SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (3/2/2018). Esai ini karya Udji Kayang Aditya Supriyanto, penyimak budaya populer, pengelola Buletin Bukulah!, dan penulis buku Penasaran dan Belokan (2017). Alamat e-mail penulis adalah udjias@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Zaman bergulir semakin kencang, segala hal mengalami percepatan. Hidup santai dan lambat, kecuali bagi kalangan yang disebut Thorstein Veblen sebagai leisure class, barangkali tak lagi relevan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Percepatan paling kentara dalam perkembangan teknologi komunikasi. Telepon seluler atau ponsel adalah wujud nyata percepatan itu. Semula perkembangan ponsel berbasis konektivitas, dari yang sebelumnya sebatas telepon dan short message service (SMS) kemudian dilengkapi koneksi Internet.

Perkembangan koneksi Internet di Indonesia pun cukup pesat, dari general packet radio service (GPRS), enhanced data rate for global system for mobile communication evolution (EDGE), 3rd generation (3G), dan yang termutakhir 4th generation long term evolution (4G LTE). Selain itu, ponsel-ponsel mutakhir dapat memanfaatkan jaringan wireless fidelity (wifi) di tempat tertentu.

Kita pantas mengingat puisi Joko Pinurbo berjudul Telepon Genggam (2003). Ia mondar-mandir saja di dalam rumah,/ bolak-balik antara toilet dan ruang tamu,/ menunggu kabar dari seberang/ sambil tetap digenggamnya benda mungil/ yang sangat disayang: surga kecil/ yang tak ingin ditinggalkan.

Surga kecil itu ponsel alias telepon genggam. Ponsel oleh Joko Pinurbo disebut ”surga kecil yang tak ingin ditinggalkan”, bukan ”surga yang tak dirindukan”. Joko pinurbo ngotot dan menegaskan: Ia terbaring telentang, masih dengan kaus kaki/ dan jas yang dipakainya ke pesta,/ dan telepon genggam tak pernah lepas/ dari cengkeram. Telepon genggam:/ surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Selanjutnya adalah: Kumpulan puisi itu seharusnya terbut sekarang

Terbit Sekarang

Puisi Telepon Genggam ditulis pada 2003 dan diterbitkan lagi pada 2017. Joko Pinurbo mengakui kumpulan puisi itu seharusnya terbit sekarang, bukan 14 tahun yang lalu. Pengakuan Joko Pinurbo cukup tepat. Hari ini ponsel mencipta kegandrungan massal, surga kecil yang dirayakan semua orang.

Empat belas tahun lalu Joko Pinurbo menulis puisi lebih bersebab kegandrungan personal. Ia mengingat,”Telepon Genggam lahir setelah saya dapat mencecap nikmatnya sebuah telepon genggam, hadiah dari penerbit buku puisi saya.” Joko Pinurbo penyair budiman dan memilih husnuzan.

”Saya memilih percaya kepada harapan: telepon genggam tampaknya telah menjadi peranti penting untuk mengembangkan budaya membaca dan budaya tulis, budaya literasi,” kata dia. Ponsel pada tahun itu betul-betul berdampak pada budaya membaca dan menulis.

Orang-orang lanjut usia yang tak bisa menulis menggunakan bolpoin atau pensil bukan mustahil dapat mengetik dan mengirimkan pesan singkat atau short message service (SMS). Di ponsel kita cukup menekan tombol-tombol untuk menghasilkan huruf, tidak perlu lebih bersusah payah menghafal lekukan dan bentuk-bentuk huruf.

Pada akhirnya ponsel pun berdampak pada kebahasaan. Kita mengalami kecenderungan penyingkatan kata, modifikasi huruf, yang hari ini semakin berkembang dengan kehadiran emoji serta pilihan menggunakan huruf miring dan tebal di aplikasi percakapan mutakhir semisal Whatsapp.

Selanjutnya adalah: Menghadapi kecanggihan masa kini

Kecanggihan

Sebelum menghadapi kecanggihan masa kini, kita sebaiknya sejenak menengok kecanggihan ponsel pada masa penulisan puisi Joko Pinurbo tersebut, alias awal 2000-an. Majalah Matra Nomor 172 (November 2000) menampilkan iklan ponsel Ericsson seri R380s smartphone.

Jangan membayangkan smartphone merek Ericsson serupa smartphone hari ini. Tentu saja berbeda jauh. Layar ponsel termaksud masih monokrom, meski beberapa fitur canggih ala smartphone sudah termiliki: layar sentuh, sambungan ke komputer, pertukaran data, dan lain-lain.

Iklan ponsel Ericsson dengan percaya diri memasang kalimat penggoda, Just married/ A handphone and a organizer. Di bawahnya ada keterangan yang lebih ramah lantaran berbahasa Indonesia: R380s smartphone; ponsel layar lebar sebagai alat komunikasi & perangkat bisnis.

Pada tahun 2000-an, ponsel pintar (smartphone) dimengerti sebagai alat komunikasi dan perangkat bisnis. Pengertian itu terus berlanjut sepanjang 2000-an, terbukti dengan kehadiran ponsel-ponsel merek Nokia berseri E. Nokia turun pamor, Samsung berkuasa.

Samsung berasal dari Korea Selatan, negeri yang begitu getol memerhatikan budaya populer dan gaya hidup. Barangkali itu terbawa dalam pengembangan ponsel Samsung dan ponsel-ponsel pabrikan lain yang mengikuti. Tidak setiap orang menjadi pebisnis, namun semua orang menjalani gaya hidup.

Perkembangan fitur-fitur pemanja gaya hidup di ponsel-ponsel pintar menjadi konsekuensi logis. Kita mendapati gambaran ringkas bagaimana ponsel pintar dimengerti generasi milenial di Harian Solopos  edisi 11 Januari 2018. Andrea Ayu, generasi milenial berusia 20 tahun yang tinggal di Jogja, sampai berganti-ganti ponsel sekadar untuk mengejar fitur pemanja gaya hidup.

Kita mudah menduga, fitur termaksud tentu saja kamera. ”Seringan sih [ganti gadget] karena pingin upgrade resolusi kameranya. Aku kan suka cekrek upload [foto dan diunggah ke media sosial],” kata dia. Andrea sudah mempunyai ponsel berfitur dual camera dan itu belum cukup.



Selanjutnya adalah: Sedang mengincar ponsel berkamera 24 megapiksel

24 Megapiksel

Konon, ia sedang mengincar ponsel berkamera 24 megapiksel. Manusia memang tak pernah puas. Kita bisa jadi agak tergugah saat membaca judul artikel lain di halaman yang sama: Jadul, Intinya Bisa Berkomunikasi. Istilah jadul di Kamus Gaul Hare Gene!!! (2007) garapan Moammar Emka didefinisikan sebagai ”jaman dulu, sinonimnya jamdul”.

Artikel di Harian Solopos itu menggoda kita untuk menduga masih ada generasi milenial yang memakai ponsel jadul. Membayangkan milenial berponsel pintar merek Ericsson yang diiklankan Majalah Matra barangkali terlalu jauh.

Kita layak menduga ponsel jadul yang dimaksud semacam yang dipakai dua esais yang bermukim di Solo, Bandung Mawardi dan M. Fauzi Sukri. Keduanya setia dengan ponsel bertombol, alih-alih berlayar sentuh alias (dalam bahasa mereka) hape seblak-seblak.

Kita bisa saja salah sangka. Generasi milenial berponsel jadul, Ivan Bagas Yudha Fahrezy, ternyata memakai ponsel keluaran 2014 (baru empat tahun lalu) yang masih berkoneksi internet 3G. Memiliki dan memakai ponsel keluaran empat tahun silam sudah dianggap jadul dan ketinggalan zaman.

Lemot [lambat] sih. Ya, mesti sabar. Mengejar kebutuhan gawai dan teknologi enggak akan ada habisnya,” kata Ivan. Generasi milenial hari ini begitu pendek dalam memandang zaman. Jadul tak menunggu milenium, abad, dasawarsa, atau windu.

Hari ini jadul dimengerti dalam hitungan tidak sampai lima tahun. Esok mungkin klaim jadul cukup menunggu pergantian tahun atau bahkan pergantian bulan. Sekali lagi, zaman bergulir semakin kencang, segala hal mengalami percepatan, kecuali dua kawan saya itu, Bandung Mawardi dan M. Fauzi Sukri. Mereka jadul pada era milenial…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya