SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

Slamet Sutrisno slamet.sutrisno@yahoo.com Peminat kajian kebudayaan

Slamet Sutrisno
slamet.sutrisno@yahoo.com
Peminat kajian kebudayaan

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kerancuan dan kerunyaman menjadi kata-kata penjelas atas sekian ketidakjelasan dalam pengelolaan negeri, yang representasinya menampakkan diri pada mismanajemen kenegaraan dan degradasi serta disintegrasi kebangsaan.

Kerunyaman di negeri ini sudah merambah komunitas paling mendasar, yakni komunitas yang diandaikan keandalan dan ketangguhannya untuk menyiapkan keunggulan  manusiawi, yakni pendidikan, terutama pendidikan tinggi.

Prof. Schoorl menyatakan modernisasi adalah perluasan pikiran ilmiah ke dalam sebanyak mungkin relung kehidupan masyarakat. Jagat keilmuan merupakan sentral dan pemasok ide-ide kreatif bagi jagat modern lainnya: hukum, keberagamaan, bisnis, keolahragaan, kepariwisataan dan–-tentu saja—adalah sekaligus jagat politik.

Namun demikian, jagat keilmuan itu sendiri-–di negeri ini—terisi mitos-mitos yang awet. Di balik titel-titel yang megah sebagaimana terjanjikan oleh gelar yang dahulu ”sakral”, seumpama  doktor, hari-hari ini sebagian penting telah dikuak belang dan boroknya.

Ekspedisi Mudik 2024

Terkini, seorang doktor, ekonom muda, dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sangat populer dan menjabat Direktur Jenderal di Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, mengundurkan diri dari profesi dosen di UGM lantaran ”konangan” menjiplak karya orang lain dalam artikelnya di Harian Kompas.

Rektor UGM diberitakan merasa terpukul. Agaknya bukan hanya rektor UGM yang terpukul, tetapi juga seluruh komunitas akademis di negeri ini.

UGM sebagai universitas tertua, terbesar dan sekian “ter” lainnya itu ternyata tidak luput dari virus kejahatan moral plagiarisme.

Di sebuah fakultas di lingkungan UGM, tiga dosen terkena sanksi senat fakultas, termasuk dekannya sendiri waktu itu. Sepuluh tahunan silam dekan ini memeroleh ”bonus” empat tahun nonaktif disebabkan antara lain melakukan plagiarisme.

Kini, di depan nama sang mantan dekan telah bertengger gelar doktor. Seorang dosen lainnya kena sanksi setahun nonaktif gara-gara ketahuan menyontek saat mengerjakan soal ujian S2. Yang terbaru adalah dosen kena sanksi empat tahun nonaktif karena plagiarisme proposal penelitian.

Jangan-jangan “terlalu banyak” mereka yang ”keren” beratribut akademisi melakukan hal yang sama dalam aneka versi, namun tidak dan belum ”konangan” sampai saat ini.

Pantas bila politikus Rachmat Pribadi di Jogja mengusulkan agar para pejabat yang ”nyambi” kuliah dan memperoleh gelar ilmiah diperiksa semuanya. Sayangnya, para akademisi di kampus pun terkadang suka menggunjing tema yang sama.

Ini bukan gunjingan simbok-simbok di abad silam sembari ”petan,” memperbincangkan anak gadis yang hamil tanpa suami sah. Para akademisi ini menggunjing akademisi tertentu yang mendadak menunjukkan kesanggupan “hamil naskah disertasi”–sebagai kandidat doktor—pada hal  skripsi S1-nya saja diragukan apakah dia sendiri yang menyusunnya.

Tokoh tergunjing ini sekarang sudah berijazah doktor, sedang mengajukan diri untuk mendapat gelar profesor. Memang ada pergunjingan yang bisa menunjukkan rasionalitas tertentu maupun fakta penopang.

Hla, itu—demikian sergah akademisi lainnya–disertasinya itu ”kan cuma mengulang tesis S2-nya dengan tambahan dan rekayasa data sana-sini”. Yang lain lagi berucap,”Itu si teman berpenampilan alim ulama, disertasinya juga sekadar menyalin dari buku yang sudah diterbitkan beberapa tahun sebelumnya.

Sekali lagi, itu semua adalah gunjingan yang boleh jadi tidak nihil indikator. Melalui dua hari berturut-turut beberapa waktu lalu, Solopos berhasil menguak praktik jual beli ijazah sarjana dan pascasarjana, bahkan strata S3.

Modusnya adalah bekerja sama dengan perguruan tinggai swasta (PTS) tertentu yang memang memiliki restan blangko ijazah. Fakta ini bukan hanya mencengangkan, akan tetapi juga mengerikan.

Jual beli ijasah semacam itu sudah mewujudkan ”teror” spesifik dunia keilmuan. Tanpa semangat keilmuan sejati, jagat perguruan tinggi yang kediaman civitas academica-nya disebut ”kampus,” hanyalah perkampungan kaum makelar ilmu dan teknologi.

Mereka adalah kaum ”sok” atau yang dahulu Soekarno suka menyebutnya: snobis. “Snobis itu, saudara…,” demikian Bung Karno. ”Adalah orang Jawa bilang: yak-yak-o”.

Kalau saja seorang dosen memegang ijazah doktor dengan jalan menerabas, betapa riskannya berhubung–antara lain–dia berhak menyandang jabatan akademis tertinggi, duru besar atau profesor. Sebagai profesor dia berhak menjadi promotor atau ”pencetak” doktor.

Manakala ijazah kedoktorannya diperoleh secara mencong, tidak mustahil dia tinggal main perintah-–tentunya dengan stok rupiah yang berjibun—kepada sesuatu pihak membuatkan buku-buku, makalah-makalah, dan tulisan-tulisan ilmiah di jurnal mana pun.

Sampai hari ini saya belum pernah mendengar seorang pengirim naskah jurnal dipanggil oleh pengelolanya untuk ”diuji.” Kalau naskah ilmiah yang diuji oleh sejumlah professor saja bisa diakali, konon pula naskah ilmiah untuk jurnal.

Mau ditulis dalam bahasa asing apa pun, ya tinggal pencet telepon kepada biro penerjemah. Profesor doktor dengan segudang karya ilmiah ini sesungguhnya adalah penipu ulung dan saya kira mayoritas komunitas profesor tidaklah seperti itu.

Namun demikian, sesudah membaca liputan Solopos dua hari berturut-turut itu menjadi yakinlah orang bahwa jual beli ijazah pendidikan tinggi seperti itu ya hukumnya sama saja dengan jual beli gorengan.

Asalkan ada perminataan dan barang, ada harga ada penawaran, ada produsen dan konsumen, ya jadilah. Akan tetapi, mengapa jual beli ijazah? Sebagian penting disebabkan pola pikir formalistik kelembagaan, di mana disyaratkan ijasah ini itu, bahkan seorang guru senior pun terkena kaidah itu untuk kemudian berbondong-bondong berkuliah di perguruan tinggi yang menurut hematnya gampang lulusnya.

Lebih tajam lagi, kini banyak pihak-pihak penerima lamaran kerja mensyaratkan angka indeks prestasi (IP) tertentu tanpa menyadari apa sesungguhnya realitas di balik IP itu. Mengapa semua itu bisa terjadi? Kita dapat mengupasnya dari cukup banyak perspektif.

Sosiologi, politik, hukum, psikologi, kebudayaan, keagamaan, etika, apalagi statistik, dan lain-lain bidang studi sangat mudah membahasnya secara disipliner maupun interdisipliner. Tulisan ini akan memilih perspektif eksistensi nilai-nilai (values) yang akan dipilah melalui dua jenis teropong: sifat nilai-nilai dan nilai-ilai keilmuan (scientific values).

Tentu saja dua jenis pembahasan ini dapat terpaut satu sama lainnya, terutama perspektif yang kedua itu akan berakar pada perspektif yang pertama.

 

Eksistensi

Dari perspektif nilai-nilai, manusia perlu benar diperingatkan berulang-ulang bahwa yang membedakan eksistensinya dengan penghuni kebun satwa adalah napas hidupnya yang membudaya.

Lekat benar dengan nilai karena kebudayaan adalah “sistem nilai yang dihayati” (Daoed Joesoef;1990). Gerak-gerik yang identik antara janda muda yang menimang bayinya mempunyai perbedaan kategoris dengan simpanse yang melakukan tampilan yang seolah sama.



Lekatnya cinta kasih , bahkan  selaku sumber dorongan si janda terhadap bayinya yang mendadak ditinggal ayahnya gugur di medan laga, tak akan dijumpai pada hewan yang hanya terlekat insting.

Ada nilai yang sangat kuat tatkala seorang nenek membela serius cucunya yang diledek teman sepermainan. Namun, pembelaan serupa oleh induk ayam terhadap anak-anak ayamnya lantaran digoda oleh anak yang sama sama hanyalah nalurinya, suatu gerak refleks.

Dan pada komunitas manusiawi, refleks-refleks ditransformasikan dan  berlanjut dalam refleksi. Kealamiahan hewan dan tetumbuhan bagi manusia dibudidayakan. Medium dan wahana pembudayaan itu tidak lain adalah sistem nilai.

Schumacher menerangkan tetumbuhan mempunyai daya hidup. Hewan punya daya hidup dan daya sadar. Manusia memiliki keduanya dan yang membedakan dari flora dan fauna adalah tambahan satu lagi: daya penyadaran diri melalui medium refleksi dan mawas diri.

Secara demikian, kajian nilai-nilai terhadap manusia adalah kajian eksistensial pemberadaban. Namun demikian, manusia-manusia modern masa kini kian menjauhi, bahkan tidak peduli pada fenomena values yang berciri das sollen (keseharusan, ideal) dan tenggelam dalam kubang-kubang anti-values.

Maka itu, yang terjadi adalah kebiadaban dan pembiadaban kehidupan. Jual beli ijazah adalah persis mewujudkan fakta pembiadaban itu, makin tinggi strata ijazah yang ditransaksikan makin tinggi pembiadabannya dan makin asor martabatnya sebagai manusia sarjana.

Sistem nilai sendiri dibedakan ke dalam intrinsic values (nilai dasar) dan instrumental values, yang keduanya melekat dalam kebutuhan dan keperluan hidup dan kehidupan manusia.

Nilai-nilai dasar seperti kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keadilan bukanlah sarana, melainkan sumber, asas, dan prinsip yang untuk perwujudannya dijabarkan dalam berbagai nilai instrumental.

Seturut hal itu dalam sistem budaya dikenal statika dan dinamika maupun dialektika yang mewujudkan substansi nilai-nilai dasar (statika) melalui wahana  nilai instrumental (dinamika dan dialektika).



Ijazah itu sendiri adalah nilai instrumental yang hanya mungkin terbit setelah dihayati, dicerna, dan diuji terkait nilai-nilai dasarnya. Ilmu yang termuat dan diandaikan melekat dalam ijazah adalah nilai dasar tersebut, semisal kebenaran, kejujuran, dan kebaikan.

Ijazah yang didapat dari transaksi jual beli hanyalah mirip gapit wayang kulit tanpa wayangnya. Para calon anggota legislatif (caleg) dan pejabat-pejabat tertentu konsumen ijazah transaksional sebagaimana yang diungkap Solopos adalah mereka yang berwajah ”meyakinkan” namun  jiwanya kosong dari spirit nurani, otaknya miskin rasionalitas, dan mentalnya ”mental-mentul.”

Spirit keilmuan adalah fungsi dan makna, sama sekali bukan bentuk seperti ijazah dan ritual wisuda di hotel-hotel mewah. Pembeli ijazah asli tapi palsu (aspal) adalah pemuja bentuk-bentuk dan siapa yang mengultuskan bentuk sebenarnya tidak punya apa pun (Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir).

Bahkan, pemegang ijazah resmi dan sah bisa jadi tampil di masyarakat cukup gamang berhubung dia kelebihan nilai instrumental dan miskin nilai dasar dalam hal seseorang tidak mampu membuktikan tampilan dan pemikiran yang cocok dengan ijazah.

Di negeri ini, bisa saja para penguji bukan banyak berpikir tetapi banyak ”merasa” semisal dengan,”Ah, sudahlah diluluskan saja, toh dia sendiri bagaimana nanti bersaing di masyarakat.”

Kawan saya, seorang perempuan dosen, sering benar mennceletuk,”Sudahlah idhep-idhep kita beramal  nyangoni urip buat meluluskan seseorang dalam ujian skripsi yang sebetulnya masih belum layak”. Itulah ucapan irasional di tengah forum ujian yang adalah forum akademis.

 

Dengan begitu, pembahasan kedua bisa dicamkan bahwa agaknya memang cukup banyak sarjana, bahkan tamatan resmi pascasarjana, yang sebatas mengerti ilmu tanpa paham apa yang eksis di balik ilmu.

Marilah dirunut apabila para guru mengajak murid-murid menonton eksposisi benda-benda teknologi baru, entah komputer, mainan anak, alat peraga pembelajaran, robot, dan bahkan mobil serta pesawat terbang.



Di negara-negara maju, murid-murid sekolah dasar pun sudah diajak gurunya bukan hanya ”melihat” melainkan mengolah dan mencerna setiap fenomena yang tampak di pancaindera mereka.

Yang tampak di paling luar adalah benda-benda teknik, semisal corong (mikrofon) yang dipakai berpidato. Ketika teknologi alat berpidato itu dihidupkan, mampu mengeraskan bunyi sampai sejauh daya yang memang tersimpan dalam barang teknik itu.

Fakta bahwa hanya dengan bicara lirih namun keluar di loudspeaker menjadi keras itu bukan karena teknik, melainkan bersebab pada teknologi di balik benda teknik.

Guru-guru SD di Jepang lebih jauh menerangkan bahwa teknologi itu bila ditelusuri akan sampai pada ilmu pengetahuan karena ilmulah yang melahirkan teknologi, dan teknologi mewujud dayanya melalui teknik.

 

Dihayati

Terakhir, guru-guru SD di negara maju itu menjelaskan ilmu bukanlah akhir karena di balik ilmu eksis suatu budaya, yakni sebagaimana sudah diulas di depan bahwa budaya adalah sistem nilai yang dihayati.

Maka itu, di balik ilmu pengetahuan itu kental sekali scientific culture (budaya ilmiah) yang melahirkan scientific attitude (watak keilmuan). Apa yang dilakukan oleh guru-guru di negeri kita?

Tatkala mereka mendampingi murid-murid mendatangi sebuah eksposisi teknologi, mereka tidak lebih hanya mengajak menonton, menikmati kehebatan dan kecanggihan benda-benda modern dan mengaguminya, mengelus-elus; tanpa memahamai apa-apa yang eksis di balik benda-benda itu.



Genus, spesies, dan subspesies dari realitas di belakang yang dilihat tidak dimengerti. Urutan berpikir: teknik, teknologi, ilmu pengetahuan, budaya, dan sistem nilai ini diberikan oleh Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dikenal sebagai menteri yang memiliki konsep.

Sejak duduk di SD-lah sebetulnya perlu diajarkan scientific culture/attitude  itu yang bersumber dari para cendekiawan seperti Robert Fischer (Inggris), Archie J. Bahm (AS), dan The Liang Gie (Indonesia).

Budaya dan sikap ilmiah itu diantaranya adalah segugus nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keterbukaan pikiran, rasional, kesetiaan pada data, bersedia berbuat keliru, kerendahan hati, kehendak respek, kritis, ketidakmutlakan (tentatif), antikecurangan, kolegialitas, tidak mengultuskan, dan kearifan (wisdom).

Bukan hanya membohongi dirinya sendiri, titel-titel kesarjanaan dagelan itu sama saja dengan, maaf, suatu ”onani akademis” yang tidak lucu,  mengenakkan sesaat dan semu belaka.

Ibarat seks, seharusnya berlangsung dalam komunitas kerumahtanggaan dan bukan transaksional. Kalau ijazah adalah seks, komunitas ilmiah adalah jodohnya, sama sekali bukan komunitas bisnis.

Apabila para pendiri negara benar-benar menekankan fungsi dan makna the man behind the gun, para penyandang gelar ilmiah palsu itu merasa mempunyai ”gun” yang hanya ditenteng ke sana kemari tanpa kemungkinan apa pun untuk ditembakkan. Pasti macet, wong tidak ada pelurunya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya