SOLOPOS.COM - Na'matur Rofiqoh (foto: istimewa).

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (06/01/2018). Esai ini karya Na’imatur Rofiqoh, ”pemukul” huruf dan juru gambar yang tinggal di Solo. Alamat e-mail penulis adalah naimaturr@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Bahasa Indonesia tidak lagi beralamat di Indonesia. Indonesia malah jadi tempat tinggal bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Bahasa asing itu muncul di restoran, toko, taman, mal, perumahan, sekolahan, dan rupa-rupa fasilitas publik. Bahasa asing memeluk erat semua tempat di Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kita bisa menangkap keresahan tentang bahasa Indonesia itu di Tajuk Solopos edisi 28 Desember 2017: Bahasa Indonesia tidak cukup hanya digunakan dalam percakapan. Perlu ada aktivitas pendukung yang lain agar bahasa Indonesia jadi ”tuan rumah” di negeri sendiri, salah satunya dengan penamaan di ruang-ruang publik.

Narasi pertengkaran bahasa Indonesia dan bahasa asing gubahan negara dan media massa menghidangkan alur serupa, berkali-kali, padahal belum pernah ada seorang pun yang berani mencatat seluruh nama ruang publik, warung, toko, mal, sekolahan, dan lain sebagainya di semua wilayah Indonesia.

Ekspedisi Mudik 2024

Mencatat di setiap gang di kota dan pelosok desa lalu mempersembahkan data perbandingan akurat penamaan dengan bahasa asing dan dengan bahasa Indonesia itu ke hadapan publik. Bahasa Indonesia telanjur dituduh kalah dan terusir dari rumahnya sendiri.

Kita bisa mencari alamat bahasa Indonesia di puisi. Avianti Armand di Buku Tentang Ruang (2016) menulis puisi Hal-Hal yang Wajar Hari-Hari Ini. Puisi memuat bait-bait berjudul Organic, Bahasa Inggris, Minimalis, Luar Negeri, Facebook, Twitter, Instagram, Cina, Kuliner, dan Gym.

Di puisi bahasa asing menjadi perkara lumrah yang direguk manusia Indonesia mutakhir yang ”teknologis”. Bahasa asing dipercaya sebagai satu mantra ampuh menjelmakan diridalam kehormatan manusia urban modern bersama peristiwa sosial di Facebook, Twitter, Instagram, atau saat ke luar negeri.

Pada bait puisi Bahasa Inggris bisa kita temukan kalimat: Baidewei, kita sudah sakses mencapai tarjet yang kita set, wicis ikuel dengan seleri presiden dalam setahun. Konggrats, fren! Kita harus selebresyen!” Puisi berbahasa Inggris tetapi tertulis dalam ejaan bahasa lisan bahasa Indonesia.

Selanjutnya adalah: Puisi seolah-olah mengejek orang-orang yang gemar

Mengejek

Oh, puisi seolah-olah mengejek orang-orang yang gemar berbahasa Inggris tapi tak khusyuk, bercampur dengan bahasa Indonesia dalam satu kalimat. Puisi bersikap sinis dan menolak lagak berbahasa ”yang wajar pada hari-hari ini”. Di puisi Restoran dari Bahasa Asing garapan Afrizal Malna (1991), bahasa Indonesia dan bahasa asing tak juga berdamai meski t berada di satu ruangan.

Ah, ada tamu yang lain, bikin restoran dari bahasa asing. Mereka saling menggosok sepatu di tiang listrik. Padahal aku telah menjadi dirimu juga, ikut bernyanyi pula lagu-lagu sendu, dengan baju seratus ribu. Mengenakan juga gaya hidup Ani, di antara Sri dan Ayu. Fajar yang tenggelam dalam tubuhmu. Di situ aku dengar bahasa tak henti-henti jadi orang asing, penuh lemari, kursi, gas dan minyak.”

Bagi puisi, bahasa asing sekadar satu tamu di antara banyak tamu-tamu lain yang menyambangi Indonesia. Bahasa dapat pula hadir bersama kehadiran benda-benda teknologi ke Indonesia. Bahasa asing belum tuan rumah, tetapi cepat menambah jumlah jemaah.

Sri, Ayu, dan Ani, nama-nama Indonesia, wajar sebagai pemilik seperangkat bahasa dan laku keindonesiaan. Bahasa asing laku, menguasai ruangan seperti gas dan mengasingkan bahasa Indonesia. Puisi memberi peringatan: Aiih, mari jangan sombong. Kepalamu penuh batu, menghuni ruang tamu tak terjaga.

Betapa pun lisan orang Indonesia yang berucap dalam bahasa asing tak bisa memisahkan diri dari sejarah yang penuh batu prasasti, peringatan bahwa bahasa pertama dan memberi hidup itu bahasa Indonesia.

Kita beralih ke Buku Latihan Tidur (2017) garapan Joko Pinurbo. Puisi-puisi tak memberi narasi perkelahian dua bahasa. Di puisi-puisi dalam buku itu Joko Pinurbo lihai bercengkerama dan malah asyik berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tak sempat mengalami ketegangan apalagi ancaman dari bahasa asing.

Selanjutnya adalah: Kita bertemu bahasa Indonesia yang mengalami

Bertemu

Kita bertemu bahasa Indonesia yang mengalami pertarungan seru dengan diri sendiri, seperti bocah cilik berlarian di tengah hujan deras tanpa khawatir menderita sakit. Telaahlah larik-larik akhir puisi Kamus Kecil.

Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku ke sebuah paragraf yang menguarkan bau tubuhmu. Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk bertingkat yang hangat di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat.

Ketika induk kalimat bilang pulang, anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung. Ruang penuh raung. Segala kenang tertidur di dalam kening. Ketika matamu mati, kita sudah menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.

Puisi-puisi malah mengalamatkan bahasa Indonesia ke kemuliaan para penuturnya. Puisi-puisi seperti bersepakat bahwa martabat bahasa Indonesia tidak selalu terpatri pada benda-benda berpapan nama bahasa Indonesia, tetapi pada tubuh, laku, dan cara berpikir yang sanggup memberi martabat pada bahasa Indonesia.



Kita bisa membaca surat kecil yang termuat di Majalah Bobo Nomor 21, 28 Agustus 1982. Setian Prant, bocah dari Batang, Jawa Tengah, mengalami kebingungan saat akan mengirim surat ke Praha. ”Bo, apakah sahabat Bobo no. 7783, yaitu Tanti Martanti, POD Klaudiankou 14 Podoli 1400 Praha, Chekoslowakia, dapat berbahasa Indonesia? Sebab kalau saya ingin menyuratinya, saya harus menggunakan bahasa apa?,” demikian tulisa Setian Prant.

Pertanyaan itu mendapat jawaban lugas dari redaksi Bobo,”Halo Setian, Tanti bisa berbahasa Indonesia, sebab ia pun anak Indonesia.” Pertanyaan Setian sebenarnya telah berjawab saat Bobo menjelaskan Tanti bisa berbahasa Indonesia. Penambahan ”sebab ia pun anak Indonesia” memberi penegasan, kemampuan berbahasa Indonesia tak terpisah dengan identitas sebagai anak Indonesia.

Sejak pendidikan dasar, bocah-bocah Indonesia telah diberi tahu bahasa persatuan kita adalah bahasa Indonesia. Tiap menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa mereka berikrar serentak,”Nusa bangsa dan bahasa kita bela bersama.” Saat mereka dewasa, menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dan kebetulan ingin menambah uang jajan dengan memberi les privat, les itu selalu menawarkan bahasa Inggris.

Belum pernah ada les bahasa Indonesia demi memartabatkan bahasa nasional dan identitas sebagai orang Indonesia, padahal dari sanalah segala cinta terhadap bahasa bermula: pendidikan. Pada awal tahun yang fana ini kita tetap mesti melakukan selebresyen. Happy New Year and we love Indonesia!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya