SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Purnawan Andra, bhirawa_murti@yahoo.com Peminat kajian tari dan antropologi seni Alumnus Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Solo

Purnawan Andra,
bhirawa_murti@yahoo.com
Peminat kajian tari
dan antropologi seni
Alumnus Jurusan Tari
Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Solo

Beberapa waktu lalu kita menghadapi bencana alam meletusnya Gunung Kelud. Sesudahnya, gunung-gunung berapi lain yang dulunya tidur atau minimal tak beraktivitas ekstrem, kini terindikasi kembali beraktivitas secara intensif.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebut saja Gunung Gamalama di Ternate, Gunung Marapi  di Bukittinggi, serta Gunung Slamet dan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Bencana bukan hanya menciptakan keharuan bersama.

Bencana alam berupa gunung meletus sebenarnya mengingatkan bagaimana bangsa ini disusun oleh sikap-sikap budaya yang ”ironis”, yang terwujud dalam sikap bertahan hidup di wilayah-wilayah rawan bencana.

Sikap ini tidak hanya berhubungan dengan faktor pertanian sebagai sumber ekonomi, tapi lebih dari itu, terkait dengan sikap kosmis menjadi bagian dari siklus alam yang ditempati. Pemikiran semacam ini menjadi penanda peradaban yang secara unik hidup terus, mengisi riwayat bangsa di kepulauan ini.

Riwayat yang ironis dan kadang tragis yang kerap kali kita alpa mengingatnya, bahkan lebih sering keliru menafsir dan menerapkan ajaran-ajaran atau tradisi yang diwariskan.

Sikap ini terwujud dalam kesadaran masyarakat yang melihat bencana sebagai sebuah keniscayaan, bukan sebagai sebuah aktivitas pengetahuan yang bisa disikapi dengan lebih baik. Hal ini terwujud dalam bentuk sistem penanggulangan (pra maupun pasca) bencana.

Dalam peradaban-peradaban besar dunia, gunung dianggap sebagai puncak pencapaian (rohani) kemanusiaan. Gunung adalah tempat tinggal arwah dan pusat kekuatan supranatural. Gunung adalah gerbang langit, tempat tertinggi manusia sebagai sosok berwujud, karena di atasnya manusia menjadi roh.

Hal ini ditunjukkan dalam bentuk piramida di Mesir, Gunung Mahameru di India, hingga Gunung Fujiyama di Jepang. Di kultur Jawa, representasi nilai itu mewujud dalam bentuk tumpeng, sajian nasi dan hasil bumi yang dibentuk mengerucut, simbolisasi kesatuan horizontal (manusia dan alam) serta vertikal (manusia dan penciptanya).

Budayawan Radhar Panca Dahana (2010) menulis bahwa di Jawa, Gunung Merapi, bagi almarhum Mbah Maridjan, kuncen yang ternama itu, adalah tempat berdiam arwah Empu Rana dan Empu Permadi yang dihukum Betara Guru-–karena bisa mengalahkan para dewa utusan—dengan cara menindih mereka berdua dengan Gunung Janudwipa yang diambil dari Laut Selatan.

Sebagai wakil dari peradaban kontinental atau daratan, Gunung Merapi di Jawa Tengah menyediakan semua penjelasan tentang ontologi dan kosmologi masyarakat Jawa di sekitarnya.

Sebagai bagian dari Provinsi  Daerah Istimewa Yogyakarta (Kerajaan Mataram), Gunung Merapi menempati posisi sangat vital terkait tata ruang dan waktu orang-orang DIY.

Gunung Merapi adalah ujung tertinggi (utara) dari sumbu imajiner yang berawal dari Laut Kidul (Laut Selatan) di mana Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pancer-nya.

Di garis yang melalui Parangkusuma-Panggung Krapyak-Keraton-Tugu Pal Putih hingga Gunung Merapi inilah orang Jawa menciptakan hubungan antara jagad ageng (makrokosmos) dan jagad alit (mikrokosmos), antara manusia dan pencipta dalam ajaran yang disebut sangkan paraning dumadi.

Gunung Merapi juga disebut sebagai swarga pangrantunan, puncak dari perjalanan hidup manusia, sejak lahir (di bawah/selatan) hingga mati (mencapai keabadian di atas/utara).

Gunung tidak sekadar bentukan bentang alam semata. Gunung adalah ruang sakral tempat bersemayam kekuatan supranatural yang memiliki kekuasaan dan kekuatan konstitutif bagi umat manusia.

Pemahaman semacam ini yang kemudian diadopsi dalam kepercayaan kultural, dalam bentuk ritus-ritus spiritual, hingga pada praktik-praktik politik dan kenegaraan dan kemasyarakatan.

 

Degradasi

Namun, eksistensi nilai dan makna gunung kini telah terdegradasi oleh logika ekonomi dan kapital. Local genius gunung sebagai sebuah entitas kebudayaan tergantikan oleh laku konsumerisme yang eksploitatif.

Gunung dipahami semata sebagai lokasi pertanian, pelancongan, serta tempat tersedianya tanah luas dengan harga murah yang nantinya bisa didirikan vila dan rumah peristirahatan mewah.

Gunung adalah bagian wilayah desa yang menjadi objek pemenuhan kebutuhan hasrat konsumtif orang kota. Gunung adalah tempat tinggal para petani sayur dan tembakau, yang katrok-ndesa, dan oleh karenanya tertinggal, atau bahkan sebagai the other.

Konsep the other selama ini secara laten dipakai untuk membangun sebuah struktur hierarki budaya dominan-marginal, modern-etnik, global-lokal. Jelas, hal ini bukan multikulturalisme yang partisipatoris dan emansipatoris, tapi hanya ingin mengukuhkan superioritas yang dominan-modern-global atas yang marginal-etnik-lokal.

Yang disebut terakhir dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunitas etnik yang lokal, sekaligus partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global.



Selama ini, identitas desa telah tergadai oleh motivasi pengembangan prototipe konsumerisme sebagai bagian dari representasi gaya pembangunan modern.

Desa bukan kebanggaan dan sengaja dimatikan karena kebijakan pembangunan yang mematikan potensi desa sebagai hibridasi ekonomi. Keberhasilan desa dilihat dari infrastrukturnya.

Potensi pertanian dan profitnya harus dimatikan oleh harga pupuk yang tinggi. Orang desa (ndesa) adalah orang yang ”dipaksa” iri terhadap kota. Gaya hidup kota telah mengambil alih gaya hidup orang desa. Hal ini memang sebuah keniscayaan.

Namun, ketika kecenderungan modernisme yang kuat menjadi bagian dari infiltrasi kognitif agar orang desa juga patuh pada gaya hidup modernisme, identitas desa justru tidak lagi dipandang secara bijaksana (wisdom).

Ukuran nasionalisme pembangunan telah termodernisasi oleh tumpuan ekonomi sebagai parameter kebahagiaan yang tersentralisasi oleh tanda-tanda ekonomi (Mahpur, 2008).

Gunung dengan segala aktivitas di dalam dan di atasnya adalah potret sosio-antropologis yang menyusun sejarah bangsa. Gunung menjadi awal dan akhir ensiklopedia peradaban sekaligus: bisa membiakkan kebudayaan, tapi juga mampu membinasakan sejarah.

Letusan Gunung Pompei di Eropa serta Gunung Toba, Gunung Krakatau, Gunung Merapi, dan Gunung Tambora di Indonesia beberapa ratus tahun lalu membuktikan eksistensi gunung sebagai ”penentu” keberlangsungan kisah kebudayaan dan peradaban manusia.

Jika kini gunung hanya dipahami sebagai bagian dari wilayah desa yang eksotis sebagai tempat wisata, kita menjadi sangat tidak arif dengan menggeser identitas kelokalan kita dengan logika liberal yang semena-mena.

Kita abai melihat struktur dasar kepemilikan lokal sebagai khazanah kebudayaan yang dipraktikkan sehari-hari. Dengan itu, kita berubah menjadi bencana (peradaban) itu sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya