SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Solopos.com)

Ilustrasi (JIBI/Solopos.com)

JOGJA—Forum Bersama Peduli Keistimewaan dan Perdais menolak evaluasi kemendagri atas Peraturan Daerah No1/2003 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah Istimewa yang dianggap diskriminatif.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam surat Kemendagri tertanggal 4 April 2013, Kemendagri menyebutkan penulisan makna gelar sultan, Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah  terutama pada Khalifatullah dapat menimbulkan diskriminatif karena seolah- olah Sultan hanya milik masyarakat dengan agama tertentu.

Hal itu tidak sesuai dengan pasal 6 huruf a UU No 12/2011 mengenai Bhineka Tunggal Ika yaitu materi muatan perundang- undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama suku dan golongan khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ekspedisi Mudik 2024

Forum menolak anggapan tersebut. Kemendagri dianggap menciderai sejarah Kraton yang sejak awal tumbuh sebagai kerajaan Mataram Islam. Karenanya mereka mendesak untuk bertemu dengan Sultan di Komplek Kepatihan, Selasa(7/5). Tapi mereka hanya ditemui oleh Sekretaris Daerah Ischanuri, Kepala Bapeda DIY Tavip Agus Rayanto dan Tim Asistensi RUUK Achiel Suyanto di Gedung Pracimosono.

Mereka yang tergabung dalam forum itu diantaranya Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, Pimpinan Wilayah Nadhlatul Ulama DIY, Pabuyuban Dukuh se-DIY Semar Sembogo, Kerisjati, Pusaka Islam dan beberapa tokoh seperti Syukri Fadholi, Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman KH. Muhaimin.

“Gelar Sultan adalah roh Kraton. Gelar itu justru menjadi payung untuk mengayomi kebhinekaan yang ada di Jogja selama ini,” kata Hasan Abdullah, Wakil Ketua PWNU DIY.

Muslich, mantan Dosen Fakultas Ushulludin UIN Sunan Kalijaga yang hadir dalam kesempatan itu menjelaskan, meski gelar tersebut merujuk pada Islam tapi itu sebenarnya bersifat umum. Sayidin adalah orang yang terdepan, panatagama adalah pengatur kehidupan beragama tidak merujuk pada agama tertentu.

Sedangkan, khalifatullah diartikan sebagai wakil Allah. “Yang punya Allah kan bukan hanya umat islam. Umat kristen juga punya, hanya pelafalannya saja yang berbeda. Jadi ini tidak bisa dinilai diskriminatif,”tegasnya.

Sebagai khalifah, lanjutnya,Sultan memiliki kewajiban untuk menata kehidupan beragama di Jogja dengan dilandasi semangat solidaritas.“Islam memperbolehkan toleransi. Lakum dinukum waliyadin ,untukmu agamamu dan untukulah agamaku,” ucapnya mengutip ayat Alquran

“Ini tidak benar jika dibenturkan dengan kebhinekaan. Masyarakat selama ini sudah terbiasa hidup dengan pelajaran adiluhung Kraton yang bersumber pada norma Islami,” tambah Abunda Faruk, Wakil Ketua PW Muhamadiyah DIY.

Ischanuri belum dapat memberikan komentar panjang soal hal itu. Pertemuan itu direkam dan masukan berupa fisik dimintanya. Semuanya akan diserahkan ke gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X.” Beliau nanti yang akan menindaklanjutinya,”katanya.

Sedangkan menurut Achiel permintaan itu sudah diakomodir namun cuma tidak dijabarkan detail dalam perdais. “Yang proporsional saja yang cukup dimasukan seperti pengaturan sultan yang sekaligus gubernur,”katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya