SOLOPOS.COM - Ronny P. Sasmita

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Selasa (18/7/2017). Esai ini karya Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia dan Analis Ekonomi BNI Securities Jakarta Barat. Alamat e-mail penulis adalah ronny_sasmita@yahoo.co.id.

Solopos.com, SOLO–Banyak kawan yang bertanya kepada saya, mengapa pemerintah memperlebar defisit dan malah menutupnya dengan rencana utang baru. Faktanya memang demikian.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berdasar perubahan-perubahan asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017, pemerintah akhirnya merencanakan pencapaian defisit anggaran sebesar 2,92% terhadap produk domestik bruto atau sekitar Rp397,2 triliun.

Angka tersebut melebar dari proyeksi yang ditetapkan dalam APBN 2017 sebesar 2,41% terhadap produk domestik bruto atau hampir mendekati batas yang diperkenankan dalam undang-undang, yaitu 3% terhadap produk domestik bruto.

Masalah pelebaran defisit dan penambahan utang sebenarnya sulit-sulit mudah dijelaskan kepada publik. Defisit melebar karena asumsi pendapatan berada di bawah asumsi belanja.

Sama halnya dengan Anda ngutang, biasanya karena pendapatan Anda tidak cukup untuk menutup rencana belanja yang sudah Anda tetapkan. Terkait defisit anggaran pemerintah pun demikian.

Di satu sisi, rencana belanja pemerintah bertambah, termasuk untuk subsidi energi dan lain-lain,  sementara di sisi lain rencana penerimaan negara justru berkurang (terlepas dari berbagai hal yang menyebabkan shortfall pajak tersebut).

Angka-angkanya menunjukkan bahwa perkiraan defisit anggaran tersebut berasal dari target pendapatan negara dalam RAPBN-P 2017 senilai Rp1.714,1 triliun atau mengalami penurunan dari target APBN senilai Rp1.750,5 triliun.

Sedangkan pagu belanja negara dalam RAPBN-P 2017 diproyeksikan Rp2.111,4 triliun atau meningkat dari pagu APBN 2017 senilai Rp2.080,5 triliun, terlepas dari sesumbar pemerintah bahwa meskipun target defisit anggaran ditetapkan sebesar 2,92% terhadap produk domestik bruto, penghematan alamiah dari postur RAPBN-P 2017 yang bisa menekan target defisit anggaran tersebut akan terjadi.

Selanjutnya adalah: Pemerintah menambah penerbitan surat berharga…

Surat Berharga

Kemudian soal utang pemerintah. Perlu dipahami bahwa utang yang dimaksud bukan seperti “ngutang kepada teman, hei kau punya duit atau tidak, aku pakai dulu deh, nanti aku kembalikan”, tapi pemerintah menambah penerbitan surat berharga untuk dilempar ke pasar uang  dengan yield atau imbal hasil yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan perkembangan pasar.

Aksi seperti ini mirip dengan aksi korporasi di lantai bursa efek, misalnya  ketika suatu perusahaan yang listed atau terdaftar di bursa efek menerbitkan surat utang atau obligasi untuk menutupi rencana belanja perusahaan ke depan.

Lalu mengapa utang hanya ditambah begitu saja publik terlihat seperti kaget? Sebenarnya ketika isunya mulai berkembang beberapa waktu lalu bentuknya baru berupa pengajuan RAPBN-P 2017 oleh pemerintah kepada DPR (dan ternyata disetujui DPR).

Secara konstitusional dan prosedural, hasil finalnya tentu harus melalui negosiasi dengan DPR sebagai partner pemerintah yang juga memiliki wewenang budgeting. Ternyata akhirnya disepakati DPR dan otomatis bukan lagi menjadi keputusan sepihak pemerintah, tapi keputusan bersama dengan DPR.

Lalu apakah ketika utang pemerintah ditambah kemudian posisi ekonomi dan keuangan Indonesia masih tetap aman? Sebenarnya ada beberapa sudut pandang dan cara yang digunakan untuk menilai apakah tingkat utang sebuah negara atau pemerintahan tergolong masih aman atau sudah membahayakan.

Ada sebagian kawan saya yang akhirnya mencurigai jangan-jangan nanti Indonesia tiba-tiba seperti Yunani (catatan: rasio utang Yunani terhadap produk domestik bruto saat collaps adalah 180%). Parameter yang umum dipakai adalah perbandingan rasio utang terhadap produk domestik bruto dengan negara lain.

Percaya Diri

Untuk konteks ini tampaknya pemerintah cukup percaya diri karena level rasionya masih dianggap wajar jika dibanding negara-negara berkembang lainya, bahkan dibanding negara maju sekalipun.

Rasio utang pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto, menurut Kementerian Keuangan, tercatat sebesar 27,5%. Data dalam angka memperlihatkan posisi utang pemerintah pusat pada 2016 mencapai Rp3.466,9 triliun atau setara dengan US$258,04 miliar.

Selanjutnya adalah: Rasio utang negara lain…

Rasio Utang

Lihat saja rasio utang negara lain terhadap produk domestik bruto. Contohnya Jepang yang sudah menembus sekitar 250% dan Amerika Serikat yang mencapai 108%. Negara-negara Eropa, seperti Jerman yang dianggap paling prudent sekalipun pun, rasio utangnya mendekati 70% dari produk domestik bruto.

Jadi dengan pertimbangan itu kiranya sangat wajar pemerintah tidak terlalu mempersoalkan penambahan utang tersebut untuk menutupi pelebaran defisit.

Ada juga yang menilai utang pemerintah dari sisi kemampuan pemerintah atau negara dalam menghimpun pajak. Dengan logika ini kita sebenarnya diajak untuk lebih realistis bahwa utang tentu saja harus diperbandingkan juga dengan kemampuan pendapatan  karena dengan itulah nanti utang akan dibayar.

Dalam hal ini,  saya kira pemerintah memang perlu secara terus-menerus introspeksi diri karena tax ratio Indonesia masih tergolong sangat rendah dibanding negara-negara tetangga lainnya, apalagi dibanding negara maju.

Sayangnya, tax ratio yang rendah juga dibarengi dengan kapabilitas menghimpun pajak yang juga tak terlalu signifikan, bahkan dalam RAPBN-P 2017 terlihat jelas bahwa asumsi penerimaan pajak justru diturunkan pada saat defisit dilebarkan.

Kemudian ada juga yang melihat dari sisi ekonomi secara keseluruhan (komprehensif). Bayangkan, dengan anggaran yang sangat besar tapi kemampuan membangun yang sangat terbatas, Indonesia tetap memerlukan pertumbuhan yang tinggi untuk mengimbangi pertambahan angkatan kerja, pertambahan populasi, dan mengurangi kemiskinan.

Jika anggaran dibuat seadanya, katakan saja pas-pasan (rezim balanced budget) dengan dominasi belanja rutin yang cukup tinggi,  lalu bagaimana ekonomi negeri ini bisa ditumbuhkan?  Bagaimana angkatan kerja yang rata-rata enam juta orang setahun agar bisa mendapatkan kesempatan bekerja? Bagaimana ekonomi nasional bisa berekspansi dan membagi kue ekonomi kepada rakyat banyak, terutama untuk kalangan miskin?

Selanjutnya adalah: Diperlukan dana tambahan…



Dana Tambahan

Dalam logika ini memang diperlukan dana tambahan agar pemerintah bisa tetap berbelanja,  termasuk untuk investasi,  agar ekonomi semakin bergairah. Bisa dibayangkan jika incremental labour ouput (daya serap tenaga kerja) pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebatas 250.000 orang-300.000 orang misalnya, maka secara teoretis pertumbuhan ekonomi yang hanya 4%-5% hanya akan mampu menyerap tenaga kerja sekitar satu juta orang, sementara pertumbuhan angkatan kerja nasional rata-rata di atas tiga juta orang setiap tahun.

Jika banyak angkatan kerja tidak terserap, probabilitas peningkatan pengagguran dan kemiskinan akan bertambah dan pemerintah akan semakin salah ketika berada dalam posisi tersebut.

Ada lagi ukuran teoretis lainnya, yakni Maastricht Treaty yang memberikan panduan untuk melihat apakah utang suatu negara tergolong sehat atau tidak. Treaty ini sebenarnya lebih ke arah penilaian tingkat keamanan utang luar negeri sebuah pemerintahan.

Konteksnya masih utang dan pemerintah Indonesia memang memiliki utang luar negeri yang tidak sedikit sehingga ada baiknya dipaparkan juga. Menurut treaty ini,  ketika rasio utang terhadap gross domestic product di bawah 33% maka utang luar negeri sebuah negara sangat aman.

Kalau rasio sudah berkisar 33%-60% maka negara harus mulai berhati-hati terhadap utang luar negerinya dan tentu saja sebuah negara beraada dalam bahaya kalau rasio utang terhadap gross domestic product di atas 60%.

Jadi dari perspektif Maastricht Treaty, rasio utang luar negeri terhadap gross domestic product  Indonesia sebenarnya sudah berada dalam kategori wajib berhati-hati karena sudah di atas 33%. Berdasarkan data Bank Indonesia, sampai 2016 rasio utang luar negeri terhadap produk doestik bruto sudah berada pada level 36,5%.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya