SOLOPOS.COM - Muhammad Khambali

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (4/12/2017). Esai ini karya Muhammad Khambali yang aktif di kajian tentang disabilitas dan mengajar di SLB Rawinala Jakarta. Alamat e-mail penulis adalah aang.tirta@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas. Ada pergantian dari  yang dulu kita sebut sebagai Hari Penyandang Cacat. Istilah ”cacat” gampang mengandaikan tubuh manusia seperti barang. Istilah yang amat diskriminatif dianggap mendesak untuk diganti.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Eufemisme bahasa tidak lekas mengangkat kelompok difabel dari posisi inferior. Kita masih saja menjumpai ketidakadilan dalam pelbagai narasi tentang difabel. Sejak dulu kita masih menyangsikan keterlibatan difabel dalam wacana pembangunan.

Laju kencang modernitas belum dibarengi pemartabatan difabel. Kelompok difabel masih bergelimang pelabelan dan diskriminasi di tengah ruang publik. Kota-kota belum sepenuhnya menjadi cerminan ruang publik yang setara dan inklusif.

Sebagai kaum minoritas, difabel masih dalam narasi menjadi warga negara kelas dua dalam pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial, agama, maupun kebudayaan. Di antara isu minoritas lain, barangkali difabel adalah minoritas yang paling minim dalam silang sengkarut wacana di ruang publik.

Setidaknya ini dapat dilacak dari tidak banyak publikasi menyangkut minoritas difabel di surat kabar dan media massa lainnya atau media sosial. Kita bisa menduga menguatnya islamisme yang kental mewarnai corak masyarakat Indonesia mutakhir, seperti dituturkan Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (2015), telah turut menyisihkan minoritas difabel dalam wacana arus utama di ruang publik.

Dengan kata lain, wacana difabel terabaikan lantaran tidak bersinggungan langsung dengan perbincangan mengenai Islam dan politik identitas setelah Orde Baru, misalnya apabila disandingkan dengan isu-isu minoritas mengenai perempuan atau lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang kerap menjadi perdebatan masif di ruang publik.

Argumentasi religiositas dan klaim keagamaan selalu muncul dalam perdebatan sengit atas isu-isu tersebut. Di sisi lain, dalam Islam—sebagai agama mayoritas di negeri ini—persoalan difabel tidak pernah secara spesifik disebut dan mendapat perhatian serius dalam kajian-kajian.

Selanjutnya adalah: Minimnya keriuhan wacana difabel di tengah ruang publik

Wacana

Dalam minimnya keriuhan wacana difabel di tengah ruang publik, setiap pengisahan difabel selalu menghadirkan episode yang sendu dan getir. Seakan-akan sudah menjadi kelaziman bahwa narasi difabel dimunculkan untuk dicemooh dan menjadi bahan olok-olok. Tidak terkecuali dalam potret budaya populer kekinian.

Media sosial pernah diwarnai protes atas lagu salah satu grup musik bernama Sougy Band. Lagu mereka yang berjudul Autis mengundang resah dan kemarahan publik lantaran berisi lirik menghina minoritas difabel. Lirik lagu tersebut berisi tentang seseorang yang mengolok-olok: dasar kau autis / dipanggil-panggil kau tak rungu / dicolek-colek kau tak hiraukan / malah asik sendiri. Sebuah lagu yang menyulut kontroversi.

Sebenarnya kita tidak dapat meremehkan kemungkinan media sosial sebagai ruang pembangun kesetaraan. Ide orisinal dari media sosial adalah kesetaraan. Media sosial dapat menjadi ruang untuk protes, edukasi, dan sangat mungkin untuk meruntuhkan pelbagai stigma terhadap difabel.

Perlu diakui bahwa media sosial menjadi semacam ruang alternatif ketika kota-kota mengalami kegagalan sebagai ruang publik politis seperti konsepsi Low dan Smith dalam The Politics of Public Space (2006). Merujuk Abidin Kusno (2009), ruang publik memiliki arti yang melebihi bentuk fisiknya.

Kota sebagai ruang publik adalah ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran orang-orang (2009: 3). Kota dan penghuninya tidak pernah bebas dari pelbagai pemaknaan dan representasi, termasuk terhadap isu disabilitas. Kita tidak dapat mengelak, difabel adalah minoritas penghuni kota yang paling disisihkan oleh laju pembangunan.

Di kota, pertemuan dengan seorang tunanetra dan tunadaksa (hanya) terjadi di ruang-ruang kota yang lekat dengan citra kumuh, komunal, dan pinggiran seperti terminal, stasiun, pasar tradisional, atau perempatan jalan. Dalam wacana urban, pemaknaan atas difabel selalu dilekatkan dengan biografi sebagai pengemis, pengamen, atau tukang pijat berijazah.

Representasi terhadap difabel yang bersifat stereotip dan diskriminatif semacam itu sebenarnya dapat ditelusuri melalui sejarah panjang kota-kota, terutama di Eropa kuno. Dalam jejak sejarah kota, pada masa polis Sparta misalnya, telah ada pandangan semacam obsesi penyingkiran tubuh yang tidak dirahmati oleh dewa-dewa.

Selanjutnya adalah: Memperlihatkan obsesi pada tubuh sempurna

Obsesi

Masyarakat Yunani kuno abad VI sebelum Masehi telah memperlihatkan obsesi pada tubuh sempurna. Gymnasium dan olimpic game membuat orang-orang Yunani dikenal sangat mendambakan keperkasaan dan kesempurnaan tubuh. Ada mitos tubuh sebagai cerminan  dewa.

Di polis atau kota Sparta ketika itu, setiap bayi yang cacat dibuang di gua-gua atau di gunung-gunung dan dibiarkan mati. Narasi yang berbeda justru dapat ditemukan di Jawa pada masa lalu. Slamet Thohari (2009) mengungkapkan dalam pewayangan citra difabel ternyata sebagai hal yang lumrah dan biasa, bukan sebagai keburukan.

Durgandini memiliki tubuh mengelupas dan berbau anyir. Destarata yang buta dan Pandu dengan wajah pucat aneh. Para Punakawan (yang konon gubahan asli Jawa) adalah Gareng yang pincang, Petruk yang dungu, Bagong yang gendut dan bermulut lebar, atau Semar yang bungkuk dan bermuka jelek.



Punakawan bukanlah sosok biasa. Mereka merupakan jelmaan dewa yang menyamar menjadi rakyat biasa (2009: 57). Lewat narasi pewayangan kita dapat menemukan isu disabilitas pada masa lalu bukanlah minoritas yang dicemooh, melainkan sosok yang setara, memiliki kesaktian dan disegani.

Cara pandang terhadap difabel baru bergeser dan berubah ketika kolonialisme datang membawa ide-ide taksonomi rasial dan memperkenalkan medikalisasi yang mendakwa difabel dalam kacamata medis atau penyakit. Dengan kata lain, kita boleh menduga pelbagai stereotip mengenai difabel sebagai cerminan mentalitas warisan kolonialisme yang terus-menerus diulangi hingga hari ini.

Kini kita masih kerepotan untuk sekadar menyebut difabel atau disabilitas—sebagai pengganti cacat dan tuna. Keduanya adalah kata serapan dari bahasa asing. Kita tahu bahasa asing dapat mengasingkan dan narasi ketidaksetaraan atas politik identitas telah bermula dari bahasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya