SOLOPOS.COM - Salah seorang penarik becak di selatan Stasiun Purwosari, Panut, 60, (kanan) menunggu penumpang, Selasa (13/3/2018). (Ivan Andimuhtarom/JIBI/SOLOPOS)

Pendapatan penarik becak Purwosari turun.

Solopos.com, SOLO—Sutiman, 60, menunggu calon penumpang sambil duduk pada becak yang terparkir di jalur lambat Jl. Slamet Riyadi di depan Stasiun Purwosari, Selasa (13/3/2018) siang. Tak lama, beberapa penumpang kereta api (KA) keluar dari area stasiun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lelaki asal Gentan, Baki, Sukoharjo itu menghampiri mereka, berharap ada satu di antaranya yang mau menggunakan jasanya. Namun, tak ada satupun yang mengiyakan tawaran lelaki tua itu. Ia kemudian kembali duduk pada becaknya.

“Sejak kemarin [Senin (12/3)] sepi sekali [penumpangnya]. Pengalihan arus di sekitar sini membuat calon penumpang enggan naik becak,” keluhnya saat berbincang dengan Solopos.com.

Ia mengatakan pada Senin ia bertahan di depan stasiun dari pagi sampai sekitar pukul 23.00 WIB sebelum pulang ke rumahnya. Ia masih bersyukur mendapat uang Rp70.000 dari mengantarkan beberapa penumpang. (baca juga: FLYOVER MANAHAN SOLO : Sesuai Prediksi Dishub, Macet Hanya saat Jam Berangkat dan Pulang Sekolah)

Walau begitu, ia merasakan uji coba manajemen rekayasa lalu lintas (MRLL) untuk pembangunan flyover Manahan benar-benar membuat dia dan para penarik becak makin kesulitan mencari penghasilan. Memang, penghasilan harian tidak pasti, tetapi kini kesulitan mencari jalur terdekat dan teraman menjadi tantangan lain.

“Hari ini belum narik. Kalau mau narik juga masih bingung, mana jalan yang boleh dilewati, mana yang enggak,” kata dia.

Ia menceritakan harus mengambil jalan memutar hingga masuk jalan kampung di wilayah Sondakan untuk mengantarkan penumpang yang ingin turun di Univesitas Islam Batik (UNIBA) di Jl. Agus Salim. Padahal, biasanya ia mengikuti Jl. Slamet Riyadi ke barat, lalu masuk Jl. Transito kemudian sampai di UNIBA dalam waktu relatif cepat.

“Padahal ini kan rekayasa lalu lintasnya sekitar delapan bulan. Untung jalan layang Purwosari tidak dibarengkan. Kalau dibarengkan, tambah geger,” ujar dia.

Penarik becak lain, Panut, 60, juga hanya duduk di becak yang terparkir di jalur lambat depan Stasiun Purwosari sejak pagi. Hingga siang, belum ada satupun penumpang yang ia angkut.

Ia menilai rekayasa lalu lintas membuat kondisi lalu lintas makin ruwet. Hanya untuk mengantarkan penumpang sampai Manahan saja, jalurnya panjang dan macet.

“Kemarin [Senin] saya mau ke Kerten saja butuh waktu sampai setengah jam. Biasanya hanya sekitar 10 menit,” terang lelaki asal Gemolong, Sragen itu.

Ruwetnya lalu lintas turut berpengaruh ke pendapatannya. Pada Senin ia hanya mengantar tiga orang selama seharian. Biasanya, ia mengantar 4-5 penumpang. Kondisi yang sama dialami oleh 30-an penarik becak yang menggantungkan hidup di Purwosari.

Namun, ia dan rekan-rekannya tak bisa berbuat apapun. Kebijakan pembangunan adalah kebijakan pemerintah. Ia berprinsip, pekerjaan akan dilakukan seadanya.

“Yang bisa dilewati ya dilewati. Yang enggak bisa ya enggak usah dilewati,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya