SOLOPOS.COM - Oleh Ahmad Wakhid, pegiat di Mozaik Insitute Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Oleh Ahmad Wakhid, pegiat di Mozaik Insitute Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Tawuran antar pelajar terjadi lagi di Ibu Kota kian menambah problematika pelik dunia pendidikan. Anarkisme pelajar yang bahkan berujung pada kematian, yakni Alawy Yusianto Putra, siswa SMA Negeri 6 Jakarta. Tawuran pelajar yang sejatinya tak lagi dianggap sebagai dinamika anak muda dalam berekspresi akibat dorongan emosi, tapi kejadian itu kini mengarah pada aksi brutal bahkan cenderung premanisme yang tak wajar dilakukan kalangan terdidik.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Secara konsepsi, tugas pelajar adalah belajar di ruang formal maupun kultural, membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan mengukir prestasi serta berkarya. Tapi itu teori. Namun realitas berkata lain. Tanpa terjebak pada paradigma generalisasi, tak dapat dimungkiri bahwa harapan pada pelajar akan mimpi-mimpi besar tampaknya sedikit kita tanggalkan.

Bagaimana kita bisa bangga dengan pelajar bila di Jakarta makin marak tawuran pelajar yang terkesan menjadi budaya, warisan, dan konflik laten. Tawuran pelajar yang semakin beringas. Diputarbalikkan logika dengan cara apa pun, kita tak habis pikir, dalam usia muda berstatus pelajar lagi yang sejatinya mengedepankan akal dan nurani tapi mereka malah menonjolkan emosi, arogansi. Aksi yang menjurus bar-bar, biadab dan tak beradab ditunjukkan pelajar. Mereka tak takut melukai pelajar lain hingga membunuh sekalipun. Kasus Alawy menjadi pelajaran penting bagi kita semua bahwa ada pergeseran tajam paradigma pelajar. Cara berpikir brutal, mengedepankan okol.

Akar Masalah

Kekerasan pelajar tentu memiliki akar masalah signifikan. Tindakan brutal yang membabi buta tidak didorong kehendak pribadi yang absolut. Dalam contoh peristiwa teranyar di Jakarta menunjukkan hal itu. Bahasa lain, tawuran pelajar di jantung kekuasaan dipengaruhi ragam persoalan dan motif yang bersifat kolektif. Kekerasan pelajar tak tunggal, ada alasan lain yang mendorong siswa melakukan perilaku anarki.

Erich Fromm (1900-1980), seorang psikoanalisis dan filosof sosial, berpendapat, kekerasan tidak inheren dalam diri manusia. Kekerasan di masyarakat bukan melulu akumulasi dari naluri manusia sebagai individu. Rujukan pemikiran Erich mengajak kita kepada perenungan, ternyata ada faktor luar yang mendorong reproduksi kekerasan di masyarakat, termasuk pelajar. Siapa yang membuat mesin-mesin itu mudah melakukan tindak kekerasan? Satu jawaban yang bisa diperoleh adalah lingkungan.

Di luar faktor kedirian pelajar, ada lingkungan yang turut membentuk kepribadian pelajar apakah ia akan menjadi sosok baik, atau bahkan sebaliknya ia akan bersikap buruk. Pada konteks tragedi pelajar di Jakarta, itu artinya dapat kita maknai dan pahami terdapat lingkungan yang tak sehat di sekitar pelajar.

Makna lingkungan ini luas. Yakni menyangkut keluarga, lingkungan sosial tempat tinggal (baca : Jakarta), dan juga sekolah. Beberapa faktor lingkungan pendukung tersebut, diakui atau tidak, turut mempengaruhi psikologi, cara berpikir, dan perilaku pelajar. Kalimat lain, ada lingkungan yang tak sehat sehingga anak didik bersikap brutal/anarki.

Sebagai Ibu Kota, Jakarta menjanjikan berbagai kenikmatan dan kemudahan. Tapi, di Jakarta pula kompleksitas persoalan juga menumpuk. Situasi sosial yang ikut mempengaruhi perkembangan pelajar di sana. Dengan persoalan modernitas yang mendedah dan bahkan bagai benang kusut yang hampir sukar diurai, pelajar turut larut dalam dinamika kota Jakarta.

Dengan begitu tak menutup kemungkinan, pelajar di sana, paling tidak dalam contoh tawuran pelajar SMA 6 dan 70, juga mengalami frustasi sosial luar biasa akibat dinamika kota besar. Misalkan saja, pelajar bangun pagi-pagi bersekolah di jalan mereka bertemu kemacetan dan datang di sekolah terlambat, dimarahi guru. Belum lagi jika ada pelajaran sekolah yang dirasa rumit, ditambah ruang pendidikan formal atau kultural yang tak memadai bagi peserta didik. Bukankah keadaan ini dapat membuat pelajar stress?

Selain itu, di dalam keluarga, siswa/siswi tak menemukan kedamaian dan harmoni akibat orang tua sibuk dengan kerjaan masing-masing. Orang tua lupa tanggung jawab pada anak akibat sibuk mengejar dan atau menumpuk materi. Pendek kata, keluarga menjadi neraka di dunia bagi pelajar.

Belum lagi, jika sekolah pun acuh tak acuh pada anak didik. Mereka tak peduli dengan perkembangan siswa. Pihak sekolah abai membantu mengembangkan potensi kreatif peserta didik. Dengan bahasa lain, sekolah jalan sendiri tanpa memperhatikan secara optimal keberadaan pelajar di sekolah. Walhasil, siswa mencari identitas dan eksistensi secara mandiri. Apabila pelajar terjebak pada geng-geng, pergaulan kelompok yang tak produktif—sekolah jangan menyalahkan siswa.

Pemikiran penulis, semoga saja dapat menjadi sumbangan ide yang signifikan untuk mencegah agar tindakan anarkisme pelajar sekolah tak lagi terulang di Jakarta atau di daerah-daerah lain. Tindakan brutal bukan cermin kepribadian pelajar dan dunia pendidikan negeri ini. Karena itu, kita berharap pemerintah, sekolah, lingkungan sosial, keluarga—dapat bersinergi mengatasi tawuran pelajar yang sangat meresahkan kita semua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya