SOLOPOS.COM - Sutrisno, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sutrisno, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kekerasan, kebrutalan dan kerusuhan adalah tanda paling nyata sebuah masyarakat telah kehilangan kesabaran dan akal sehat. Yang dipamerkan justru emosi dan senjata. Yang diagungkan adalah kehendak menang sendiri bahkan dengan cara membunuh. Hal sepele bisa menyulut kebrutalan yang berakibat fatal dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Itulah yang sedang kita saksikan hari-hari ini di seantero negeri kita.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Mulai dari kasus kekerasan penyerangan sekelompok anggota TNI ke Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU); kasus penyerbuan LP Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta oleh gerombolan bersenjata yang belakangan diketahui anggota Komando Pasukan Khusus (Kopasssus) TNI AD; Kepala Kepolisian Sektor Dolok Panribuan, Simalungun, Sumatra Utara, Ajun Komisaris Andar Siahaan, tewas dianiaya massa di tempat kejadian perkara (TKP) ketika berniat menangkap pelaku perjudian hingga kerusuhan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan. Di Palopo, massa yang kecewa terhadap hasil pemilihan kepala daerah membakar kantor pemerintah, kantor partai politik, kantor perbankan, kantor redaksi media massa dan fasilitas umum lainnya.

Selama 2012, berbagai konflik dan kekerasan menjadi catatan buruk yang dominan. Laporan Kementerian Dalam Negeri menyatakan konflik sosial mencapai 104 kasus. Isu-isu konflik dan kekerasan meliputi bentrokan antarwarga sebanyak 33,6 persen, isu keamanan 25 persen, konflik ormas 12,5 persen, konflik lahan 12,5 persen, isu suku agama rasa dan antargolongan (SARA) 9,6 persen, imbas konflik politik 2,9 persen, konflik pada institusi pendidikan 2,8 persen dan kesenjangan sosial 0,9 persen.

Negara yang sempat dikenal sebagai negara yang ramah, santun, toleran dan mencintai kedamaian kini seolah terbelenggu oleh berbagai kekerasan yang terjadi di antara masyarakat Indonesia sendiri. Frans Magnis Suseno menyimpulkan bahwa kekerasan bahkan sudah berubah menjadi ”budaya kekerasan” dalam kenyataan kehidupan bangsa Indonesia. Berbagai peristiwa kekerasan itu kian membenarkan kajian Freek Colombijn dan J Thomas Lindblad (Roots of Violence in Indonesia, 2002) yang menyebut Indonesia sebagai negeri kekerasan.

Menurut Dahrendorf, salah satu penyebab kekerasan adalah pertarungan kepentingan kelas sosial dalam negara. Sistem sosial yang memunculkan konflik dikoordinasi secara imperatif oleh sebuah otoritas yang mengacu pada pertarungan kepentingan. Karena itu, terkadang kekerasan sesungguhnya berada pada level elite politik dengan dukungan emosional dari akar rumput (Ralf Dahrendorf, 1986: 84-87). Kekerasan juga sangat mungkin terjadi oleh terjadinya crisis of governability (krisis kepemerintahan). Krisis kepemerintahan yang berkait dengan krisis legitimasi ditandai oleh proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara).

Karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sekarang ini pun kita masih berada dalam budaya kekerasan yang mewajah dalam berbagai bentuk dan tali-temali menjadi lingkaran kekerasan. Dalam lingkaran kekerasan ini masyarakat menjadi rentan konflik. Masyarakat rentan konflik bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti social cleavages yang membagi masyarakat pada berbagai kelompok identitas.

Kondisi social cleavages akan muncul dalam bentuk permusuhan timbal balik (reciprocal antagonism) (Coser, 1957) dan perilaku kekerasan  atau coercive behavior (Bartos&Weher, 2003) tatkala masing-masing kelompok harus bersaing untuk meraih sumber daya yang terbatas. Kekerasan menjadi perilaku kolektif dengan mengikuti pola dan karakter modal sosial (Putnam, 2000) atau sumber konflik (Bartos & Weher, 2003) yang menjadi mesin gerakan sosial dan mobilisasi massa (Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik, 2012: hal 22).

 

Hukum Harus Ditegakkan

Budaya kekerasan yang mewajah dalam segala bentuk serta dengan dalih apa pun tidak dibenarkan. Dalam upaya mengatasi konflik dan kekerasan, paling tidak ada dua pendekatan yang dapat ditempuh yakni pendekatan berbasis keamanan dan pendekatan berbasis empati persuasif dialogis. Pola-pola penanganan kekerasan dan konflik berbasis keamanan masih tetap dibutuhkan. Sebaiknya aparat keamanan tidak memberi ruang kepada mereka yang menghasut untuk melakukan kekerasan. Tidak boleh ada ruang dan toleransi terhadap seruan di depan publik kepada warga dan komunitas tertentu untuk melakukan serangan, tindak kekerasan,  kepada pihak mana pun. Hukum harus ditegakkan.

Polisi harus memperkuat lini intelijen mereka. Aparat harus memiliki jaringan yang luas agar setiap benda jatuh apa pun bentuk dan seberapa nyaring bunyinya mampu didengar dengan baik. Persoalan harus dikelola sebelum pecah. Dalam menangani konflik jangan dengan cara kekerasan. Kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan baru yang lebih brutal dan jelas akan memakan korban yang lebih banyak lagi.

Selanjutnya, memahami berbagai kekerasan dan konflik dengan pendekatan empati yang akan memungkinkan untuk mengungkap dimensi terdalam dari korban konflik (latent conflict) dengan segala problem psikologis yang dialami. Opsi yang ditawarkan tentunya penanganan konflik berbasis pada kapasitas lokal untuk perdamaian (local  capacity for peace) karena setiap daerah memiliki dinamika konflik dan budaya yang berbeda. Penanganannya pun harus disesuaikan dengan budaya dan kebutuhan daerah masing-masing.

Terakhir, kita harus mengingatkan kembali bahwa masyarakat Indonesia adalah multietnis dan multibudaya. Keragaman inilah yang sesungguhnya menjadi kekuatan luar biasa dari bangsa Indonesia. Jadi, kebhinekaan itu harus kita syukuri dan selanjutnya kita pupuk agar keharmonisan terus berkembang, mengalahkan sikap-sikap keras dan brutal yang makin tumbuh di berbagai daerah.

Tak kalah penting, setiap persoalan hendaknya diselesaikan dengan rujukan empat pilar kebangsaan nasional (Pancasila, UUD 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika). Dengan rujukan itu pula, penanganan konflik dan kekerasan di Tanah Air diharapkan tak hanya melahirkan rekonsiliasi dan perdamaian antarpihak, tetapi sekaligus menumbuhkan kembali komitmen dan kesadaran nasionalisme Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya