SOLOPOS.COM - Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan tanggapan pemerintah tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Pemerintah bersama DPR menyepakati RKUHP untuk selanjutnya akan disahkan menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna. (Antara-Puspa Perwitasari)

Solopos.com, JAKARTA — Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mengklaim bahwa perbuatan zinah dan kumpul kebo (kohabitasi) yang diatur dalam Rancangan Kitan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hanya dapat diadukan oleh orang yang terkena dampak perbuatan tersebut.

“Mengenai perzinahan yaitu persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istri merupakan delik aduan yang hanya bisa dilakukan oleh suami atau istri atau orang tua atau anak jadi pengaduannya dibatasi oleh orang-orang yang paling terkena dampak,” kata Yasonna di gedung Kemenkumham Jakarta, Jumat (20/9/2019).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Yasonna menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers yang juga dihadiri oleh Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Muladi dan tim.

Dalam draf RKUHP pasal 417 ayat (1) disebutkan “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau isterinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II”. Sedangkan ayat (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.

“Tidak ada keharusan pengaduan harus diikuti gugatan perceraian karena perzinahan ini dalam konteks dan nilai-nilai masyarakat Indonesia, bukan masyarakat kota besar,” tambah Yasonna.

Sedangkan mengenai kumpul kebo diatur dalam pasal 419 ayat (1). Bunyinya “Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II”. Sedangkan ayat (2) berbunyi “tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya”.

“Untuk kohabitasi merupakan delik aduan dan yang berhak mengadu dibatasi hanya oleh suami atau istri, anak, dan orang tua. Dapat juga dilakukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lain sepanjang mendapatkan persetujuan tertulis dari suami/istri, anak, dan orang tua serta pengaduan dapat ditarik. Itu hukumannya enam bulan, jadi tidak bisa langsung ditahan, enam bulan atau denda,” jelas Yasonna.

Zinah dan kumpul kebo ikut diatur karena menurut Yasonna bila tidak diatur maka pemerintah dapat dipersepsikan menyetujui perzinahan. “Kecuali kita mau mengatakan di sini, nanti kalau kita tidak atur dikatakan lagi, pemerintah atau Menkumham menyetujui perzinahan, kalau itu lebih berat buat saya. Jadi jangan diputar balik,” ungkap Yasonna.

Yasonna juga sudah menjelaskannya dengan salah satu Dubes Australia soal kekhawatiran pemidanaan terhadap para turis asing.

“Ada berita di Australia mengatakan, seperti jadinya travel warning, supaya jangan datang ke Indonesia. Saya kemarin ketemu dengan seorang Dubes saya jelaskan kepada mereka seolah-olah negara kita ini akan menangkapi semua orang sampai jutaan orang akan masuk penjara hanya karena kohabitasi, itu hanya mungkin terjadi kan delik aduan,” tambah Yasonna.

Padahal orang yang dikenakan kohabitasi harus berdasarkan aduan. “Kadang-kadang orang tuanya justru mengadukan perkosaan, agar tidak seperti ini kita buat ancamannya cuma 6 bulan, dapat ditarik kembali. Ini klarifikasi, jadi jangan di seolah-olah dunia ini akan kiamat kita tangkapi semua orang enggak ada tujuan kita semua itu,” Yasonna.

Pada hari ini Presiden Joko Widodo meminta adanya penundaan pengesahan RKUHP karena masih ada sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang dan berharap pengesahan RKUHP itu dilakukan DPR periode 2019-2024.

Presiden juga meminta Yasonna untuk menambah masukan dan mengumpulkan usulan dari masyarakat. Revisi KUHP dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dimulai sejak Presiden mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP pada 5 Juni 2015 namun selalu tertunda. Padahal RKUHP sudah dijadwalkan akan disahkan pada rapat paripurna DPR 24 September 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya