SOLOPOS.COM - Norbertus Kaleka, Alumni Fakultas Pertanian UGM Pemerhati Ekonomi Rakyat. (FOTO/Istimewa)

Norbertus Kaleka, Alumni Fakultas Pertanian UGM Pemerhati Ekonomi Rakyat. (FOTO/Istimewa)

Bung Karno saat di Bandung, ketika jalan-jalan di daerah Cigereleng, dia bertemu seorang petani yang bernama Marhaen. Terjadilah dialog seperti dituturkan John D Legge dalam bukunya Sukarno A Political Biography.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Milik siapa tanah ini?” tanya Sukarno.

“Saya,” jawab Marhaen.

“Cangkul ini milik siapa?”

”Saya.”

“Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”

“Untuk saya sendiri”

“Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”

“Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami”

“Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”

“Benar, saya hidup dalam kemiskinan,” kata Marhaen.

 

Bung Karno melihat bahwa imperalisme adalah lintah darat yang mengisap kaum tani sehingga tetap miskin. VOC sebagai persekutuan dagang Belanda demikian berkuasa atas seluruh kekayaan hasil bumi Indonesia.

Penderitaan akibat penjajahan memang terutama dialami oleh para petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Contohnya pada masa Culturstelsel (tanam paksa). Gubernur Jenderal van den Bosch mewajibkan setiap desa memberikan 20% dari tanahnya untuk ditanami kopi, tebu, teh, lada, kina, tembakau dan nila. Ini adalah komoditi ekspor. Sementara penduduk yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun pada kebun-kebun milik Belanda. Ribuan petani mati akibat culturstelsel. Tetapi dari hasil tanam paksa ini Belanda mencapai zaman keemasan selama 105 tahun pada periode 1835-1940.

Petani memang melakukan perlawanan. Inilah yang direkam oleh Sejarawan Indonesia almarhum Prof Dr Sartono Kartodirdjo (1984) yang menulis tentang Pemberontakan Petani Banten 1888. Meski sporadis dan bersifat lokal, perlawanan petani dilakukan dengan berbagai cara seperti membakar perkebunan tebu dan lain-lain. Perang Diponegoro (1825-1830) yang disebut The Java War atau Perang Jawa yang membuat Belanda hampir bangkrut juga didukung petani Jawa yang militan. Sekitar 200.000 rakyat tani mati dalam perang besar ini.

Kemiskinan dan penderitaan petani akibat penjajahan terekam dalam buku Max Havelaar (1860) yang ditulis Doewes Dekker dengan nama samaran Multatuli. Kita melihat bahwa petani adalah kelompok sosial terbesar dari bangsa ini yang paling menderita akibat penjajahan.

Bagaimana Sekarang?

Balada hidup si Marhaen tetap dalam kemiskinan. Nasib petani tak berubah. Benar bahwa negara kita sudah merdeka 67 tahun, tetapi pemerintah tetap saja gagal menyejahterakan para petani.

Pertanyaan Bung Karno pada si Marhaen: “Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”, kini terngiang kembali. Lihatlah indeks nilai tukar petani hanya bergerak di kisaran 100 yang berarti laju kenaikan harga kebutuhan hidup dan harga barang modal untuk produksi usaha tani masih lebih tinggi dari laju kenaikan harga hasil usaha tani. Belum lagi kalau petani gagal panen, mereka menjadi kelompok masyarakat yang menderita lapar karena ketiadaan pangan. Harga beras yang naik tinggi ikut memukul mereka.

Kebijakan pangan yang dikelola pemerintah lebih banyak merugikan petani. Pemerintah lebih mudah impor beras daripada membeli gabah petani. Bahkan keran impor beras dibuka ketika petani kita sedang siap panen. Pemerintah lebih memakmurkan petani Thailand, Vietnam, atau India dengan membeli (impor) beras mereka bernilai triliunan rupiah. Petani kita gigit jari dan kelimpungan menderita sendiri.

Bela rasa pemerintah terhadap jutaan petani sama sekali tidak tampak. Bandingkan dengan kesediaan pemerintah membayar BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Negara membayar utang ratusan triliun rupiah yang dikemplang oleh segelintir pengusaha. Untuk menyelamatkan Bank Century, negara merogoh kocek Rp6,7 triliun. Semuanya atas analisis ekonomi yang dikatakan sistemik karena akan memiliki efek domino terhadap berbagai sektor ekonomi. Tetapi nasib hampir 60 juta petani sama sekali diabaikan.

Dalam beberapa musim, kita melihat petani di daerah sentra produksi padi menjerit karena serangan hama wereng. Pemerintah hanya menganjurkan ubah pola tanam, ganti dengan palawija. Hanya itu. Padahal untuk panen palawija butuh waktu. Inilah yang dinamakan gestation period dalam dunia pertanian yang membuat petani menunggu untuk memanen hasil usaha mereka. Lalu selama masa menunggu, petani makan apa? Pemerintah harus membela petani. Petani yang gagal panen diberi ganti rugi. Diberi biaya hidup (cost of living) sampai panen tiba, dan pada saat mulai menanam padi lagi, petani diberi modal kerja, bibit dan pupuk. Pemerintah harusnya merancang asuransi usaha tani untuk melindungi petani dari risiko gagal panen karena serangan hama dan penyakit atau karena iklim yang tidak bersahabat seperti banjir dan kekeringan.

Pemerintah harus berbalik untuk menyelamatkan jutaan petani yang sekarat berapa pun harganya, karena dampaknya yang sistemik bagi ketahanan bangsa ini. Menyelamatkan jutaan anak cucu marhaen dengan perbuatan nyata dan kebijakan yang memihak wajib dilakukan pemerintah.



Apakah ini berarti para petani dimanjakan? Sama sekali, tidak! Ini adalah harga dari perjuangan kaum tani, si marhaen miskin dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ini adalah deviden dari saham yang mereka miliki saat mendirikan bangsa ini. Dan jangan lupa, petani tetap berjuang hingga hari ini dan hari-hari mendatang karena mereka harus tetap bekerja untuk menyediakan pangan bagi seluruh warga bangsa ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya