SOLOPOS.COM - Hanputro Widyono (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa ini ditulis Hanputro Widyono. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret dan aktivis di Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan.

Solopos.com, SOLO — Pada Jumat (20/3) lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS) menggelar aksi demonstrasi di bulevar UNS. Mereka menuntut pemerintahan Jokowi segera memberesi kesemrawutan yang terjadi di negeri ini: harga beras yang tinggi, nilai tukar rupiah yang anjlok, tarif dasar listrik yang naik. Pokoknya banyak yang harus diberesi!

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mereka menuntut, menuntut, dan memaksa, padahal tak kuasa. Saya merasa heran sekaligus miris melihat usaha keras para demonstran itu—parea mahasiswa UNS. Bukankah demonstrasi ini ditujukan kepada pemerintah? Kok tidak ada perwakilan pemerintah yang dihadirkan untuk melihat dan mendengar suara-suara mahasiswa tersebut?

Ada pula persoalan pemilihan lokasi demonstrasi. Kita semua tahu pejabat-pejabat pemerintahan itu berada di kantor-kantor pemerintah,  di balai kota, atau istana negara. Mengapoa demonstrasi ini digelar di bulevar kampus?

Siapa yang akan mendengarkan tuntutan mereka? Aneh sekali menurut saya, tapi raut muka para demonstran itu tidak ada satu pun yang gelisah atau bahkan marah karena tidak ada yang mendengarkan teriakan dan tuntutan mereka.

Pertanyaan-pertanyaan yang bergumul di kepala saya itu seakan terjawab dengan hadirnya wartawan-wartawan dari beberapa media massa, termasuk media kampus. Dengan kehadiran jurnalis—termasuk jurnalis media kampus–para demonstran ini tak perlu bertindak konvensional dengan mendatangi kantor atau rumah pejabat yang terkait agar suara mereka dapat didengar, seperti yang dulu dilakukan para mahasiswa angkatan ’66 dan angkatan ’98.

Demonstran era sekarang cukup menggelar aksi dan mengundang jurnalis dari berbagai media massa. Mereka boleh berimajinasi bahwa pesan dari aksi mereka telah disampaikan media—melalui berita dan foto—kepada pejabat yang bersangkutan.

Tentu dengan asumsi para pejabat kita setiap hari selalu membaca koran, membaca portal berita, melihat televisi, dan mendengarkan radio. Mereka diasumiskan selalu memantau berita-berita.

Dibungkam
Di balik aksi heroik yang dianggap sebagai manifestasi sikap kritis terhadap kehidupan politik nasional itu, kita melihat polisi-polisi yang bertambah pekerjaannya mengatur kemacetan lalu lintas, peserta demonstrasi yang asyik selfie berjam-jam atau para wartawan foto yang sibuk cekrak-cekrik mencari sudut pandang foto atau video terbaik untuk berita besok pagi atau beberapa menit kemudian.

Mungkin wartawan foto atau juru kamera televisi itu tidak mendapat gambar yang bagus sehingga mereka kemudian ”mendikte” subjek berita mereka. Para demonstran diminta mengangkat kepalan tangan untuk difoto dan direkam videonya.

Para demonstran diminta memakai ikat kepala yang bertuliskan ”BEM UNS ‘15” untuk difoto. Mereka—para demonstran itu—menuruti permintaan para jurnalis itu dengan sesadar-sadarnya. Seakan-akan demonstrasi diadakan hanya untuk berfoto ria, dibikinkan video, dan butuh dokumentasi.

Keadaan semacam itu membuat saya teringat pengakuan seorang fotografer majalah berita mingguan di Jakarta yang saya temui dalam Pelatihan Jurnalistik Pers Mahasiswa pertengahan Desember 2014.

Fotografer itu bercerita ia pernah memindahkan ribuan demonstran hanya dengan bermodalkan kamera, padahal polisi saja sering kali harus bentrok dulu baru bisa memindahkan para mahasiswa itu.

Fotografer itu hanya berkata kepada pemimpin demonstran, ”Mas, mau nggak demo ini saya foto dan besok masuk koran? Kalau mau, demonya jangan di sini, tapi di bawah tulisan ’KPK’ di sana.”

Ribuan orang itu pun bergerak puluhan meter hanya untuk sebuah foto yang memiliki nilai berita. Dahsyat betul si fotografer itu, pikir saya. Dua peristiwa di atas membawa pemahaman saya atas pembacaan tulisan Jean Baudrillard yang berjudul Fotografi atau Tulisan Cahaya dalam Galaksi Simulacra (2001: 121-131).

Baudrillard menilai foto adalah sebuah kebohongan. Kamera tidak berusaha memahami objek atau bahkan memotret objek dengan cara mendadak. Tidak ada keinginan untuk menangkap apa yang ”alamiah” pada objek atau ”penampilan objek seperti saat difoto”. Objek adalah seperti objek.

Dari pengertian itu berarti bahwa foto demonstrasi bukanlah ”demonstrasi” dalam makna sesungguhnya. Foto yang nampang di koran-koran itu hanyalah hasil rekayasa—seperti dua peristiwa di atas–namun tidak pernah diberitahukan.

Sebenarnya para demonstran itu hanyalah aktor, fotografer adalah sutradaranya, dan demonstrasi adalah drama yang ”dijual” media lewat berita dan foto. Para demonstran tidak peduli.

Mereka telanjur terbang melayang. Senang lantaran foto mereka masuk koran, keluar di portal berita, atau videonya ditayangkan televisi. Sejatinya, melalui foto-foto itu, suara lantang yang disampaikan ketika demonstrasi berlangsung telah dibungkam dan aktivitasnya telah dibekukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya