SOLOPOS.COM - Flo Kus Sapto W (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (3/7/2017). Esai ini karya Flo. Kus Sapto W., seorang praktisi pemasaran. Alamat e-mail penulis adalah floptmas@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Jumat (30/6) menjadi hari terakhir beroperasinya jaringan toko 7-Eleven, jamak disebut Sevel yang merupakan kependekan dari Seven-Eleven, di Indonesia. Outlet pertama minimarket yang sekaligus tempat kongko kaum muda dan pekerja kelas menengah ini mulai beroperasi di Bulungan, Jakarta Selatan, pada 2009.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Waralabanya dibeli oleh PT Modern Internasional Tbk. pada 2008. Empat tahun kemudian berkembang menjadi 100 outlet (moderninternasional.co.id) lalu menjadi 187 unit pada 2015, namun kemudian menyusut kembali menjadi 166 unit pada 2016 (databoks.katadata.co.id).

Sampai pada tiga bulan pertama tahun ini PT Modern Internasional Tbk. merugi senilai Rp477 miliar (cnnindonesia.com, 30/06). PT ini juga punya pinjaman di Bank Mayapada senilai Rp129 miliar. Jauh lebih kecil daripada pinjamannya di Standard Chartered Bank cabang Singapura yang senilai Rp243,96 miliar.

Selain itu juga masih ada pinjaman di CIMB Niaga dan Bank Mandiri masing-masing senilai Rp187,6 miliar dan Rp164,33 miliar. Terlepas dari memburuknya kinerja perusahaan, salah satu moto bisnis minimarket ini memang hendak fokus menjual kenyamanan dan berbisnis pelayanan (corp.7-eleven.com).

Konsepnya adalah menyediakan tempat bagi karyawan dan pelanggan untuk hidup, bekerja, dan bermain. Sepertinya manajemen berhasil mengusung filosofi tersebut hingga gerai 7-Eleven menjadi tempat pilihan untuk nongkrong. Terlebih lagi dengan adanya fasilitas Internet nirkabel yang mendorong pelanggan betah berlama-lama.

Keberhasilan menyajikan kenyamanan itu agaknya tidak berbanding lurus dengan peningkatan belanja. Tujuan mendapatkan imbal balik dari pelanggan supaya berbelanja lebih banyak karena sudah mendapatkan fasilitas yang nyaman tidak tercapai.

Karakteristik pelanggan inilah yang bisa jadi menyebabkan omzet Sevel turun. Sementara biaya operasional (gaji karyawan, listrik, internet) tetap. Situasi bisnis Sevel itu nyaris berbanding terbalik dengan kenyamanan yang disajikan suatu warung angkringan.

Di warung angkringan pelanggan malah dipersilakan berlama-lama dan cukup dengan membeli segelas minuman dan beberapa potong kudapan. Pemilik warung angkringan tidak berkeberatan dengan perilaku pelanggan semacam ini. Jika konsep kenyamanan bagi pelanggan yang sama-sama hendak dijual, warung angkringan memiliki selling advantage lebih besar dibandingkan Sevel.

Secara manajerial biaya operasional warung angkringan memang jauh lebih efisien daripada gerai Sevel. Bermodalkan gerobak angkringan sewaan atau milik sendiri tetap tidak sebanding dengan uang sewa untuk sebuah fasilitas Sevel. Salah satu pengeluaran yang mungkin timbul dari warung angkringan hanyalah restribusi pedagang untuk pemerintah daerah.

Selanjutnya adalah: Gaji karyawan tidak perlu dialokasikan…

Gaji Karyawan

Gaji karyawan tidak perlu dialokasikan karena kebanyakan penjual sekaligus pemilik angkringan. Laba terbesar warung angkringan justru dari penjualan minuman (air). Harga pokok produksi hanya untuk pembelian arang kayu atau minyak tanah untuk kompor sedangkan air nyaris gratis.

Segelas minuman di Sevel belum cukup memberikan keuntungan berarti. Kudapan di warung angkringan biasanya adalah konsinyasi. Jadi, biaya produksi dan modal kerja sangat minimal. Jika demikian, siapa sebetulnya yang lebih pintar? Di dalam kajian pemasaran, eksistensi warung angkringan memang fenomenal.

Angkringan berarti pikulan dalah saprabote (pikulan beserta perabotannya) untuk berjualan bakmi, soto, minuman dan sebagainya (Poerwadarminta, 1939). Awalnya bisa jadi terbatas untuk konsumen kelas bawah. Kini segmentasi pasarnya bisa menjangkau segala lapisan dan strata sosial manapun.

Situasi remang-remang dan keterbatasan tempat duduk di warung angkringan konvensional menjadi sebuah kekurangan. Bagi yang jeli melihat peluang, situasi itu dicoba diubah menjadi lebih terang dan jumlah kursi ditambah. Walhasil, banyak warung angkringan yang penampilannya bertransformasi menjadi mirip kafe.

Sebagian tetap mempertahankan gerobak angkringan sebagai atribut warung. Sebagian yang lain justru meninggalkan gerobak angkringan dan mendesain outlet dengan lebih modern. Apa pun interiornya, konsep bisnisnya adalah tempat nongkrong–sebagian juga sudah berfasilitas Internet nirkabel–dan tetap terbatas pada penjualan minuman dan makanan.

Pembedanya dengan warung angkringan konvensional adalah pada selisih harga. Minuman standar–es teh dan es jeruk–yang biasanya Rp2.500-Rp4.000 per gelas bisa menjadi Rp7.500-Rp10.000 per gelas. Sedangkan mi rebus telur yang biasanya Rp6.000-Rp7.500 per porsi bisa menjadi Rp12.000-Rp15.000 per porsi. Baik warung angkringan konvensional maupun modern sama-sama memiliki segmen konsumen sendiri.

Sepintas terlihat warung angkringan masih bisa survive karena biaya operasi yang rendah. Sedangkan Sevel terpuruk karena harus menutupi biaya operasi yang tinggi. Jadi, apa yang salah pada manajerial Sevel?

Seturut catatan dan data yang bisa saya akses, penjualan Sevel pernah mencapai masa kejayaan pada 2014, yakni senilai Rp971,7 miliar. Omzetnya mulai menurun pada 2015 dengan pendapatan Rp886,84 miliar (katadata.co.id). Penurunan itu sepertinya korelatif dengan penerapan Permendag No. 06/M-DAG/PER/I/2015 tentang pembatasan penjualan minuman beralkohol di minimarket.

Jika benar demikian, keterpurukan Sevel sebetulnya lebih karena faktor eksternal (regulasi) daripada mismanajemen. Mengapa gerai minimarket milik perusahaan lain masih bisa eksis? Bukankah mereka seharusnya juga terimbas dampak regulasi yang sama?

Salah satu penjelasan yang masuk akal adalah karena Sevel tidak memiliki basis konsumen yang loyal. Dua minimarket lain masih bisa bertumbuh sebab mereka mendekat ke kantong-kantong permukiman yang memungkinkan pembelian untuk konsumsi berkelanjutan karena kedekatan lokasi.

Selanjutnya adalah: Pembelian untuk konsumsi lebih menguntungkan…



Lebih Menguntungkan

Pembelian untuk konsumsi lebih memberikan keuntungan daripada pembelian karena sambil lalu, misalnya karena kebetulan lewat atau bertepatan dengan kebutuhan mendadak. Faktor kedekatan ini secara tidak langsung mendorong pembelian ulang oleh konsumen.

Pembelian Konsumsi

Sedangkan Sevel yang lokasinya cenderung di perkotaan atau lingkungan kerja menjadi kurang strategis bagi pembelian konsumsi. Pilihan lokasinya lebih tepat untuk konsumen transit. Secara normatif konsumen dalam perjalanan (transit) lebih cenderung melakukan pembelian seperlunya.

Tipikal pembeli semacam ini jamak dikenal sebagai pembeli semu (spurious buyer). Mereka datang ke Sevel sekadar menikmati fasilitas mengisi ulang baterai tekepon seluler, menikmati fasilitas Internet nirkabel, dan menunggu jam-jam macet lewat dengan biaya minimal (sekadar membeli minuman).

Relasi antara pembeli dan penjual (spurious relationship) ini, menurut Liljander, dalam esainya yang dimuat dalam Journal of Marketing Services Vol. 16 No. 7 (2002), dicontohkan seperti seorang pelanggan bengkel mobil yang senantiasa melakukan servis di bengkel tertentu, namun alasan sebetulnya bukan karena kepuasan atas layanan bengkel.

Bukan pula karena loyalitas pada brand bengkel itu yang kebetulan merupakan representasi dari merek mobil yang dikendarainya. Jadi, alasan utama menggunakan jasa bengkel adalah karena kedekatan dengan tempat tinggalnya. Secara kebetulan memang pelanggan bengkel itu juga tidak atau belum menemukan ketidakpuasan atas layanan bengkel.

Demi alasan kepraktisan semata pelanggan itu tetap pergi ke bengkel itu. Agaknya konsumen Sevel memang masuk kategori spurious buyer. Jika benar demikian, Sevel hanya menang fasilitas tapi sama konsepsi dan beda biaya operasi dengan warung angkringan. Tidak lebih.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya