SOLOPOS.COM - Y. Bayu Widagdo bayu.widagdo@bisnis.co.id Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia

Y. Bayu Widagdo bayu.widagdo@bisnis.co.id Wakil Pemimpin Redaksi  Bisnis Indonesia

Y. Bayu Widagdo
bayu.widagdo@bisnis.co.id
Wakil Pemimpin Redaksi
Bisnis Indonesia

 

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Januari 2012, kala berpamitan dengan Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu menjabat Wali Kota Solo, kami sempat ngobrol ngalor ngidul.  Saat itu saya harus meninggalkan tugas di Solo dan kembali ke markas besar di Jakarta.

“Kenapa mesti harus ke Merdeka Selatan, Pak? Kok tidak langsung saja ke Merdeka Utara? Bapak lebih pantas di sana,” kata saya to the point, seusai berbasa-basi.

Awal 2012 itu mulai muncul rumor Jokowi akan mengikuti kontes pemilihan gubernur DKI Jakarta, yang berkantor di Jl. Merdeka Selatan, di sebelah selatan Monumen Nasional. Di sisi seberang Monas, Jl. Merdeka Utara, terletak Istana Presiden Republik Indonesia.

“Walaah, Mas… Apalah saya ini, wong ndesa kok… Kok ngurus Jakarta, saya fokus ngurus Solo. Apa maneh ngomongin 2014… nggak lah itu,”ujar Jokowi menjawab pertanyaan saya kala itu.

Memang saat itu Jokowi belum secara resmi mengumumkan pencalonannya menjadi gubernur DKI. Baru beberapa bulan kemudian Jokowi mencalonkan dan ikut pemilihan gubernur DKI dan akhirnya menang lewat dua putaran.

Kini tidak ada orang di Indonesia yang tidak mengenal sepak terjang Jokowi. Beberapa teman saya di Kalimantan, Sumatra, hingga di Nusa Tenggara Timur menyebutkan warga masyarakat di sana sangat mengerti sosok Jokowi dan merindukan para pemimpin daerah setempat juga melakukan hal serupa yang dilakukan Gubernur DKI itu.

Memang apa yang dilakukan Jokowi selaku Gubernur DKI belum sepenuhnya memberikan hasil seperti yang diharapkan seluruh masyarakat. Semua maklum, aneka persoalan di Jakarta sangat berat dan tidak mungkin diselesaikan dalam beberapa bulan semenjak pelantikan gubernur-wakil gubernur baru DKI pada Oktober 2012.

Namun, sepak terjang Jokowi bersama wakilnya Basuki T. Purnama alias Ahok selama 10 bulan ini memunculkan harapan baru sosok pemimpin yang dirindukan rakyat. Pola pikir dan tindakan out of the box serta ketegasan keduanya mulai mengurai satu per satu aneka persoalan di Jakarta.

Sebagian besar warga Jakarta menyambut baik aneka gebrakan Jokowi-Ahok. Sebagian kecil menentangnya. Normal saja, ada pro mesti ada pula yang kontra. Namun, mengingat setiap langkah gerak Jokowi-Ahok mendapat liputan yang luas di media massa, setiap penentangan terhadap gebrakan Jokowi-Ahok langsung mendapat bullying yang cukup gencar, khususnya di media sosial.

Naik Kelas

Yang jelas, selama 10 bulan terakhir kepemimpinan Jokowi-Ahok di Jakarta memberikan harapan baru, tidak hanya bagi warga Ibu Kota, namun juga bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, bahwa ada alternatif calon pemimpin negara ini selain nama-nama yang itu-itu juga.

Oleh karena itu tidak sedikit pihak yang mencoba mendorong Jokowi untuk ikut berlaga dalam kontes pemilihan presiden tahun depan. Modalnya jelas, popularitas Jokowi saat ini selalu paling atas bila dibandingkan nama-nama lain yang kemungkinan ikut dalam kontes pemilihan presiden tahun depan.

Semua hasil jajak pendapat yang dilakukan aneka lembaga survei menunjukkan nama mantan Wali Kota Solo itu paling unggul. Namun, seperti awal tahun lalu saat saya tanya, jawaban Jokowi bila ditanya soal kemungkinan pencalonan presiden 2014  hanya tertawa lebar. “He..he…he..Saya fokus di Jakarta.” Begitu kata dia.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku partai politik tempat Jokowi bernaung hingga saat ini masih malu-malu kucing, belum menyebutkan siapa nama yang akan diajukan untuk berkompetisi di pemilihan presiden.”Siapa yang akan dimajukan tergantung Ibu Ketua Umum, dan akan diumumkan pada saatnya,” kata salah satu pengurus teras PDI-P.

Begitu besar harapan banyak pihak supaya Jokowi maju di kontes pemilihan presiden 2014. Sampai-sampai seorang profesor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersuara keras bahwa adalah sebuah kebodohan politik yang tak akan terlupakan bila PDIP sampai tidak mengirim Jokowi ikut pemilihan presiden.

“Dan hadiah paling indah bagi rakyat Indonesia adalah bila pada 17 Agustus nanti Ketua Umum PDIP mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai calon presiden 2014,” tulis sang profesor itu di sebuah media.

Pesaing Jokowi dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun lalu, Faisal Basri, ikut menegaskan tahun depan adalah saat yang tepat bagi Jokowi untuk maju sebagai presiden. “Jangan tunggu 2019, karena itu sudah terlambat. Sekarang saat yang tepat untuk maju,” kata Faisal.

Bagi saya yang sekarang kebetulan tinggal di wilayah Jakarta, pertanyaan berikutnya bukan apakah Jokowi maju atau tidak, karena saya yakin PDIP tidak akan melakukan kebodohan politik. Pertanyaannya adalah apakah Ahok bisa meneruskan warisan Jokowi bila sang gubernur pindah kantor ke seberang di Merdeka Utara? Serta siapa yang akan mendampinginya?

Masa 10 bulan ini menunjukkan Ahok bukan semata wakil gubernur seperti halnya yang sering terjadi di daerah lain. Dia bukan semata ban serep Jokowi. Pola kepemimpinan yang dijalankan Jokowi-Ahok menunjukkan keduanya benar-benar mampu menjalankan pemerintahan secara efektif. Hasilnya sebagian sudah dirasakan warga.

“Jadi kalau Ahok naik kelas, saya yakin dia akan mampu. Lihat saja kemarin cara dia  menghadapi para pedagang Tanah Abang yang menolak dipindah sehingga memancing perseteruan dengan Wakil Ketua DPRD Abraham Lunggana alias Haji Lulung, yang merupakan tokoh di sana,” kata teman saya, Maruta.

Begitu persoalan Tanah Abang nanti dituntaskan, Ahok diyakini Maruta akan mampu memimpin Jakarta, seandainya Jokowi pindah kantor ke Merdeka Utara.

Hla kalau Jokowi pindah kantor, Ahok naik kelas, terus siapa yang mengganti Ahok,”tanya saya.



Hla ya harus dari partai pengusung sesuai aturan. Kan Ahok dari Partai Gerindra, ya gantinya dari PDIP dong. Karena sudah ada Ahok, wakilnya harus orang PDIP yang bisa diterima mayoritas orang Jakarta,” ujar Maruta.

Emang siapa, Mas?”kejar saya yang semakin penasaran.

Hla itu ada si Rano [Wakil Gubernur Banten Rano Karno]… Ketimbang berantem sama gubernurnya, tarik saja dia ke DKI-2 nanti. Pas kan jadinya, si Doel Anak Betawi…he…he…,” kata Maruta tertawa lebar.

Beberapa pekan lalu memang muncul rumor Wakil Gubernur Banten, Rano Karno, akan mengundurkan diri karena tidak diberi kejelasan tugas oleh Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah serta dibatasi aksesnya ke media. Bahkan kabarnya, rencana itu sudah diajukan ke petinggi PDIP, hanya belum dikabulkan oleh sang ketua umum.

“Kan katanya Bu Mega belum mengizinkan mundur sekarang. Siapa tahu nanti diizinkan dan malah dipindah ke Jakarta,” lagi-lagi Maruta berlagak sok analis politik.

“Ingat, Mas, di perpolitikan Indonesia tidak ada yang namanya kebetulan. Begitu Bu Mega mengizinkan semua, Jokowi naik kelas, Ahok juga. Si Doel pun ikutan naik kelas.” Saya hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar analisis itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya