SOLOPOS.COM - Joko Wahyono, Analis Politik di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Joko Wahyono, Analis Politik di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Belakangan ini media–khususnya televisi–begitu santer memberitakan ihwal serangkaian aksi kekerasan. Kejadian demi kejadian hampir tanpa jarak disajikan secara telanjang. Seakan-akan media saat ini memang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, pertikaian senjata, amuk massa, korban tewas dan kerusakan-kerusakan lainnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Alih-alih memberi ruang bagi fungsi mediasi yang lebih mendamaikan dan menggugah perasaan. Media justru tampak menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan luapan emosi, amarah dan kecenderungan destruktif manusia secara wajar. Akibatnya, kedamaian dan rasa aman masyarakat menjadi kian terkoyak ketika letupan-letupan kekerasan  yang terlihat semakin tajam, sadis dan dramatis itu diberitakan.

Hal ini tampak, misalnya, dalam peliputan tragedi berdarah di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tragedi yang semula (konon) adalah perkelahian antarindividu itu akhirnya berkembang menjadi penyerbuan bersenjata dan sentimen antarkelompok. Perkembangan eskalasi konflik ini pun kemudian meluas menjadi isu nasional, bahkan internasional.

Secara ideal media memang harus menyediakan dan menyajikan informasi yang jujur dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui masyarakat. Namun, menurut Wilbur Schramm (1971), pola kerja pemberitaan media tentang krisis sosial masih cenderung mengutamakan penyajian berita secara cepat minus akurat.

Akibatnya, isi berita menjadi terfragmentasi, silang sengkarut dan membingungkan. Apalagi lagi ketika satu peristiwa yang sama diberitakan secara berbeda, bahkan bertentangan. Inilah yang sering kali memunculkan bias pemahaman di tengah-tengah masyarakat. Di balik independensi dan objektivitas media tersimpan paradoks, tragedi bahkan ironi.

Pemberitaan tentang kekerasan yang disajikan masih bersifat permukaan, parsial dan kurang proporsional. Media tercerabut dari roh yang seharusnya berkiblat kepada kepentingan publik. Kehadiran media belum mampu menjamin perbaikan situasi krisis sosial yang kini berlangsung.

 

Membangun Sensitivitas

Jika dicermati, sebagian besar liputan media hanya menekankan pada sisi kronologi kekerasan dan dikotomi sederhana antara dua kubu yang berseteru. Roh pemberitaan bukan pada aspek akar masalah dan proses verifikasi yang bisa mendukung perbaikan situasi menuju tumbuhnya perdamaian.

Setiap kekerasan yang ditampilkan secara vulgar oleh media akan bersentuhan langsung dengan karakteristik ”murni” masyarakat. Informasi tentang kekerasan akan diteruskan ke dalam struktur kognitif (memori) mereka dan membentuk sistem respons yang dapat memicu perubahan nilai, sikap dan perilaku. Aristoteles pernah menyatakan bahwa melihat pemandangan kekerasan dapat mengeluarkan perasaan agresif manusia.

Fred Siebert (1986) menegaskan bahwa pemberitaan media yang berisi konflik dapat membawa dua pengaruh, yakni memperluas eskalasi kekerasan atau dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik. Untuk itulah media harus memikirkan ulang (rethingking) bahwa berita yang ditulis dan ditayangkan akan punya multiplier effect kepada masyarakat yang menyimaknya.

Penyaringan (filterisasi) dan pembingkaian (framing) informasi bukan untuk memprovokasi dan mempertajam konflik tetapi berusaha mendorong kemunculan ide-ide kreatif bagi alternatif penyelesaian konflik. Media harus membangun sensitivitas dan kesadaran untuk membawa pemberitaan kekerasan ke arah perdamaian. Sensitivitas media ini dicapai dengan pengedepanan sikap empati kepada korban-korban konflik dan akibat-akibat kemanusiaan lainnya daripada liputan kontinu tentang jalannya kekerasan.

Inilah yang disebut Jake Lynch dan Annabel McGoldrick (1991) sebagai jurnalisme damai (peace journalism). Jurnalisme damai selalu menempatkan perang atau kekerasan sebagai sebuah ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Hal ini akan terwujud jika media menetapkan ”pilihan-pilihan bersifat damai” tentang berita yang disajikan dan bagaimana cara penyajiannya.

Di sini sensitivitas media berperan menyerukan kepada semua pihak untuk memikirkan invisible effect of violence, seperti kerugian psikologis, kerusakan struktur sosial, budaya, moral dan hancurnya masa depan korban kekerasan.

 

Peran Aktif

Kini, media harus memosisikan berita kekerasasn sebegitu rupa sehingga mendorong analisis konflik dan tanggapan tanpa kekerasan. Kebiasan untuk mendongkrak (blow up) atau memvonis (trial by the press) sebuah peristiwa secara berlebihan demi meningkatkan daya tarik justru menunjukkan lemahnya tanggung jawab media dalam pemberitaan.

Apalagi jika tidak didukung oleh disiplin verifikasi dan klarifikasi fakta secara akurat. Untuk itu, pembingkaian berita (framing) harus dilakukan secara lebih luas, berimbang (cover both side) dan akurat dengan didasarkan pada informasi tentang kekerasan dan perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya ekses fatal yang ditimbulkan.

Pola kerja media harus dapat melihat suatu tragedi kekerasan dari berbagai perspektif yang berbeda. Pengungkapan akar masalah kekerasan bisa terkait dengan sejarah, psikologi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Dengan demikian, media akan mampu mengungkap fakta tentang kekerasan secara lebih komperehensif dan holistik sehingga masalah dapat dianalisis dan dipetakan untuk kemudian dimunculkan berbagai alternatif solusi pemecahannya.

Langkah ini diperlukan agar peristiwa kekerasan menjadi semakin transparan, bukan mengacaukan interpretasi publik. Dari sinilah media–melalui strategi pemberitaan yang tepat–akan mampu berperan aktif menjadi bagian dari solusi, bukan memperkeruh situasi krisis sosial itu. Selain itu, media juga dituntut untuk memindahkan orientasi sumber pemberitaan dari level elite ke level masyarakat.

Media dituntut pula untuk menggeser sudut pandang liputan dari fakta kekerasan ke arah pusat penderitaan masyarakat. Suara publik yang mulai jenuh dengan pemberitaan konflik dan kekerasan harus mendapat porsi pemberitaan yang lebih banyak dibanding para pihak yang berkonflik.

Hal ini bertujuan menggugah kesadaran bahwa konflik yang disertai kekerasan hanya mendatangkan kerugian dan penderitaan manusia yang menjadi korban. Akhirnya, kualitas komunikasi dan informasi media melalui berbagai upaya perluasan pemberitaan yang lebih damai dapat membantu perbaikan krisis sosial yang kini kian marak. (uin_djo2@yahoo.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya