SOLOPOS.COM - Dian Sasmita (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (25/7/2017). Esai ini karya Dian Sasmita, Direktur Sahabat Kapas, lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada perlindungan anak. Alamat e-mail penulis adalah dianmiyoto@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Sepekan terakhir dua video perundungan yang dilakukan sekelompok mahasiswa di Jakarta dan yang dilakukan pelajar sekolah menengah pertama menjadi viral di media sosial dan jadi pembicaraan di dunia nyata.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Miris adalah satu kata yang muncul seketika kala melihat tayangan tersebut. Video tersebut telah dibagikan oleh ribuan orang melalui berbagai platform media sosial.

Di laman akun media sosial saya terdapat lebih dari 10 orang yang membagikan video itu setiap hari dalam sepekan terakhir. Saya dipaksa ikut menontonnya.

Video tersebut bagi sebagian orang pasti membangkitkan ingatan masa lalu, pengalaman menjadi korban cemoohan karena kondisi fisik yang berbeda dan kekerasaan yang dilakukan senior di sekolahan atau kampus.

Dua pengalaman tersebut sangat tidak mengenakkan. Menghantui masa remaja. Selain membangkitkan memori buruk, video tersebut juga berdampak tidak baik pada penontonnya.

Tayangan yang sama dan hadir berulang-ulang akan memengaruhi alam bawah sadar penontonnya, termasuk tayangan kekerasaan. Jika penonton tersebut memiliki tingkat kognitif yang baik tentu tidak menjadi masalah.

Jika yang menonton adalah remaja tanpa pendampingan orang dewasa, bisa jadi dia akan mendapatkan pemodelan  baru yang menarik untuk ditiru. Siklusnya diawali dari melihat, kemudian mengamati, dan mencontohnya.

Perundungan adalah padanan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk bullying. Maknanya adalah proses, cara, perbuatan merundung (mengganggu terus-menerus) seseorang dengan menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi, sasarannya jamaknya adalah orang yang lebih lemah.

Perundungan dapat dilakukan secara fisik, verbal, sosial, dan dunia maya (siber). Ihwal perundungan bukan berita baru. Praktik demikian selalu berulang karena pemahaman kita tentang apa itu perundungan dan aksi mencegahnya masih minim.

Selanjutnya adalah: baru tiga tahun terakhir  banyak diskusi…

Banyak Diskusi

Baru tiga tahun terakhir mulai banyak diskusi dan informasi tentang perundungan yang disebarkan. Sasaran utama adalah lingkungan pendidikan yang jamak terdapat praktik perundungan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Juli 2016 merilis data terdapat 247 kasus perundungan anak (korban dan pelaku) di sekolahan yang dilaporkan pada  2015. Sedangkan hingga pertengahan 2016 terdapat 174 kasus.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan dan memberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasaan di Lingkungan Sekolah.

Bentuk kekerasaan yang terjadi adalah pelecehan, penganiayaan, perundungan, perpeloncoan, perkelahian, pencabulan, dan bentuk kekerasaan lainnya. Perundungan menjadi salah satu perhatian serius karena mengandung aktivitas terus-menerus yang mengusik atau mengganggu.

Dan Olweus dalam tulisannya berjudul A Profile of Bullying at School (2003) menjelaskan lingkaran perundungan yang melibatkan beberapa pihak. Pertama, the bully, yakni yang memulai dan aktif melakukan perundungan.

Kedua, followers/henchmen, ikut aktif mengambil bagian tapi bukan pemicu awal. Ketiga, supporters, yang mendukung perundungan namun tidak ambil bagian secara aktif. Keempat, passive supporters, menyukai aktivitas perundungan tersebut namun tidak menunjukan sikap dukungannya.

Kelima, disengaged onlookers, yakni mereka yang ikut melihat saja dan tidak ambil sikap mendukung atau menentang. Keenam, possible defenders, tidak menyukai perundungan dan tahu jika harus menolong korban tapi tidak melakukan apa-apa.

Ketujuh, defenders of the victim, menunjukan sikap tidak suka dan membantu korban. Kedelapan, the victim,  yakni korban perundungan yang biasanya tunggal. Lingkaran orang dalam aktivitas perundungan di atas dapat menjadi bahan refleksi kita.

Edukasi

Selama ini kita berada di mana? Apakah di nomor enam? Atau malah di nomor dua? Sepanjang 2016, Sahabat Kapas sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di sektor anak telah mengadakan edukasi ihwal pentingnya menghentikan perundungan.

Lima sekolahan menjadi sasaran di wilayah Soloraya. Mayoritas peserta kegiatan mengungkapkan pernah menjadi korban, bahkan 90% peserta yang laki-laki mengaku pernah melakukan atau menjadi korban stater. Stater adalah aktivitas kolektif di kalangan anak laki-laki.



Tangan korban dipegang dan organ genitalnya diinjak layaknya nyetater sepeda motor. Biasanya korban adalah anak baru, anak pendiam, anak lebih junior, atau badannya lebih kecil. Sedangkan pelakunya teman sebaya atau senior.

Selanjutnya adalah: Pelaku stater pernah menjadi korban…

Menjadi Korban

Pelaku stater sebelumnya pernah menjadi korban kemudian melakukan hal serupa pada orang yang lebih lemah. Hal ini telah berlangsung sekian tahun dan dianggap sebagai bahan bercanda, padahal semua korban stater mengakui jika aktivitas tersebut sangat tidak mengenakkan karena menimbulkan rasa sakit, sedih, dan marah.

Selama ini apakah kita (orang dewasa) sudah tahu tentang stater ini? Jika iya, apakah kita telah ikut untuk menolong korbannya? Atau hanya melihat tapi tidak pernah bersikap apa pun?

Masih ingatkah dengan sosok Lex Luthor di film Superman atau Green Goblin di film Spiderman? Kedua sosok antagonis tersebut digambarkan memiliki masa kecil tidak bahagia. Kerap dicemooh atau dipukul dan tidak ada yang membantu. Timbunan rasa sedih, kecewa, marah, dan sakit fisik bergumul menjadi satu di bawa sadar hingga dewasa.

Semuanya tercermin dalam perilaku dan karakter kedua tokoh tersebut. Dalam kehidupan nyata, praktik demikian juga ada. Pelaku kriminal penghuni penjara tak sedikit yang pernah mendapatkan cemoohan atau ejekan ketika masa anak-anak.

Pengalaman tersebut masih diingat jelas hingga dewasa dan ada (sebagian) menduplikasinya. Merundung orang yang lebih lemah atatu berbeda kondisi dianggap bagian dari bahan bercanda oleh masyarakat kita.

Ketika ada praktik perundungan, tidak banyak orang yang bereaksi menolong korban karena dianggap hanya guyonan. Sikap permisif ini menjadi pengawet perundungan di sekitar kita. Dibutuhkan upaya bersama untuk menghentikan perundungan yang dimulai dari lingkungan keluarga dan pendidikan.

Edukasi bagi orang tua dan pendidik di sekolahan tentang pengasuhan dan perlindungan anak sangat penting. Tiap sekolahan perlu membuat aturan yang serius ditegakkan untuk menghentikan perundungan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015.

Perlu juga disediakan fasilitas konseling sebaya atau individu bagi korban maupun pelaku perundungan yang dibimbing tenaga pendidik terlatih. Kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang dampak buruk perundungan perlu ditingkatkan.

Tayangan berbau unsur perundungan harus dibatasi ketat oleh pemerintah lewat Komisi Penyiaran. Semua pihak memiliki andil berarti untuk menyelamatkan karakter anak bangsa yang menolak perundungan dan lebih humanis pada sesama. Wong kece ora ngece.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya