SOLOPOS.COM - Deklarasi antiradikalisme (JIBI/Dok)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (29/8/2017). Esai ini karya A. Windarto, peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah winddarto@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Dewasa ini radikalisme memiliki makna yang cenderung negatif di mata masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Hal itu merupakan konsekuensi dari pemakaian kata itu yang terlalu mengarah pada aksi-aksi kekerasan yang melibatkan kelompok/agama tertentu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

A. Windarto (Dok/JIBI/Solopos)

A. Windarto (Dok/JIBI/Solopos)

Itulah mengapa radikalisme menjadi tampak amat sadis, bahkan kejam, sehingga seperti tak layak tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia. Dalam historiografi Indonesia radikalisme merupakan salah satu bahan bakar yang mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat, termasuk untuk merdeka.

Tidak peduli agamanya apa, jenjang pendidikannya seperti apa, bekerjanya sebagai apa, yang penting adalah berani bergerak dan berevolusi, melawan kolonialisme dan antek-anteknya. Tak mengherankan banyak penguasa lokal dan kaki tangannya, seperti bupati, yang takut dengan radikalisme yang dipelopori sebagian besar pemuda.

Ben Anderson mengisahkan dalam bukunya yang berjudul Revolusi Pemoeda (1972/1988) ihwal kaum muda berumur belasan tahun yang belum pernah menghadapi tentara modern dengan nekad maju ke medan perang seperti di Surabaya pada 1945.

Selanjutnya adalah: Para santri merasa diri kebal…

Merasa Kebal

Para santri yang merasa diri kebal akibat pengaruh dan restu dari para kiai rela mati syahid hanya demi Indonesia merdeka. Jadi masuk akal tentara sekutu juga bengong melihat rakyat di Nusantara bisa bangkit melawan mereka dengan spirit yang tingginya bukan main.

Demikian ujar Ben dalam sebuah wawancara pada 1990-an yang dipublikasikan ulang dalam buku berjudul Membangun Republik (2017). Kenekadan seperti ini tampaknya punya kemiripan dengan aksi-aksi teror yang pada masa kini kerap dilabeli dengan ”radikalisme Islam”.

Dengan pekik “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, sebagaimana diteriakkan Bung Tomo melalui radio setiap hari pada jam tertentu di Surabaya dan sekitarnya, para teroris juga bersedia melenyapkan nyawa orang lain, bahkan nyawanya sendiri juga dipertaruhkan.

Meski sama-sama tidak bisa menang, semuanya merasa telah berkorban demi suatu pembayangan yang serbaterbatas. Ada satu perbedaan penting yang membuat radikalisme bukan sekadar bermakna menebar ketakutan, melainkan justru merupakan suatu cita-cita untuk hidup bebas dan merdeka.

Pada masa revolusi kaum muda sering berseberangan, bahkan tak jarang berhadap-hadapan, dengan para orang tua yang masih sibuk dengan agamanya masing-masing. Bukan kebetulan jika tampak ada jurang yang memisahkan antara generasi tua dengan angkatan muda yang memelopori revolusi.

Umpamanya di Aceh, antara mereka yang berjuang atas dasar Islam tulen dan yang tergabung dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia. Sementara, dalam jaringan terorisme yang diperjuangkan hanyalah beragam janji atau impian yang menampakkan bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Mirip dengan Sumpah Pemuda pada 1928, sekali lagi menurut Ben, yang berpendapat Sumpah Pemuda itu diciptakan oleh pemuda-pemuda yang justru tidak bisa berbuat apa-apa lalu bersumpah. Jadi, teroris memang tidak banyak memikirkan tentang Indonesia.

Mereka hanya anti Barat atau anti Amerika Serikat, misalnya, dan memandang mereka sebagai kafir. Tidak ada bayangan, apalagi pikiran, mengenai Indonesia sebagai suatu realitas. Akibat dari politik seperti itu, mereka tidak pernah berpikir panjang.

Selanjutnya adalah: Mereka amat mudah dimanfaatkan kekuatan…

Mudah Dimanfaatkan

Dengan demikian, mereka amat mudah dimanfaatkan oleh suatu kekuatan dari mana pun yang berkepentingan terhadap Indonesia. Lihat saja bagaimana terorisme dengan cepat timbul dan tenggelam tergantung pada seberapa kuat tekanan atau paksaan yang dituntutkan pada mereka.

Jika tuntutan itu berhaluan ekstrem, tekanan yang dihasilkan pun terasa begitu besar. Sebaliknya, jika tidak, maka terorisme hanyalah menjadi wacana dalam perbincangan yang antara takut dan perlu sebagaimana pikiran orang tua pada era revolusi.

Dalam konteks ini menarik apa yang dikaji John Sidel dalam bukunya berjudul Riots, Pogroms, Jihad (2006) bahwa konflik dan kekerasan atas nama agama di Indonesia bukan semata-mata merupakan produk dari terorisme global, seperti Islamic State atau Jemaah Islamiyah.

Hal itu justru berakar pada sejarah pembentukan negara bangsa di tanah air ini. Dalam pengamatan Sidel, terorisme yang selalu dikaitkan dengan Islam adalah buah dari politisasi agama yang sejak zaman Hindia Belanda telah dihadirkan sebagai ”kekuatan tak tampak” (hidden force).



Artinya, massa dan organisasi Islam dipandang seperti ”hantu” yang membayangi kekuasaan kolonial dalam wujud figur haji misterius. Figur itu sesekali menampakkan diri pada saat-saat krisis dan menjadi roh ”fanatisme” yang dikhawatirkan akan menular pada khalayak ramai.

Gambaran atau bayangan Islam yang menghantui kekuasaan kolonial itu bersumber dari roman Louis Couperus yang melukiskan kehidupan kolonial di Jawa pada akhir abad ke-19. Sebagaimana diungkap Nancy Florida (2008), kekuatan yang tak tampak dari Islam itu telah dibuat menjadi ancaman yang seolah-olah serius bagi kekuasaan kolonial dan dapat muncul di mana-mana.

Itulah mengapa Islam menjadi proyek bagi kelas elite atau priayi Jawa yang sadar atau mungkin tidak sadar dimanfaatkan oleh penguasa Belanda untuk mengonsolidasikan kekuatan kolonial atas Jawa. Ironisnya, sesudah melampaui masa-masa kekuasaan selama lebih dari 70 tahun Republik ini didirikan, proyek itu masih saja dikerjakan demi kepentingan pihak-pihak tertentu.

Selanjutnya adalah: Melalusi siasat politik, ekonomi, dan administratif…

Melalui Siasat

Selain melalui siasat politik, ekonomi, dan administratif, proyek tersebut juga dijalankan dengan suatu siasat kebudayaan. Contoh paling gamblang adalah pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang belum lama berlalu dan disambung dengan pembubaran ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia.

Lalu, bagaimanakah siasat itu diciptakan dan dijalankan dalam bingkai ”ketidakterlihatan” di tengah-tengah khalayak ramai, terutama di Jakarta? Dengan berlindung di balik ”cagar budaya” sebagai agama terbesar, kekuatan Islam ”fanatik” dan/atau “radikal” yang seolah-olah ”tidak akan terlihat” itu menerobos panggung politik di Jakarta dengan membangun bingkai ”kebudayaan yang termarginalkan” meski terpandang dalam sejarah sebagai ”musuh bebuyutan kolonialisme”, termasuk kapitalisme dan liberalisme.

Dengan representasi itu, kekuatan yang hadir sebagai suatu cagar yang seolah-olah kebal akan pengaruh ”asing” menyebarluaskan ketakutan akan ancaman yang selalu muncul di sela-sela atau pinggir-pinggir masyarakat.

Ancaman yang menunjukkan bahwa Islam selalu terbelakang, tersingkir, bahkan terbuang dalam sejarah Indonesia menjadi bahan bakar yang mudah untuk diledakkan dalam bentuk amarah dan balas dendam.

Apalagi kalau bahan bakarnya adalah ”orang-orang Tionghoa” yang secara politis dan kultural kerap dijadikan sebagai ”kambing hitam”, ”kelinci percobaan”, atau ”sapi perahan” di negeri ini. Penting untuk diingat bahwa tidak ada asap kalau tidak ada api.

Dengan demikian, radikalisme yang semula bermakna sebagai pengalaman bergerak dari orang-orang kecil dengan harapan ”milenarian” dan ”mesianik” seperti Ratu Adil (Shiraishi, 1997), ketika dihadirkan sebagai bahasa kekuasaan maka hanya akan menyisakan konflik dan kekerasan.

Apalagi kala bahasa yang digunakan dengan mengatasnamakan agama, sebagaimana diulas Ben dalam bukunya yang termahsyur berjudul Imagined Communities (2001), cukup jelas bahwa bukan saja nyawa orang lain yang bersedia untuk dilenyapkan, bahkan nyawanya sendiri pun dipertaruhkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya