SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko Kolumnis Solo Tempo Doeloe Mahasiswa Pascasarjana Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. (FOTO/Istimewa)

Heri Priyatmoko
Kolumnis Solo Tempo Doeloe
Mahasiswa Pascasarjana Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada. (FOTO/Istimewa)

Nama Hercules Rosario Marshal identik dengan kekerasan. Ia dikenal sebagai bekas preman penguasa Tenabang–sebutan untuk Pasar Tanah Abang, Jakarta. Beberapa hari lalu namanya kembali menjadi berita. Polisi menangkap Hercules dan kelompoknya, Jumat (8/3), karena dia dan anak buahnya merusak bangunan di kompleks rumah toko PT Tjakra Multi Strategi di Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Lelaki yang pernah ”dianugerahi” gelar Kangjeng Raden Haryo Yudhapranoto oleh Tedjowulan semasa masih bergelar Paku Buwono XIII itu kini berposisi sebagai Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB). Menurut Koran Tempo (10/3), organisasi itu didirikan pada September 2011 untuk mendukung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), meski GRIB bukan bagian resmi partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu.

Menarik memahami premanisme dari dimensi sejarah. Dunia premanisme dan preman yang ”dipelihara” tokoh penting adalah bukan fenomena yang baru, melainkan sudah ada sejak era kolonial. Tempo doeloe, polisi pemerintah Hindia Belanda menggunakan bantuan para jago, preman, blater, berandal, weri atau tukang pukul untuk menciptakan suasana kondusif dan menyelesaikan masalah kejahatan.

Cara tersebut dinilai lebih efisien karena negara kolonial tidak cukup mampu mengooptasi seluruh kekuatan masyarakat sampai ke akar-akarnya di pedesaan. Lagipula tujuan petinggi Belanda menciptakan kedamaian bukan pada aspek peningkatan kemakmuran ekonomi, melainkan guna memelihara tegaknya hegemoni kekuasaan.Mereka pun menjadi bemper keamanan desa.

Dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyai Blorong (2004), sejarawan terkemuka Onghokham meriwayatkan bahwa setiap kepala desa memiliki orang bayaran. Bila di suatu desa tinggal para garong, hal itu justru menguntungkan. Desa itu tidak akan diganggu atau direcoki oleh penjahat lain.

Bahkan, sering kali kepala desa ikut menikmati bagian dari hasil penggarongan. Seorang penguasa tradisional bebas menuntut sesuatu dari rakyat, misalnya ayam jago yang bagus atau ternak. Itu tidak dianggap sebagai kejahatan karena tindakan itu dianggap sebagai hak penakluk atas harta rakyat lewat tangan preman ”piaraan”.

Pengalaman masa kolonial memberikan pelajaran kepada kita bahwa kriminalitas, aksi-aksi kejahatan negara, pemerintah, ternyata saling memperkuat. Negara mempunyai formasi dan sistem untuk menggerakkan pemerintahan, namun sering kali sistem dan formasi tersebut macet. Kemudian, muncullah kelompok-kelompok massa, milisi dan para jagoan yang menawarkan jasa pengamanan ”membantu” pemerintah.

Negara dan kejahatan berelasi kuat dan menciptakan sebuah jaringan mafia kejahatan. Sungguh sulit membedakan antara kelompok jagoan, para milisi dan ”aparat berwajib”. Semuanya berelasi menjadi teror kekerasan (I Ngurah Suryawan, 2006). Bukan hanya toewan kulit putih yang ”bekerja sama” dengan preman, penguasa tradisional kala itu ikut memakai jasa kelompok jagoan demi tegaknya kekuasaan.

Mereka merasa tidak cukup dengan wahyu kedhaton sebagai syarat duduk di kursi empuk keraton. Dalam praktiknya, kekuatan politik seseorang penguasa tak jarang diukur dari kapasitas personal melalui banyaknya jumlah pengikut sehingga sosok raja tidak lain adalah superjago. Raja atau pemerintah Belanda sangat senang dengan seorang jagoan atau blater yang pengikutnya banyak dan punya ilmu kedigdayaan tinggi.

Bermodalkan itu, sosok jagoan yang malang melintang di dunia kekerasan dan namanya tersohor pasti punya peran signifikan di tengah masyarakat. Sulit dimungkiri, berkat mereka, tugas-tugas ”negara” yang berkaitan dengan keamanan warga mudah dikerjakan.

Apakah di Solo tempo doeloe tidak pernah muncul aksi premanisme? Hasil sorotan historis Suhartono, Bandit-Bandit Pedesaan Di Jawa 1850-1942 (1993), mengulas fenomena perbanditan di wilayah vorstenlanden (wilayah kekuasaan kerajaan). Perbanditan yang lazim dikenal di daerah ini adalah kecu, yaitu perampokan yang dilakukan lebih dari lima orang dengan korban personel perkebunan, orang China dan kepala desa setempat. Pada waktu paceklik dan tahun-tahun sulit seperti gagal panen, gangguan alam, beban pajak dan kerja wajib yang cukup berat adalah indikator merebaknya kecu.

 

Keresahan Sosial

Daun kalender menunjuk angka 24 April 1871. Masyarakat Desa Popongan, Sragen, gempar karena terjadi perampokan di rumah Bekel Wirokromo. Kemudian, rumah Bekel Sumowedono di Desa Onggopatran, Klaten, juga dikuras hartanya. Bahkan, sekawanan bandit tersebut sempat melukai penjaga rumah.

Ulah kecu itu bikin pusing pemerintah kolonial. Pada 1870, Residen Zouteliet mengeluarkan perintah agar jalan-jalan desa ditutup pada malam hari dan dilakukan ronda malam. Sang waktu berjalan pelan. Lembaran sejarah kolonial telah tutup buku, namun hikayat premanisme ternyata masih berlanjut, termasuk di Kota Solo.

Pada 1980-an kita diingatkan oleh aksi penembakan misterius atau petrus yang merupakan cara ”ampuh” pemerintah untuk mengebiri para gali yang mengorganisasi diri dan berpraktik main gebuk dan tusuk setiap hari. Pemerintah kala itu jengkel bukan kepalang gara-gara ulah kaum preman yang mengoyak ketertiban.

Keresahan sosial pada waktu itu memang tak terhindarkan sebagai buah pahit atas tindak kejahatan yang mereka dilakukan. Rasa aman, nyaman dan tenteram dalam kehidupan sosial sulit didapat. Orang ketir-ketir keluar malam karena penjambretan merebak. Selepas diluncurkan program petrus, kondisi kota pun adem ayem, meski meninggalkan rasa trauma mendalam bagi keluarga yang dihilangkan.

Dari kilas balik sejarah di atas, dapat kita pahami bersama bahwa preman kadang menjadi sahabat, kadang juga menjadi musuh suatu kekuasaan. Dalam periode tertentu, preman tidak selalu mengeruhkan suasana. Mereka punya peran yang tidak kecil terhadap tegaknya sebuah negara. Tetapi, di satu masa, preman menjelma menjadi musuh ganas dan harus diberantas lantaran mengganggu keamanan masyarakat luas.

Dengan melihat kasus Hercules yang meresahkan warga itu, pemerintah sebaiknya melakukan pembinaan intensif kepada Hercules beserta para anggotanya, juga kelompok lain yang serupa. Apakah pemerintah tergoda untuk melancarkan petrus seperti tahun 1980-an? Sebaiknya tidak karena bakal berurusan dengan kelompok penegak hak asasi manusia (HAM). Ngurusi preman memang dilematis alias merkengkong

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya