SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Sabtu (24/6/2017). Esai ini karya Bandung Mawardi, esais sekaligus kuncen Bilik Literasi Solo. Alamat e-mail penulis adalah bandungmawardi@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin kepada seluruh keluarga besar trah Niti Tjontoko.” Tulisan itu tak tercantum sebagai iklan di koran atau tulisan di spanduk. Kalimat biasa dan sederhana itu berada di halaman buku berjudul Irama Rasa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Buku itu berisi cerita dan esai susunan Agus Budi Wahyudi. Buku tersebut diterbitkan oleh Jagat Abjad, Solo, 2017. Buku itu sengaja diterbitkan untuk Lebaran, bukan untuk diperdagangkan kepada pembaca. Agus Budi Wahyudi, seorang dosen dan penulis, telah merencanakan berbagi buku saat Lebaran bersama keluarga besarnya di Solo dan Kudus.

Gagasan tentang pakaian, makanan, dan uang ditepikan untuk mengartikan pertemuan keluarga. Orang-orang telanjur mengartikan Lebaran melulu bersantap makanan enak. Pada hari-hari menjelang Lebaran mereka bernafsu berbelanja biskuit, roti, atau kue dalam kemasan kaleng dengan merek-merek berbahasa asing dan legendaris.

Mereka juga membeli botol sirup atau minuman-minuman dalam kemasan dengan maksud direguk saat Lebaran. Gagasan itu memastikan Lebaran adalah ”kemenangan” mulut dan perut. Gagasan membeli dan mengenakan pakaian baru tentu tetap dimufakati jutaan orang.

Lebaran itu harus berpenampilan rapi dan perlente. Kesibukan agak aneh melengkapi santapan dan pakaian adalah mengadakan amplop-amplop berisi uang. Konon, Lebaran menjadi hari terampuh membagi uang kepada bocah-bocah sampai orang tua.

Sekian gagasan itu lazim. Agus Budi Wahyudi memilih gagasan buku. Barangkali ada sejenis iklan atau propaganda agar keluarga besar saat berkumpul dan bersantap bersama sempat mengingat bacaan. Buku diartikan ”santapan” berfaedah bagi pikiran, perasaan, dan imajinasi.

Tindakan membagi buku saat Lebaran mungkin aneh dan menjadi ”kritik” atas tumpukan makna: suci, kemenangan, hiburan, dan silaturahim. Berbagi buku Irama Rasa justru wujud mengingatkan orang-orang agar tak manja, malas, atau berlebihan saat mengalami detik-detik Lebaran.

Pesan gamblang tentulah ajakan membaca buku dan sinau itu tak perlu libur saat Lebaran. Apakah membaca buku tampak lebih bergengsi ketimbang piknik dalam keramaian, menonton film di gedung bioskop, menonton televisi sampai tertidur, atau sibuk mengurusi media sosial?

Selanjutnya adalah: Tak ingin mengajukan misi-misi muluk…

Misi-misi muluk

Agus Budi Wahyudi tak ingin mengajukan misi-misi muluk. Ikhtiar menulis dan menerbitkan buku Irama Rasa berjumlah 300 eksemplar itu lebih bermakna ”doa” ketimbang berlagak sebagau gerakan literer, mengacu ke kebijakan pemerintah atau seruan para tokoh perbukuan di Indonesia.

Buku menjadi ”kata sapaan” kepada saudara dan keponakan agar melek aksara, tak melulu memikirkan makanan, minuman, pakaian, hiburan, dan pelesiran. Buku dibagikan mengandung nalar penghindaran gagasan uang. Agus Budi Wahyudi mungkin berpikiran bahwa uang-uang di tangan bocah dan orang tua saat Lebaran jarang dibelanjakan buku.

Ratusan buku dibagikan dengan girang dan penuh kebersahajaan meski orang-orang mungkin akan gampang memberi komentar dan sangkaan-sangkaan tak keruan. Pilihan mengartikan Lebaran dengan buku juga dilakukan Dias Panggalih.

Pada hari-hari menjelang Lebaran, pegawai negeri yang berdinas di Kota Semarang itu memilih menyediakan anggaran untuk berbelanja buku. Keputusan itu agak mendadak tapi penuh keinsafan. Ia membelanjakan uang hampir Rp1 juta untuk mendapatkan buku-buku dalam obralan di toko buku terkenal di Solo.

Pulang ke Solo mungkin berarti mudik, kumpul bersama keluarga. Ia tak harus repot membawa kardus atau keranjang berisi makanan dan minuman untuk dibagaikan kepada keluarga, tetangga, dan teman. Konon, ia sudah jenuh dengan obrolan-obrolan mengenai makanan, pakaian, uang, mobil, gawai, dan liburan.

Anggaran mendadak dia arahkan ke tindakan kecil bermisi literer. Buku-buku ingin dia bagikan saat berkumpul bersama keluarga besar di Solo dan Magetan. Tumpukan buku sudah diperoleh dengan kriteria bacaan bagi anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita) sampai remaja.

Aneh

Tindakan membelanjakan uang untuk buku terkesan aneh jika dibandingkan kerumunan atau antrean orang-orang di pusat perbelanjaan. Mereka sudah membuat anggaran besar demi berbelanja dengan ”mufakat” kolosal agar menikmati Lebaran secara pantas atau  mewah.

Lebaran memang memberi kesibukan-kesibukan yang memerlukan uang dan perburuan tanpa putus asa. Dias Panggalih malah memilih berbelanja buku dengan girang. Lebaran mungkin ingin dia artikan sebagai ”kemenangan” berilmu dan berpengetahuan ketimbang memenuhi nafsu makan dan hiburan.

Apakah berbagi buku itu bakal menopang kebijakan pemerintah dan sanggup memikat bocah atau remaja berpihak kepada buku saat Lebaran dan liburan panjang? Jawaban tak usah tergesa-gesa diberikan dan berargumentasi secara murahan.

Dias Panggalih memang tak menulis dan menerbitkan buku tapi ikhtiar membagikan buku-buku bacaan menjadi peristiwa meloloskan diri dari tumpang tindih mengartikan Lebaran. Ada tokoh lain lagi berkaitan Lebaran dan buku.

Tokoh ketiga ini bernama Slamet Basirun, tinggal di Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Lelaki tua itu memiliki dua anak dan empat cucu. Hari-hari menjalani Ramadan dan menjelang Lebarang sering berarti membaca buku. Ia bukan pencandu televisi.

Telepon seluler atau gawai tak pernah  dia miliki. Dia tak pernah mencari informasi, pamer foto, atau bermain komentar di media sosial. Slamet Basirun jarang tergoda dengan berita-berita ”cepat” di televisi atau Internet. Ia memilih membaca koran dan majalah meski sudah kedaluwarsa sehari sampai sepekan.

Kenikmatan membaca adalah pilihan merawat kewarasan berpikir dan berimajinasi. Kebiasaan membaca buku tak melulu dia lakukan rumah. Di meja ruang tamu, ratusan buku menumpuk dan sulit rapi. Di meja jarang ada makanan ringan atau minuman.

Buku, majalah, dan koran menjadi ”penghuni” sah ruang tamu untuk menggoda para tamu saat mengadakan percakapan dengan tuan rumah. Sejak dua tahun lalu, Slamet Basirun juga memiliki kebiasaan membawa tas berisi buku-buku saat ke masjid.

Ibadah salat di masjid mendapat makna tambahan: berkumpul bersama jemaah untuk berbagi cerita dan menggoda mereka dengan buku. Ia memilih bertahan di masjid setelah menunaikan Salat Magrib. Di masjid, buku-buku itu dibaca sendiri dan dipinjamkan ke jemaah saat mereka memilih turut tinggal di masjid.

Selanjutnya adalah: Obrolan dan membaca buku…

Membaca buku

Obrolan dan membaca buku bisa sampai pukul 21.00 WIB. Masjid  menjadi ruang ibadah dan literer. Buku-buku di rumah menjadi bacaan bagi para remaja dan penceramah tingkat desa. Mereka biasa meminjam buku-buku atau menikmati pengisahan buku oleh Slamet Basirun untuk menambahi materi saat disampaikan dalam kuliah tujuh menit atau ceramah.

Ikhtiar itu mengarah ke penambahan khazanah tema dan penafsiran agar materi-materi ceramah selama Ramadan tak menjemukan. Buku-buku berfaedah bagi siapa saja meski semakin berantakan. Ramadan itu buku dan Lebaran itu buku bagi para tokoh ini teranggap bukan keanehan.



Pada saat Lebaran, Slamet Basirun tak terlalu mengharapkan bingkisan makanan, pakaian, sarung, uang, dan gawai. Ia memilih menantikan kedatangan buku dan majalah, penambah koleksi di meja tamu. Selama hampir 10 tahun, meja di ruang tamu dipastikan menjadi arena perebutan kuasa antara buku, majalah, makanan, dan minuman.

Tradisi meja ”bermenu” buku dan majalah itu terbentuk bersama menantunya. Slamet Basirun memiliki menantu berpredikat  penulis, pedagang buku, dan pengajar literer di pelbagai sekolahan. Sang menantu bertugas menambahi koleksi berupa buku-buku bertema agama, sejarah, militer, politik, biografi, kejawaan, dan sastra.

Majalah Tempo dan Basis tentu turut jadi ”santapan” bersama koran-koran lokal atau nasional. Pada setiap Lebaran, Slamet Basirun menunggu kedatangan buku-buku dan majalah. Sang menantu datang dengan pengharapan membahagiakan mertua meski tak pernah memberi bingkisan berisi sirup, roti, baju, sajadah, peci, atau gawai.

Lebaran adalah buku untuk disantap sambil berbahagia berkumpul bersama anak dan cucu. Buku itu memikat ketimbang menonton acara-acara picisan di televisi atau pelesiran berisiko kemacetan dan pemborosan uang. Di rumah, Slamet Basirun turut memuliakan buku saat Lebaran, dan tanpa pretense harus mengumumkan diri sebagai aktivis literer kepada publik.

Kunjungan para tetangga dan teman saat Lebaran memastikan ada ”hidangan” buku di meja.  Pemandangan cukup menakjubkan ketimbang pamer makanan dan minuman kemasan demi mulut dan perut.  Saya mengajukan tiga tokoh itu untuk mengusulkan kepada pembaca agar mengartikan Lebaran itu buku.

Agus Budi Wahyudi berperan sebagai penulis buku. Dias Panggalih berpredikat pembelanja buku. Slamet Basirun adalah pembaca buku. Mereka tak harus dipotret untuk dipamerkan di media sosial sebagai tokoh literer dan berharap mengumpulkan ”like” atau komentar.

Mereka cuma menunaikan ”ibadah literer” saat orang-orang secara kolosal memberi arti Lebaran yang bertumpuk-tumpuk itu. Rasanya pantas memberi pujian kepada mereka tanpa harus bertepuk tangan selama tiga hari tiga malam. Mereka sudah memberi arti saat Lebaran dan liburan panjang yang sering memuat kesibukan-kesibukan berlebihan demi pelbagai pamrih. Pesan kecil tersampaikan kepada kita (setidaknya bagi para tokoh itu) bahwa Lebaran itu  buku.

 

 







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya