SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Senin (10/7/2017). Esai ini karya Lukmono Suryo Nagoro, editor buku yang tinggal di Solo. Alamat e-mail penulis adalah lukmono.sn@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Pidato Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barrack Obama, di Kongres Diaspora Indonesia menegaskan dua hal penting: globalisasi dan toleransi. Obama menyatakan para pemuda harus mampu mengambil keuntungan dari globalisasi. Obama memuji Indonesia sebagai negara yang toleran dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Obama merupakan orator yang piawai sekaligus karismatik. Ketika Obama sedang berpidato, para pendengarnya seperti sedang tersihir sehingga akan memaafkan apabila Obama tidak menguasai materi tersebut. Saya juga terkesima pada saat menonton dan mendengarkan pidato Obama di kanal Youtube.

Bicaranya begitu fasih dan mampu memainkan tekanan kata untuk menandai begitu pentingnya ujarannya tersebut. Jika pidato Obama dicermati sepertinya tidak ada yang perlu diperdebatkan, tetapi ketika ingin mencari kausalitas antara globalisasi dan toleransi akan banyak pertanyaan.

Ekspedisi Mudik 2024

Apakah globalisasi produktif terhadap toleransi atau globalisasi kontraproduktif terhadap toleransi? Globalisasi adalah proses menghilangnya batas-batas bernegara menjadi global village. Olah karena diibaratkan terbentuk sebuah desa, tentunya kehidupan masyarakat desa itu akan damai, guyub, bahkan penuh toleransi.

Apakah hal ini bisa terwujud? Sepertinya susah. Meskipun hidup di global village, suasana nirkonflik mustahil terjadi karena manusia selalu memiliki alasan untuk bersaing dan berkelahi. Manusia tidak segan-segan berkelahi jika ada orang lain melanggar sejengkal tanah hak miliknya.

Manusia juga tidak segan-segan bersaing untuk berebut soal kekuasaan. Artinya, sedikit banyak globalisasi kontraproduktif bagi toleransi. Menurut saya, globalisasi akan produktif bagi toleransi jika tidak ada kesenjangan, misalnya kesenjangan ekonomi yang sudah menjadi fakta sosial.

Selanjutnya adalah: Ada negara super kaya dan ada negara miskin…

Negara Miskin

Ada negara super kaya dan ada negara yang miskin/terbelakang. Ada warga negara yang berpendapatan Rp200 juta sebulan dan ada masyarakat yang berpendapatan Rp4 juta sebulan. Semuanya itu kesenjangan. Pertanyaannya: manakah kesenjangan yang sebenarnya? Mau tidak mau, kita harus berterima kasih kepada globalisasi dalam peran mengurangi kemiskinan absolut.

Kita bisa menganggapnya sebagai separuh kebenaran. United Nations Development Programme (UNDP) menyatakan berkat pertumbuhan materi pada separuh abad terakhir, lebih dari tiga miliar orang hidup di atas garis kemiskinan.

Selain itu, UNDP juga mencatat dalam 50 tahun terakhir kemiskinan di dunia telah menurun lebih drastis daripada yang terjadi 500 tahun sebelumnya. Angka kemiskinan yang menurun tersebut tidak lantas membuat kehidupan di bumi berkerangka toleransi. Masih ada korban-korban berjatuhan karena intoleransi.

Jika demikian, siapa yang seharusnya bisa menghadirkan suasana global village pada masa globalisasi? Apakah individu bisa menghadirkannya? Salah satu individu yang berniat menghadirkan toleransi di dunia adalah John Lennon lewat lagu Imagine: imagine theres no countries / it isnt hard to do / nothing to kill or die for / no religion too.

Lennon mengajukan syarat yang hampir mustahil untuk terwujudnya perdamaian dunia, yaitu tiada agama dan tiada negara. Sayangnya, John Lennon hanya ingin bernyanyi saja, bukan berargumen.

Ratusan tahun lalu, ada seorang bernama Thomas Hobbes menyatakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Jika manusia tidak diatur, kehidupan mereka akan pendek, jahat, kotor, dan brutal.

Harus ada orang kuat yang mengatur kehidupan manusia: si Leviathan, yang pada era modern ini adalah negara dengan segala kekuatannya dengan wewenang memaksa dan mengatur manusia untuk tercapainya keteraturan sosial.

Peran negara pada masa globalisasi inilah yang patut ditelaah dengan kritis. Dengan alasan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, peran negara hanyalah penjaga modal. Peran negara tersebut meninggalkan jejak buruk ketidakadilan sosial, kesenjangan, dan marginalisasi sosial.

Jejak buruk yang tidak kelihatan adalah sikap kaum yang diuntungkan oleh globalisasi, yaitu orang kaya baru.      Orang kaya baru tersebut yang sudah hidup nyaman berdampingan dengan struktur yang tidak adil enggan mempersoalkan jejak buruk.

Selanjutnya adalah: Orang kaya baru tak mau dipersoalkan…

Orang Kaya Baru

Orang kaya baru tidak mau kekayaan mereka dipersoalkan. Mereka tak mau ada yang bertanya bagaimana mereka mendapatkan kekayaan. Saya tidak dalam rangka mengajarkan tidak toleran terhadap orang kaya baru. Saya mengajak berpikir bahwa kemenangan globalisasi meninggalkan isu sektarian dan identitas yang mengabaikan kesenjangan di masyarakat.

Contoh paling gampang adalah pemilihan gubernur DKI Jakarta yang isu pokoknya adalah pertempuran kaum toleran dan kaum radikal garis keras, namun mengabaikan isu keadilan sosial yang juga beririsan dengan isu keragaman atau intoleransi.



Berdasarkan pengalaman tersebut, individu/kelompok yang memperjuangkan isu toleransi harus bersama-sama dalam bentuk gerakan sosial. Mengapa dalam gerakan sosial? Karena dalam gerakan sosial para pelakunya tidak akan ditanya apakah agamamu, apakah sukumu, atau apakah mazhabmu.

Gerakan sosial juga menyebabkan masyarakat memiliki kekuatan lebih dalam melawan rakusnya modal yang akan merebut tanah atau sumber daya lainnya. Gerakan sosial ini juga dapat mengadvokasi masyarakat untuk tidak meladeni korporasi, termasuk orang kaya baru, yang ingin menumpuk modal dengan mengeruk sumber daya alam dan meminggirkan warga dari tanah dan lingkungan mereka.

Akhir kata, kita tetap harus waspada terhadap isu keragaman, pluralisme, dan toleransi itu sendiri. Pada era globalisasi ini, isu kesenjangan adalah hal utama. Jangan sampai isu keragaman, pluralisme, dan toleransi menjadi pintu masuk operasi pengerukan sumber daya.

Seiring berjalannya waktu isu-isu tersebut akan melupakan isu kesenjangan dan pembangunan yang lebih demokratis. Singkatnya, isu-isu keragaman, pluralisme, dan toleransi dapat mengalihkan perhatian kita dari dampak negatif globalisasi yang sebenarnya, yaitu kesenjangan ekonomi dan sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya