krisis kesejahteran.

Praktik kurban hanya berhenti pada seremoni ”menyembelih” hewan kurban dan mendistribusikan dagingnya. Ritus kurban kering dari pemaknaan sosial. Bahkan, tampaknya berkurban hanya untuk memuaskan nafsu insani semata.

Nafsu ini terlihat dari harapan yang menggebu-gebu agar hewan yang disembelih akan datang memberi syafaat di akhirat kelak. Tak sedikit pula hasrat berkurban hanya untuk ajang perlombaan pamer kesalehan dan kedermawanan sosial demi status istimewa (privilege) di masyarakat.

Ini jelas sebuah mentalitas beragama yang penuh kepura-puraan (artificial). Semuanya berpacu untuk memperoleh kesalehan individual dengan menjadi hamba yang paling dekat dengan Tuhan. Inilah yang menyumbat saraf sensitivitas sosial sehingga mengabaikan problem kemanusiaan.

Meningkatnya kesadaran berkurban tak mambuat peka terhadap akar kemiskinan dan beragam persoalan kesejahteraan bangsa. Pengorbanan seakan berakhir seiring ditunaikannya pembagian daging kurban.

Di sinilah mengapa spirit kemanusiaan ritus kurban tak pernah tertransformasikan ke dalam orkestra penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat dan elite politik hanya berani ”berkorban” ketika kalkulasi politik menguntungkan kekuasaan mereka ketimbang kemaslahatan bangsanya.

Pengorbanan mereka hanya untuk menyenangkan kehendak pribadi daripada kehendak sosial. Seakan tak ada celah sedikit pun untuk memihak dan memperjuangkan nasib rakyat kecil. Nafsu berkuasa, memiliki jabatan, status sosial, dan harta kekayaan telah menggelapkan hati nurani kemanusiaan.

Mereka memandang rakyat sebagai ladang untuk digarap demi keuntungan pribadi dan golongan mereka sendiri. Sebuah mentalitas pejabat dan elite politik yang minus jiwa negarawan.

 

Deklarasi Perlawanan

Sebagai ritus utama dalam Idul Adha, kurban pada hakikatnya adalah upaya untuk mengembalikan nilai kemanusiaan melalui semangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Semangat ini merupakan pancaran dari jiwa negarawan yang bebas dari jerat nafsu insani.

Ritus kurban merupakan deklarasi perlawanan terhadap dominasi energi negatif yang merendahkan martabat kemanusiaan. Menurut Ali Syari’ati (1997), Ismail hanya simbol dari seorang manusia, benda, harta, pangkat, kedudukan, kekuasaan, yang membuat seseorang memikirkan kepentingannya sendiri.



Kecintaan terhadapnya hanya akan membuat manusia menjadi egois, rakus, ambisius, suka menindas, dan menyerang yang berujung pada kehancuran sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk itu, segala bentuk energi negatif itu harus disembelih sebagai konkretisasi ketundukan diri kepada Tuhan yang mewujud bersama peningkatan kepekaan moral kemanusiaan. Kepekaan ini kemudian akan bermuara pada empati dan peduli kepada nasib rakyat kecil yang ditimpa kesusahan.

Di sinilah muatan esensi ritus kurban, yakni untuk menumbuhkan jiwa negarawan. Sebuah kekuatan hati untuk meningkatkan kepedulian dan menggelorakan pengorbanan an sich demi kesejahteraan bangsa. Kekuatan yang tak larut oleh intervensi dari berbagai macam kepentingan, baik pribadi, partai politik, dan golongan tertentu di luar kepentingan bangsa dan negara.

Kini, semangat berkurban harus menjasad menjadi pembangunan karakter bangsa di tengah krisis kesejahtaraan yang berkepanjangan. Momentum Idul Adha harus terejawantah menjadi benteng keadilan sosial, penghapus diskriminasi dan penindasan.

Ritus kurban merupakan sarana untuk memerdekakan diri dari dominasi nafsu insani dan jasadiah menuju jiwa negarawan sejati bernapaskan nurani kemanusiaan. Tanpa jiwa negarawan dan semangat pengorbanan, tak akan terbangun peradaban yang luhur. Selamat berkurban!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya