SOLOPOS.COM - Akbarudin Arif, Direktur Eksekutif KOMPIP, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik, Lulusan Master Participation Power and Social Change University of Sussex, United Kingdom. (FOTO/Istimewa)

Akbarudin Arif, Direktur Eksekutif KOMPIP, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik, Lulusan Master Participation Power and Social Change University of Sussex, United Kingdom. (FOTO/Istimewa)

Selama beberapa hari terakhir, di atas Gapura Makutha sudah terpasang spanduk “Selamat Jalan Bp. Jokowi”. Tampaknya warga Solo sudah percaya bahwa hari ini [Kamis (20/9)], ketika tulisan ini ditulis, Jokowi-Ahok akan memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Jokowi yang dengan kerendahan hatinya sering memperkenalkan diri sebagai tukang kayu akan menjadi Gubernur di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Nyatanya, hasil akhir perhitungan cepat atau dikenal dengan quick count memenangkan Jokowi-Ahok atas kompetitornya, Foke-Nara. Setidaknya hasil quick count tervalidasi dari tiga sumber yakni LSI TV One memenangkan Jokowi dengan 54,18% sedangkan Foke-Nara 45,82%; MNC-SMRC memenangkan Jokowi dengan 53,66% dan Foke-Nara 46,34%. Metro TV juga mengumumkan hasil quick count dari pihaknnya dengan hasil 45,89% untuk Jokowi dan 54,11 untuk Jokowi-Ahok%.

Walaupun secara resmi, KPU baru melakukan sidang penetapan hasil dalam beberapa waktu ke depan, tampaknya hasil dari KPUD Jakarta tidak akan banyak berbeda. Artinya, Jokowi-Ahok akan terkualifikasi menjadi pemenang Pilkada Provinsi DKI Jakarta.

Kemenangan ini mau tidak mau membuat banyak pihak seperti masih belum percaya. Kok bisa Jokowi menang? Padahal Jokowi-Ahok hanya didukung dua partai dengan perolehan 17 kursi di DPRD atau hanya 18% dari 94 kursi yang ada di DPRD Provinsi DKI. Koalisi Jokowi-Ahok yang mengklaim sebagai koalisi semut bisa mengalahkan koalisi “gajah” yang didukung kekuatan koalisi partai politik besar yang secara total mengakumulasi kekuatan sekitar 82% kekuatan di DPRD Provinsi DKI.

Kenapa Jokowi?

Ketika pentas politik mempertontonkan berbagai kekisruhan seperti kasus Bank Century, korupsi kakap di sana-sini, suap selevel menteri, pelesir DPR, Solo rupanya mampu memberikan pertunjukan alternatif politik extravaganza yang orang kebanyakan nyaris susah memindahkan channel kalau pertunjukan sedang dimulai. Pentas itu bernama Jokowi (baca: Jokowi-Rudy).

Solo dalam sepuluh tahun terakhir tidak lepas dari peristiwa-peristiwa fenomenal Jokowi dan pasangannya, Rudy, dalam mencari jalan kerakyatan. Peristiwa fenomenal pertama dimulai dengan relokasi 1.000 PKL dari Pasar Klithikan Banjarsari ke Notoharjo. Kalau relokasi di tempat-tempat lain waktu itu masih berlangsung dengan kemasan kekerasan, maka di tahun 2005, Jokowi-Rudy dengan naik kuda memimpin relokasi diiringi karnaval, arak-arakan disaksikan puluhan ribu warga kota.

Jokowi-Rudy pada tahun 2009 membangun dana abadi RT (DART) di 2.668 RT se-Kota Solo. Dana abadi RT itu dirancang sebagai embrio pengembangan Badan Usaha Milik Masyarakat (BUMM). Lebih dari 3.000 orang dihadirkan ke Balaikota untuk launching program DART itu.

Jokowi-Rudy kemudian melanjutkan pesonanya dengan memberikan layanan kesehatan gratis melalui program PKMS dan pendidikan gratis dengan program BPMKS-nya.

Peristiwa menarik di masa kepemimpinan Jokowi-Rudy lainnya adalah ganti rugi relokasi warga bantaran sungai. Warga yang notabene menempati lahan sabuk hijau atau lahan yang tidak diperuntukkan bagi permukiman, tidak serta merta diusir dari lokasi tinggal mereka, melainkan disiapkan skema kompensasi untuk bisa mendapatkan ganti sebagian pembiayaan untuk mendapatkan tempat tinggal baru di lokasi lainnya.

Pertunjukan berlanjut dengan digelarnya refleksi tahunan yang melibatkan ribuan warga untuk bisa secara langsung memberikan perspektif mereka atas kemajuan yang telah dicapai Pemkot Solo. Beberapa waktu lalu, Jokowi menonton Opera van Java yang disiarkan live oleh salah satu stasiun TV swasta dengan duduk bercampur bersama ribuan penonton di Stadion Sriwedari Solo. Mengejutkan karena dia tidak memilih duduk di panggung kehormatan dan memilih duduk berdesakan dengan penonton lainnya.

Kepemimpinan Jokowi-Rudy memberikan citra kesederhanaan pemimpin yang berusaha mengakar dan dekat dengan akar rumput. Meski, pasti tidak sempurna, upaya itu perlu mendapat apresiasi karena di beberapa tempat yang lain, kepala daerah terlihat mengejar upaya membangun “istana” untuk diri mereka. Kepala daerah di Solo tidak terlihat kecenderungan memersonalisasi kekuasaan. Kepemimpinan dalam pengambilan keputusan juga terlihat adanya semangat untuk menuju terwujudnya substansi good governance. Kalau governance diartikan jaringan aktor dalam pengambilan keputusan, maka good governance adalah keberhasilan jaringan aktor dalam mewujudkan terjadinya pengambilan keputusan deliberatif secara kolektif. Dan, kepemimpinan Jokowi-Rudy tampaknya mencoba berikhtiar menjadi penengah negosiasi dalam jaringan aktor itu. Sekali lagi, meski juga tidak sempurna, upaya itu juga perlu didukung karena hal hal yang telah terjadi seharusnya bisa menjadi modal good practice bagi model kepemimpinan di masa yang akan datang di Kota Solo.

Satu lagi catatan penting yakni catatan Transparansi Internasional di tahun 2010 yang memasukkan Kota Solo kota bersih dari korupsi ketiga dari 50 kota yang disurvei dengan IPK 6,0 setelah Tegal (6,26) dan Denpasar (6,71).

Mengejutkan

Pada Pilkada DKI Jakarta putaran I yang dihelat 11 Juli 2012, pasangan Jokowi-Ahok dengan nomor urut tiga unggul di lima dari total enam daerah administratif Ibukota. Seperti dikutip dari data KPU DKI Jakarta, perolehan suara Jokowi-Ahok adalah 1.847.157 suara atau 42,6 persen dari total suara sah 4.336.486 suara. Sementara pasangan Foke-Nara hanya berhasil meraup 1.476.648 suara atau 34,05 persen.

Pada pilkada putaran II, Jokowi-Ahok yang menyebut diri mereka sebagai koalisi rakyat menang menegasikan koalisi partai. Rakyat Jakarta yang notabene dipercaya mayoritas adalah rakyat terdidik lebih banyak memilih calon dari koalisi partai yang bisa dibilang minoritas karena lebih percaya dengan pribadi calon pemimpin. Alhasil, Jokowi mampu menyedot suara mengambang dan bahkan bisa jadi juga menarik kader partai koalisi mayoritas di akar rumput untuk berpaling kepadanya.

Pada putaran II ini, kemenangan Jokowi fenomenal. Bukan fenomenal seperti ketika memenangkan Pilkada Solo dengan perolehan suara lebih dari 90%, tetapi fenomenal karena bisa mematahkan mitos koalisi lebih banyak partai pasti menang. Pada pilkada sebelumnya, Foke mampu menggalang koalisi 20 partai untuk mengeroyok Adang dan menang. Kali ini Foke mencoba cara yang sama, tetapi hasilnya tidak sama, menggelimpang.

Kemenangan Jokowi-Ahok, dua jagoan kampung yang bertarung di kota metropolitan ini rasanya perlu dilongok lebih dalam. Penulis percaya inilah momentum dimulainya kemenangan kualitatif kesadaran rakyat pada level yang semakin tumbuh. Rakyat sudah mulai berani menghukum elite yang tidak bekerja ketika berkuasa atau lancung ketika diberi kepercayaan. Tipe kepemimpinan baru sedang dirindukan rakyat, tidak peduli berapa partai telah mendukungnya. Saat ini Jokowi kembali menuai kemenangan karena berhasil bertahan di medan ekspektasi rakyat. Tetapi jika nanti tidak efektif dalam bekerja dan lancung ketika diberi kepercayaan, bisa jadi Jokowi nanti juga akan dihukum.

Agenda Mendesak

Wong Solo kebanyakan pasti suka dengan kemenangan ini. Tetapi faktanya, mereka akan ditinggalkan oleh pemimpin yang dekat di hati mereka. Mungkin meminjam pepatah jauh di mata dekat di hati maka bolehlah ungkapan itu jadi pelipur lara. Yang jelas Jokowi akan berpindah dan Solo punya tantangan baru untuk segera melakukan penataan transisional mencari formasi yang elegan dengan tidak “mengocok” ketenangan kota.

Ketika Jokowi nanti dilantik menjadi Gubernur DKI, maka Wakil Walikota akan naik menjadi Walikota dan DPRD akan memilih Wakil Walikota untuk mendampingi Walikota baru. Tantangannya, Solo butuh pasangan untuk meneruskan kebaikan-kebaikan yang telah dimulai di masa Jokowi. Pasangan itu akan dikalkulasi elektabilitasnya untuk mampu menjaga perdamaian dalam pluralitas, merespons kebutuhan orang kecil dan keterampilannya untuk bekerja dengan jaringan aktor. Kegagalan pasangan memenuhi kriteria itu akan menjadikan Solo bergerak ke arah yang berbeda.

Penulis percaya Wawali saat ini, FX Hadi Rudyatmo yang akan naik menjadi walikota menggantikan Joko Widodo, jika dipasangkan dengan calon yang tepat akan mampu menjadi pasangan yang tidak kalah hebat di mata rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya