SOLOPOS.COM - Priyadi, Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, IAIN Surakarta

Priyadi, Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, IAIN Surakarta

Pada awal 1970-an, Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam (1981) menulis tentang atmosfer yang mengungkungi mahasiswa saat itu. Peranan mahasiswa di bidang politik begitu kentara dan menyebabkan mahasiswa berada pada dua masalah yakni profesionalisme dan aktivisme. Mahasiswa yang masuk dalam pengaruh profesionalisme, adalah mereka yang hidup dalam persoalan intrakulikuler seperti kuliah, praktikum atau riset dan apatis terhadap masyarakatnya. Sedangkan mahasiswa tipe kedua, tipe aktivisme, adalah mereka yang memposisikan diri menjadi bagian masyarakat yang terlibat dalam strategi politik, strategi kekuasaan dan strategi kultural.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Dua ciri khas tersebut tak bisa dilepaskan dari peran organisasi intra dan ekstra kampus. Organisasi-organisasi tersebut telah melakukan konstruksi pikiran dan mentalitas mahasiswa. Organisasi-organisasi kemahasiswaan hadir dengan berbagai visi-misi ideal menurut mereka masing-masing. Menghimpun mahasiswa dalam arus doktrinal-ideal untuk mengajarkan peran menjadi mahasiswa sebagai abdi bagi kehidupan berilmupengetahuan, bermasyarakat dan bernegara. Organisasi-organisasi ini sering kali mengajarkan pada mahasiswa bahwa sejatinya mereka adalah agen perubahan dan kontrol sosial. Semangat itu dapat kita lihat pada fase gerakan perubahan negeri ini yang dominan ‘terlihat’ dimotori oleh para mahasiswa, seperti pada era akhir Soekarno, peristiwa Malari dan era akhir rezim Soeharto.

Apa yang diungkapkan oleh Agus Yulianto dalam Ironi Mahasiswa Tidak Berorganisasi [SOLOPOS (18/6/13)] adalah tanggapan menarik atas tulisan Mutimmatun Nadhifah dalam Ironi Mahasiswa Berorganisasi [SOLOPOS (11/06/2013)] terkait organisasi mahasiswa. Tulisan Nadhifah adalah ungkapan kritis dalam melihat perkembangan organisasi mahasiswa saat ini. Bahwa identitas berorganisasi tidak ditunjukkan melalui dialektika wacana keilmuan dan budaya literer akan tetapi hanya berorientasi pada politik praktis-pragmatis saja.

Namun, pengakuan tulus justru ditunjukkan oleh Agus. Bahwa berorganisasi adalah belajar menjadi pejabat! Alasannya, dengan begitu akan belajar menyelesaikan masalah di kampus dan di masyarakat. Oleh sebab itu, saya kemudian mafhum dan insyaf dengan pikiran Agus mengapa di kampus (tempat saya, Agus dan Nadhifah kuliah) setiap menjelang Pemilu Raya Mahasiswa, bertebaran ”politik baliho”. Para calon elite mahasiswa di kampus begitu ”sok” menyapa ”rakyat” dengan pamer wajah agar populis di mata rakyat. Mereka berlagak seperti layaknya calon-calon pejabat beneran seperti di Pemilu, Pilkada, Pilgub. Menciptakan rezim visual dengan bertindak otoriter. Memaksakan wajah mereka bertebar di seantero kampus dan lingkungannya agar dilihat. Mereka mengotori tempat publik, tempat mata-mata rakyat memandang lingkungan asri dengan sampah visual mereka!

Seperti yang kita tahu bahwa gerakan ”bombastis” mahasiswa yang mampu menggerakkan perubahan signifikan di negeri ini hampir selalu hanya bersifat termporer. Setelah gerakan terjadi dan menghasilkan perubahan, maka mahasiswa akan ”dingin” kembali dan tak lagi terlihat melakukan gerakan progresif yang mencolok. Kekecewaan Soe Hok Gie melihat kawan-kawannya yang turut demonstrasi menurunkan Soekarno adalah mereka yang awalnya mencaci kelaliman penguasa, akhirnya jadi penguasa baru, menciptakan rezim baru. Ini juga tak beda jauh dengan paskapenurunan Soeharto dari kursi kepresidenannya. Bahwa mereka yang getol mengkritik terhadap penguasa dan awalnya melakukan kontrol sosial, akhirnya jadi penguasa baru yang tak jauh beda dengan penguasa lama. Pengakuan Agus adalah realitas terkini tentang kondisi mentalitas organisasi kampus. Hal itu menunjukkan kepada kita bagaimana masa depan bangsa nantinya dengan melihat realitas generasi muda sekarang, seperti pemikiran Agus.

Miskinnya budaya literer organisasi kampus yang dikritik oleh Nadhifah dan dibela mati-matian oleh Agus adalah persoalan tentang masa depan mahasiswa sebagai cendekiawan masa depan. Menurut Lewis Coser seperti apa yang pernah dikutip oleh Arief Budiman dalam Golongan Cendekiawan: Mereka yang Berumah di Angin (1981), cendekiawan adalah mereka yang mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat dalam hubungannya yang lebih tinggi dan lebih luas. Kebenaran yang berlaku saat ini yang ditanyakan oleh Nadhifah terhadap tradisi organisasi mahasiswa adalah miskinnya wacana keilmuan sebab miskin budaya literer. Kampus dan organisasi mahasiswa sebagai jalur pendidikan yang menghimpun mahasiswa seharusnya mampu menggerakkan mahasiswa dalam tradisi keilmuan dan kebersahajaan yang bersifat asketik. Bukan menciptakan calon elite intelektual baru yang berselingkuh dengan politik dan berburu posisi jadi manusia profesi dalam struktur pemerintahan mahasiswa.

Beruntungnya—kebenaran yang berlaku saat ini yakni proses bermahasiswa bermuara utama pada pekerjaan—dipeluk erat oleh Agus dengan bersandar pada konsep soft skills-hard skills. Tema mahasiswa, sejak awal masuk menjadi mahasiswa baru dan kemudian lulus akhirnya memang hanya berjarak lima sentimeter dari uang. Nadhifah yang mencoba melakukan dekonstruksi atas pemahaman kebenaran saat ini, dengan menekankan pada sisi intelektualitas mahasiswa, sulit untuk menerobos. Tema kerja, kerja, kerja dan uang rupanya tak bisa lepas dari proses bermahasiswa. Hal ini terbukti dengan argumen-argumen Agus.

Inilah yang kemudian menyebabkan para intelektual negeri ini berumah di angin. Mereka yang mendapat pendidikan tinggi berorientasi bukan sebagai abdi untuk mencerdaskan masyarakat tetapi sebagai abdi bagi kepentingannya sendiri. Apa yang dikatakan oleh Montgomery Watt (1987:205) ketika melakukan analisa terhadap perkembangan generasi pemikir di dunia Islam terbukti. Bahwa mereka para calon intelektual Islam dengan model pendidikan modern cenderung terputus dengan masyarakat umum. Pertanyaannya, berorganisasi di kampus yang dipahami sebagai pijakan untuk menjadi pejabat, mampu menyelesaikan persoalan masyarakat dari mana jika orientasi bermahasiswa adalah pekerjaan bagi dirinya sendiri?

Kecenderungan paling umum yang terjadi pada kaum terdidik di negara dunia ketiga adalah pendidikan tinggi untuk meraih posisi aman secara finansial bagi dirinya sendiri. Ini berbeda dengan negara maju yang kebutuhan hidup para intelektualnya telah dijamin oleh negara sehingga hasil penelitian dan ilmunya benar-benar dibaktikan untuk masyarakat negaranya dan masyarakat dunia. Mengerti organisasi mahasiswa saat ini dengan berkaca pada argumentasi Agus, membuat kita mafhum, organisasi mahasiswa benar berada pada tubir jurang tanpa dasar!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya