SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Prapto Yuwono,  Dosen Kebudayaan dan Sejarah Jawa di Program Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Saya ikut merasa bangga dengan keberhasilan Wayang Orang (WO) Sriwedari baru-baru ini pentas di Gedung Kautaman Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta membawakan lakon Punakawan Tandang. Oleh Undung Wiyono (SOLOPOS, Rabu, 27 Maret 2013)  WO Sriwedari dalam lakon Punakawan Tandang itu dikatakan berhasil ”triwikrama”, menjadi raksasa yang besar dan mengobrak-abrik anggapan penonton Jakarta selama ini yang mencitrakan WO Sriwedari sebagai grup wayang orang pinggiran yang loyo.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dengan keberhasilan ini apakah dapat mendongkrak kembali perhatian masyarakat Kota Solo dan Soloraya terhadap persoalan memperbaiki ”keterpurukan” WO Sriwedari di kandangnya sendiri? Ironis dengan keberhasilannya, saya kaget setengah mati ketika mendapat informasi ternyata harga tiket WO Sriwedari masih Rp3.000.

Tidak usah membayangkan bagaimana cara mengelola WO Sriwedari kalau pemasukan dari tiketnya saja tak sebanding dengan biaya produksinya. Undung juga menginformasikan, pada kesempatan lain, di Jakarta misalnya, untuk membayar pemain yang jumlahnya kurang lebih 30 orang ditambah 15 orang penabuhnya, WO Bharata harus mengeluarkan honor yang tidak sedikit setiap kali pentas.

Sesungguhnya sudah terlalu lama dan banyak orang yang miris dengan keadaan ini. Saya memang pernah mengadakan survei kecil-kecilan (2009) terhadap para penonton WO Sriwedari tentang kesan dan pesan mereka setelah menonton. Beberapa kesan dapat saya sampaikan. Pertama, meskipun setiap hari Jumat malam dan Sabtu malam WO Sriwedari selalu mengadakan pertunjukan namun pengunjung selalu sedikit, sepi.

Kedua, kualitas pementasan WO Sriwedari dapat dikatakan kurang memuaskan bahkan sering kali mengecewakan. Ketiga, ada kesan bahwa para pemain WO Sriwedari tidak tampil secara total alias tidak kreatif dan tidak inovatif. Keempat, pengelolaan gedung dengan berbagai sarana dan fasilitasnya kurang profesional. Kelima, lingkungan sekitar gedung WO Sriwedari tidak kondusif lagi karena posisinya bercampur dengan tempat-tempat hiburan yang bukan berkategori seni.

Namun, sebaliknya, ada pula pesan dan harapan yang besar terhadap WO Sriwedari. Ada beberapa harapan dan keinginan masyarakat Kota Solo, dan umumnya masyarakat Jawa Tengah, terhadap eksistensi WO Sriwedari. Pertama, WO Sriwedari diharapkan menjadi tontonan dan hiburan alternatif untuk memenuhi pemuasan kebutuhan memori kolektif.

Kedua, WO Sriwedari diharapkan dapat dikemas kembali menjadi salah satu tontonan seni tradisional yang adiluhung dan berkualitas. Ketiga, WO Sriwedari diharapkan menjadi salah satu identitas budaya dan kebanggaan (ikon) masyarakat Kota Solo, dan mungkin juga masyarakat Soloraya. Kalau begitu, apa yang harus segera dilakukan terhadap WO Sriwedari?

Pada 1950-an hingga awal 1980-an, WO Sriwedari memang mengalami popularitas yang sangat mengagumkan. Saat itu WO Sriwedari menjadi satu-satunya hiburan yang paling diminati di Kota Solo, bahkan di Soloraya. Ketika itu WO Sriwedari dapat dikatakan sejajar dengan popularitas pertunjukan bioskop atau film layar lebar yang pada saat itu mulai merebak menjadi kegemaran dan diminati masyarakat luas.

Memperbaiki apalagi mengembalikan citra WO Sriwedari seperti pada masa popularitasnya (1950-an hingga awal 1980-an) sungguh sulit dilakukan. Sulit karena selera masyarakat sekarang telah berubah. Masalah selera adalah masalah gaya hidup. Dilihat dari konteksnya, WO Sriwedari adalah identik dengan selera atau gaya hidup masa lalu, masa ketika masyarakat Jawa di Kota Solo dan Soloraya saat itu, meskipun mulai menunjukan diri sebagai masyarakat urban, masih sangat kuat berorientasi pada kebudayaan tradisi yang berpusat keraton.

Kehadiran WO Sriwedari sebagai seni hiburan pada saat itu belum punya banyak kompetitor. Meskipun pada saat itu mulai ada bioskop (selera dan gaya hidup modern), namun belum menjadi pesaing yang cukup berarti. Dengan demikian dapat dipahami mengapa WO Sriwedari sangat populer pada masanya. Saat ini WO Sriwedari memang masih tetap eksis, akan tetapi dalam kondisi hidup segan mati pun tak mau.

Banyak kalangan masyarakat luar Kota Solo setelah menonton pentas WO Sriwedari kemudian berkomentar bahwa WO Sriwedari sudah tidak punya gereget lagi. Ada juga yang mengatakan WO Sriwedari kini mengidap penyakit lesu darah. Dalam kondisi seperti ini tentu saja diperlukan suatu upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan untuk membangun kembali citra WO Sriwedari dari kondisi yang sangat terpuruk ini. Upaya yang dimaksud adalah suatu tindakan revitalisasi total.

 

Saran Tindakan

Atas dasar analisis permasalahan di atas saya punya pemikiran mengenai keperluan revitalisasi total WO Sriwedari yang meliputi beberapa hal. Pertama, membangun kembali citra WO Sriwedari yang berarti menempatkannya kembali bahkan meneguhkannya sebagai seni pertunjukan tradisional klasik Jawa yang berpusat pada keraton.

Konsekuensinya, WO Sriwedari harus bercitra adiluhun, memenuhi norma-norma dan kaidah ungkapan estetis, etis dan simbolis sesuai dengan citra kebudayaan keraton Jawa pada masa lalu. Dengan citra yang adiluhung itu, pertunjukan WO Sriwedari diharapkan menjadi salah satu seni pertunjukan tradisional klasik Jawa yang langka, elite, sekaligus berkualitas, bahkan mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat dan kebudayaan Jawa yang dapat dibanggakan.

Kedua, untuk membangun citra yang demikian itu, WO Sriwedari perlu didandani, terutama berkaitan dengan mentalitas pengelola dan para pemainnya, keterampilan atau skill para pemainnya, kualitas pertunjukannya, profesionalisme pengelolaannya dan sebagainya. Ketiga, di samping itu, situasi dan kondisi lingkungan sekitar gedung, termasuk sarana dan prasarana gedung pertunjukan WO Sriwedari juga harus dibenahi dan ditata kembali, agar suasana ”agung”, nyaman dan serius dapat terbangun saat pertunjukan berlangsung.

Bila perlu, penataan kembali tata ruang Taman Sriwedari sebagai kawasan budaya atau zona budaya Kota Solo harus juga dilakukan untuk mendukung tujuan tersebut. Bukankah pernah ada usul, kalau tidak salah dari Komunitas Pencinta Cagar Budaya Nusantara (KPCBN Surakarta), agar Taman Sriwedari segera ditetapkan berdasar peraturan daerah (perda) sebagai situs cagar budaya Kota Solo?

Keempat, bila memang ada pemikiran agar WO Sriwedari dijadikan ikon budaya Kota Solo, sebenarnya yang harus dijadikan ikon adalah ”WO”-nya, wayang orangnya, sedangkan lembaga WO Sriwedari sendiri sebagai komunitas atau kelompok seni (praktisi seni) adalah merupakan salah satu fakta sosial-historis yang mendukung, melestarikan dan mengembangkannya. (prapto08@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya