SOLOPOS.COM - Na'imatur Rofiqoh (istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (30/9/2017). Esai ini karya Naimatur Rofiqoh, tukang gambar dan “pemukul” huruf. Alamat e-mail penulis adalah naimaturr@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–”Ayah kok matun [menyiangi rumput pengganggu di sawah yang ditanami padi],” kata seorang ibu. Ibu-ibu lain yang duduk mengitari umbrukan buncis tertawa terkekeh-kekeh.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

”Hla, ya, sing matun ki bapak. Ayah kerjane ya neng kantor,” sahut seorang ibu yang duduk di samping saya. Bibirnya bergincu tipis, bergamis bunga-bunga, telapak kakinya yang pecah-pecah bersandal warna kuning.

Gelak tawa kembali terdengar di antara kesibukan tangan-tangan mengirisi buncis yang demikian banyak. Celotehan para ibu itu terjadi di dapur bude saya, di sebuah desa nun di ujung timur Jawa Timur beberapa waktu lalu. Saya dan para ibu itu tengah rewang sebab bude saya berhajat mengawinkan anak lelaki ragil.

Celotehan bernada gojekan belum berakhir setelah beberapa lama. Ibu-ibu itu tidak habis pikir pada panggilan bocah-bocah mutakhir kepada orang tua mereka. Di desa yang belum tercakup Peta Google itu ada bocah yang nekat memanggil orang tuanya dengan ”papa” dan ”mama”.

Betapa telinga bakal terasa geli ketika seorang tetangga bertanya kepada seorang bocah lelaki,”Bapakmu neng ngendi, Le?” dan kemudian mendapatkan jawaban dari si bocah,”Papa lagi ndhangir [menggemburkan tanah dengan pacul], Bude.”

”Papa” dan ”ndhangir adalah pasangan kata yang sulit direstui hingga paragraf berakhir. Batin atau rasa bahasa masyarakat mutakhir telanjur terlatih oleh tautan bahasa dengan feodalisme, rasisme, dan kolonialisme sejak masa lalu.

”Ayah”, ”papa”, dan ”bapak” meski ketiganya telah sah berumah di kamus bahasa Indonesia ternyata  tidak dapat duduk berlesehan bersama sambil ngopi di warung bahasa. Bocah-bocah yang mengenal ”ayah”, ”papa”, dan ”bapak” lewat televisi menemukan ”ayah”, ”papa”, dan ”bapak” yang sama di buku dan majalah terbitan tempo lalu. Ketiganya bertengkar memperebutkan ruang dan laku.

”Ayah” dan ”papa” atau sering juga dipanggil ”papi” tidak tinggal di desa dan tidak ndhangir sejak Subuh sampai terik matahari. Siswandi di buku Lambaian Seribu Bunga (2007) mengisahkan keberadaan seorang ayah di luar kota meski berasal dari desa.

”Ibu percaya, meskipun ayahmu hanya seorang buruh dan kakakmu hanya menjadi tukang las, mereka tidak pernah menipu.” Persentuhan keluarga dengan modernitas kota dan meninggalkan pekerjaan agraris telah mengizinkan panggilan ”ayah”.

Selanjutnya adalah: ”Ayah” dan ”papa” bekerja terkungkung tembok empat sisi…

Terkungkung Tembok

”Ayah” dan ”papa” bekerja terkungkung tembok empat sisi, menjadi pegawai atau pemimpin  perusahaan. Di Majalah Bobo edisi 25, 1 Oktober 2009,  kita bertemu Nino dalam cerita Parsel Lebaran Buat Pak Jo. Sepulang sekolah, Nino lekas ke dapur. Di sana ia menemukan orang tuanya sibuk membungkus rupa-rupa buah dan kue ke dalam keranjang rotan.

Nino bertanya kepada orang tuanya yang ia panggil ”Papa” dan ”Mama” untuk siapa saja parsel itu. ”Buat teman-teman dan relasi Papa,” jawab Mama sambil terus sibuk menulis di kartu-kartu Lebaran untuk teman dan relasi papa.

Papa yang bekerja di kantor wajar memiliki relasi. Relasi yang memiliki tautan kepentingan ekonomi terbedakan dengan teman yang lebih dekat secara psikologis. Kita meragukan ada seorang papa sehabis ndhangir lalu meeting dengan relasi di bawah naungan pohon bambu di pinggir sawah.

Di Majalah Bobo edisi 43, 4 Februari 2010, kita menemukan narasi papa yang sibuk. ”Aku bergegas menuju meja telepon. Aku ingin menelepon Papa yang sedang bertugas ke luar kota. Sayangnya, HP Papa susah sekali dihubungi. Selalu saja terdengar nada sibuk.”

Papa tinggal di rumah yang memiliki meja telepon. Rumah itu tentu memiliki peralatan rumah tangga mutakhir: blender, mikser, pemanggang, dandang listrik, mesin cuci. Pembantu senantiasa siap menggantikan mama menyelesaikan perkara rumah tangga.

Dua narasi mencandrakan keberadaan para papa di kota-kota, bukan sawah atau ladang di desa. Seorang papa memang mesti sibuk, tak boleh menghabiskan sore di beranda sambil rengeng-rengeng.

Ke luar kota pun papa menjalankan misi “bertugas” meski, siapa tahu, nyambi pelesir. Kota yang bikin sumuk, macet, tergesa, dan jahat, lumrah melahirkan para ”papa minta saham”, bukan ”ayah minta saham” atau ”bapak minta saham”.

Kita bisa bertemu bapak di sebuah kampung, di sudut Gang Tembok yang kumuh, di cerita Sang Merah Putih garapan Gusti Noor (Bobo No. 16, 16 Agustus 1990). Nano, seorang bocah siswa sekolah dasar, tak terima di rumahnya tak dipasang bendera merah putih seperti di rumah-rumah lain untuk menyambut Hari Kemerdekaan.

Nano membantu Pak Zainal mengecat tiang bendera. Upah sebuah tiang dan bendera segera dia bawa pulang. Di rumah, Emak terkejut melihat Bapak dan Nano sedang menggali lubang. Persis di depan gubuk mereka, Bapak menyiapkan lubang untuk menancapkan tiang bendera.

Selanjutnya adalah: Bapak tidak memiliki pekerjaan di kantor dan bukan pegawai…

 



Bukan Pegawai

Kita bisa memaknai Bapak tidak memiliki pekerjaan di kantor dan bukan pegawai. Bapak barangkali seorang pedagang, buruh angkut di pasar, atau tukang becak. Yang paling kentara, kita membaca “Bapak” baik-baik saja bersanding dengan ”gubuk”.

”Papa” tentu tak punya ”gubuk”, melainkan rumah. ”Bapak” tidak bersanding dengan “Mama”, tetapi ”Emak” atau ”Ibu”. Bapak mencandrakan hidup yang sederhana, cukup, jauh dari benda-benda yang mentereng.

Bapak yang ndhangir dan matun di sawah, menghidupi desa-desa atau tepian kampung, terlibat dalam kelakar dengan tetangga di pos ronda. Kalau kit amembaca kamus, rupanya ”bapak” memiliki narasi lebih panjang dibanding ”ayah” atau ”papa”

Dalam kamus ”bapak” adalah (1) orang tua laki-laki […]; (2) orang (laki-laki) yang dalam pertalian kekeluargaan boleh dianggap bersamaan dengan bapak […]; (3) orang yang dipandang sebagai orang tua […]; (4) orang yang menjadi pelindung (perintis jalan, yang banyak penganutnya, dan sebagainya).

Kita pun bisa merumuskan jawaban mengapa Ki Hadjar Dewantara selalu disebut Bapak Pendidikan Indonesia, bukan Papa Pendidikan Indonesia, bukan pula Ayah Pendidikan Indonesia. Mengingat ”bapak” di Indonesia, kita malah bertemu ”bapak” dan keluarga yang mengalami politisasi keterlaluan pada era rezim Orde Baru.

Saya Sasaki Shiraishi dalam buku Pahlawan-Pahlawan Belia menarasikan Indonesia tempo itu dibentuk oleh kelahiran bapak Orde Baru yang menahbiskan diri lewat pembantaian, membangun koneksi keluarga maha besar dalam hierarki bapak-anak, dan yang paling mengerikan: mengajukan propaganda ideologi yang disebut oleh Shiraishi sebagai “ideologi negara keluarga bapak-tahu-segala Orde Baru” lewat buku-buku mata pelajaran yang tersebar ke seluruh pelosok negeri.

Sampai saat ini bocah-bocah yang dulu mengenal bahasa Indonesia hanya lewat Budi, Bapak Budi, Ibu Budi, dan adiknya, Wati, berteriak lantang,”Keren!” saat menonton film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 September yang konon dipertontonkan lagi di hadapan publik tunasejarah di Indonesia.

Dalam kelindan politik bahasa dan sejarah, sebagian dari para calon ayah, papa, dan bapak merelakan diri menonton film Jagal dan Senyap demi martabat keluarga Indonesia pada masa depan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya