SOLOPOS.COM - Indra Tranggono (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (19/7/2017). Esai ini karya Indra Tranggono, pengamat budaya yang tinggal di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah indra.tranggono23@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Manusia harus menjadi majikan (penguasa) atas hawa nafsunya. Artinya ia berdaulat secara penuh atas dirinya demi menjadi manusia yang memiliki kepribadian berkualitas (karakter), beretos kerja tinggi, berkomitmen pada kemanusiaan, dan punya komitmen sosial.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Karakter merupakan watak berbasis nilai-nilai ideal yang menjadi ciri pembeda dan nilai lebih atas manusia kebanyakan. Etos kerja dapat dimaknai sebagai spirit yang mendorong manusia mampu melahirkan kualitas kerja dan hasil yang optimal.

Komitmen kemanusiaan merupakan sikap moral untuk meninggikan nilai-nilai kemanusiaan pada posisinya yang pantas atau layak. Adapun komitmen sosial merupakan nilai-nilai kesetiaan untuk selalu solider terhadap sesama manusia atau lingkungan sosial. Peduli terhadap liyan menjadi pilihan etis yang selalu diambil dan diwujudkan.

Ekspedisi Mudik 2024

Bangsa kita kini sedang mengalami krisis nilai kepribadian dan sosial. Lemahnya kepribadian menjadikan banyak orang gampang terprovokasi oleh individualisme, konsumerisme, sikap intoleran, dan hedonisme.

Individualisme dipompa liberalisme yang semakin menguat. Sebagai paham yang mengutamakan kebebasan individual, liberalisme memecah, mencairkan, dan mengurai ikatan-ikatan sosial. Peran negara dicoba untuk dihapus, demi berkuasanya pasar bebas.

Manusia diasingkan dari budaya komunal (guyub rukun, gotong royong) sehingga mudah dikuasai dan dijadikan taklukan. Kebersamaan digantikan  persaingan (kompetisi/kontestasi). Yang berlaku adalah hukum “hanya yang kuatlah yang bertahan dan menang”.

Prinsip-prinsip hidup berkeadilan ditendang dan digantikan dengan monopoli, dominasi, dan hegemoni. Manusia dijebol dari akar sejarah dan kebudayaan. Identitas dilenyapkan. Yang dominan adalah manusia-manusia anonim.

Lahirnya manusia-manusia anonim merupakan sukses besar dari kerja keras liberalisme dan kapitalisme. Langkah berikutnya adalah membanjiri kehidupan dengan konsumerisme secara sistematis dan masif.

Konsumerisme menjadikan manusia hanya punya ideologi membeli, bukan mencipta. Dari sini lahirlah bangsa konsumen. Orang dibuat tidak dapat membedakan antara keinginan dan kebutuhan.

Keinginan adalah kondisi atau keadaan manusia yang serbaingin mendapatkan barang atau jasa, tanpa berpikir soal guna/manfaat. Yang penting membeli dan memiliki.

Adapun kebutuhan merupakan kondisi atau keadaan ketika manusia memiliki kebergantungan tinggi atas sesuatu. Makan secara wajar itu kebutuhan. Sehat itu kebutuhan. Pendidikan itu kebutuhan.

Dominasi dan hegemoni kapitalisme dan liberalisme melahirkan reaksi berupa penguatan atas kelompok berbasis agama yang berupaya menciptakan budaya tanding, namun penolakan yang dilakukan kelompok tersebut sangat ekstrem.

Mereka juga berusaha memaksakan keyakinan dan seluruh nilai-nilai kebenaran mereka di masyarakat. Pluralisme dianggap sebagai gangguan. Muncullah sikap-sikap intoleran atas segala perbedaan.

Selanjutnya adalah: Masyarakat tak  memiliki daya kritis…

Daya Kritis

Di sisi lain, masyarakat yang tidak memiliki daya kritis terhadap kapitalisme dan liberalisme cenderung acuh tak acuh terhadap problem lingkungan dan peningkatan kapasitas diri. Mereka lebih berasyik masyuk dengan hedonisme.

Kemudahan mereka dalam menemukan akses-akses ekonomi dan mendapatkan penghasilan yang layak tidak digunakan untuk membangun solidaritas sosial, melainkan justru untuk mengembangbiakkan hedonisme.

Hedonisme bisa dimaknai secara biologis (makan, minum, belanja barang, rumah, mobil, gadget) bisa pula secara psikologis, yakni segala bentuk kenikmatan yang menimbulkan kesenangan seperti pamer apa yang dimiliki (eksebisionisme) dan narsisme.

Menjadi manusia yang mengalami kelahiran baru adalah menjalani kehidupan dengan kesadaran tinggi atas nilai, etika, moral, norma, dan hukum. Hal ini penting agar manusia tidak terjebak ke dalam perilaku menyimpang yang berkaitan dengan tujuh dosa sosial seperti dirumuskan Mahatma Gandhi.

Pertama, kekayaan tanpa kerja atau mencari kekayaan secara haram dan tanpa kerja keras, misalnya korupsi, menggarong hak-hak orang lain, dan lainnya. Kedua, kesenangan tanpa nurani, yakni sifat tega menikmati seluruh kemewahan hidup di tengah kemiskinan masyarakat.

Ketiga, ilmu tanpa kemanusiaan, yaitu ilmu yang tidak memiliki nilai-nilai manfaat bagi kemanusiaan alias ilmu yang bebas nilai dan tidak punya tanggung jawab sosial. Keempat, pengetahuan tanpa karakter, yakni pengetahuan yang tidak berbasis pada etika dan moral.

Kelima, politik tanpa prinsip. Kerja-kerja politik yang tidak berorientasi pada ideologi yang memuliakan kemanusiaan, mengangkat martabat, dan menembangkan peradaban bangsa



Keenam, perniagaan tanpa moralitas, yakni melakukan transaksi jual beli tanpa berorientasi pada moralitas (kebenaran dan kebaikan). Prinsipnya, hanya untung. Ketujuh, ibadah tanpa pengorbanan, yakni menjalankan ibadah tanpa disertai amal saleh, seperti berderma, berinfak, membantu sesama, dan tindakan filantropis lainnya.

Manusia selalu dikepung godaan, namun manusia dikarunia Tuhan akal sehat dan hati nurani untuk mengatasinya. Sebagai mahluk budaya manusia punya banyak referensi nilai-nilai sekaligus cara untuk menciptakan kedaulatan diri atas hawa nafsu yang menguasainya.

Manusia yang baik adalah yang memiliki jiwa asketis. Bukan hedonistis. Semoga kita mampu menjadi manusia yang mencapai kelahiran baru. Tak perlu muluk-muluk. Bisa menjadi orang baik pun sudah cukup.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya