SOLOPOS.COM - Abu Nadhif

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (18/9/2017). Esai ini karya Abu Nadhif, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah abu.nadhif@solopos.co.id

Solopos.com, SOLO–Saya benar-benar dongkol saat membaca komentar pelatih Vietnam, Hoang Anh Tuan, kala Indonesia kalah 0-3 dalam babak fase grup Piala AFF U-18, Selasa (12/9) lalu. ”Saya tidak kaget dengan kemenangan 3-0 atas Indonesia,” kata Hoang.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sombong benar pelatih ini. Begitu batin saya. Di mata saya, tim nasional Indonesia tampil lebih bagus. Statistik mencatat Egy Maulana dan kawan-kawan menguasai 60% permainan. Lebih dari lima peluang emas diperoleh, namun tidak menjadi gol karena kekurangtenangan pemain muda Garuda Jaya.

Dalam sepak bola tampil bagus saja tidak cukup. Butuh keberuntungan. Keberuntungan hari itu berpihak kepada Vietnam. Mereka mempermalukan Indonesia 0-3 kendati dibombardir selama 2×45 menit.

Vietnam dengan pertahanan parkir bus dobel berhasil memanfaatkan kelelahan dan kelengahan anak-anak asuh Indra Sjafrie. Menang serangan kalah skor. Begitu komentar kawan saya.

Saat dua hari kemudian Vietnam tersingkir oleh Myanmar karena kalah produktivitas gol saya bergumam kecil,”Saya tidak kaget Vietnam tidak lolos.” Ya, kedongkolan saya seperti terbalaskan.

Akhirnya kita sama-sama tahu, tim nasional kita juga tidak lolos ke final karena kalah dari Thailand melalui drama adu penalti. Meski gagal mengulang prestasi sebagai jawara Asia Tenggara di kelompok umur seperti pada 2013 lalu, permainan Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan sangat menjanjikan.

Di pertandingan perdana mereka mampu tampil tenang. Kaum muda yang belum genap berusia 18 tahun itu bermain atraktif dengan satu dua sentuhan khas ala sepak bola Spanyol lalu di akhir laga membenamkan sang tuan rumah Myanmar dengan skor 2-1.

Di pertandingan kedua mereka lebih aduhai. Sang kapten, Rachmat Irianto, mampu mengoordinasi kawan-kawannya dengan baik. Filipina dibenamkan dengan sembilan gol tanpa balas.

Kiper Filipina saat berjalan keluar lapangan terlihat menangis karena kebobolan enam gol hanya dalam waktu 60 menit. Ia mendapat kartu merah karena melanggar keras pemain depan Indonesia yang akan mencetak gol.

Hanya di pertandingan ketiga Indonesia tidak beruntung. Masih dengan gaya permainan yang aduhai, mereka kalah dari Vietnam dengan skor 3-0. Kendati kalah, permainan skuat yang pernah menimba ilmu di Toulon Tournament di Prancis itu tetap menawan.

Selanjutnya adalah: Di pertandingan penutup fase grup, Indonesia sukses memenuhi target…

Penutup fase grup

Di pertandingan penutup fase grup, Indonesia yang butuh skor minimal 8-0 sukses memenuhi target itu. Brunei Darussalam yang menjadi korban. Lagi-lagi, di babak semifinal Indonesia kurang beruntung.

Memperoleh lawan yang seimbang, Indonesia yang lebih baik secara organisasi permainan dari sang jawara Asia Tenggara, Thailand, kalah melalui drama adu penalti. Andai saja Sadil Ramdani tidak bertindak ceroboh menyikut pemain lawan yang berujung kartu merah barangkali hasil pertandingan akan lain.

Thailand yang bermain dengan jumlah pemain lengkap kerepotan menghadapi 10 pemain Indonesia. Pada babak tos-tosan, Thailand kembali menjadi batu sandungan bagi Indonesia untuk mengangkat tropi juara Piala AFF.

Saya—dan mungkin jutaan pendukung tim nasional Indonesia—tidak meratapi kegagalan skuat Indra Sjafrie di turnamen sepak bola dua tahunan ini. Sejarah prestasi sepak bola memanbg selalu dilihat dari siapa yang menjadi juaranya, tapi proses mereka berjuang jelas membuktikan M. Rifad Marasabessy dan kawan-kawan adalah pahlawan bangsa.

Pahlawan tidak selalu tampil sebagai pemenang. Para pahlawan nasional semacam Pattimura, Cut Nyak Dien, dan lain-lain boleh ”kalah” kala bertempur melawan penjajah, tapi  perjuangan mereka tetap dicatat sebagai sumbangsih luar biasa bagi bangsa dan negara.

Demikian pula perjuangan tim nasional Garuda Jaya. Mereka tampil luar biasa di turnamen ini. Kemampuan individu yang merata di semua lini, organisasi permainan yang cantik, visi bermain yang bagus, juga sifat rendah hati dengan selalu bersyukur kepada Tuhan setiap mencetak gol, seolah-olah menjadi trofi tersendiri bagi rakyat Indonesia.

Merekalah juara tanpa mahkota. Mereka telah memenangi hati jutaan penggila sepak bola di negeri ini, jutaan pendukung setia tim Merah Putih. Juara ketiga Piala AFF yang diraih dengan ”menghancurleburkan rumah tangga” tuan rumah Myanmar (skor 7-1) menjadi prestasi yang bakal mendapat tempat khusus di hati pencinta tim nasional Indonesia.

Secara kebetulan kemenangan itu diraih pasukan Merah Putih di tengah krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya oleh tindak kekerasan militer Myanmar yang seolah-olah menjadi penghibur atas tragedi kemanusiaan di negeri yang dulu bernama Burma tersebut.

Dalam kaca mata saya sebagai penggemar sepak bola, prestasi kaum muda yang dikumpulkan melalui ”ritual blusukan” Indra Sjafrie ini menjadi harapan besar bakal moncernya sepak bola Indonesia beberapa tahun mendatang.

Asalkan sepak bola benar-benar dijauhkan dari politik, prestasi itu bukan mustahil bakal diraih. Harapan Indonesia kembali menjadi Macan Asia seperti era 1960 hingga 1970 bukan harapan semu.

Selanjutnya adalah: Tolok ukurnya adalah skuat tim nasional U-22…



Tolok ukur

Tolok ukurnya adalah skuat tim nasional U-22 yang diasuh Luis Milla. Meski gagal meraih emas di SEA Games 2017 lalu dan hanya puas dengan medali perunggu, permainan Evan Dimas dan kawan-kawan sangat menjanjikan.

Mereka bermain superior. Rasa minder yang selama ini sering menjadi alasan bobroknya prestasi sepak bola kita tidak terlihat. Saat kalah di babak semifinal melawan tuan rumah Malaysia, kesebelasan Indonesia tidak tampil buruk.

Mereka mengurung pertahanan tuan rumah dan membuat kalang kabut lini belakang Harimau Malaya, tapi lagi-lagi sepak bola bukan sekadar soal skill atau taktik, tapi juga tentang keberuntungan. Keberuntungan jelas sedang tidak berpihak kepada tim nasional U-22.

Sexy football adalah istilah yang digunakan pengamat sepak bola Binder Singh. Indonesia bukan sekadar menguasai permainan, tapi juga menyuguhkan seni sepak bola yang indah. Mirip gaya main Barcelona di era Josep ”Pep” Guardiola.

Umpan-umpan pendek dengan satu dua sentuhan, penempatan diri pemain di posisi yang bagus, gerakan tanpa bola yang aduhai, plus ”serangan mudik” cepat yang membuat lawan ngos-ngosan sungguh hiburan yang lama hilang dalam sepak bola Indonesia.

”Kalau mainnya gini, saya ikhlas Indonesia tidak juara,” kata seorang kawan saya. Saya melihat arah sepak bola Indonesia sudah di jalan yang benar. Kegundahan publik negeri ini atas suguhan politik dalam sepak bola selama beberapa tahun lalu mulai terobati.

Masyarakat sudah melihat ada kesungguhan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam mengelola sepak bola, tidak menjadikan sepak bola sebagai transaksi pragmatis sebagian politikus berhati busuk.

Indonesia penuh dengan talenta-talenta berlian di bidang sepak bola. Dari Sabang sampai Merauke bertebaran bibit-bibit unggul sepak bola yang selalu muncul dari tahun ke tahun. Setelah era Ricky Yakobi, Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas, dan Boaz Solossa kini bermunculan pemain-pemain muda potensial yang siap menjadi pasukan Macan Asia.

Kita butuh orang seperti Indra Sjafrie yang blusukan ke pelosok-pelosok negeri dan memunculkan talenta luar biasa seperti Evan Dimas, Yabes Roni, Hargianto, Egy Maulana Vikri, Hanis Saghara Putra, M. Rafli Mursalim. dan lain-lain.

Kita juga sangat butuh keseriusan PSSI untuk membina bibit-bibit unggul ini dan mengarahkan di jalur yang benar. Jangan lagi dijadikan komoditas untuk menghasilkan uang secara instan yang ujung-ujungnya para pemain potensial tersebut layu sebelum berkembang.

Biarkan para talenta muda itu matang secara alami. Beri kesempatan bermain di klub sesuai dengan jenjang mereka. Jangan paksa mereka mengorbit secara instan. Mereka bukan hanya butuh meningkatkan keahlian mengolah si kulit bundar, tapi juga butuh mematangkan psikologis mereka agar punya mental kuat.

Bagi kita pendukung tim Merah Putih, ingatlah kata legenda hidup Persija Jakarta dan tim nasional Indonesia, Bambang Pamungkas,”Jika Anda mencerca saat kami kalah, jangan bergembira saat kami menang.”

Dalam sepak bola selalu ada menang dan kalah. Pendukung yang baik akan selalu berdiri di belakang tim, baik saat kalah maupun menang. Pendukung yang baik juga akan menjaga sportivitas olahraga dan tidak bertindak anarkistis. Salam damai suporter Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya