SOLOPOS.COM - Muh. Fajar Shodiq (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Salah satu kearifan lokal yang masih lestari di lingkungan masyarajat berbudaya Jawa hingga kini adalah ruwahan. Bagi sebagian masyarakat Jawa, rangkaian ritual muslim Jawa dalam menyambut Ramadan dimulai dengan tradisi ruwahan yang biasanya dilakukan pada hari ke-10 menjelang puasa, bulan ke-8 dalam kalender Jawa, atau biasa disebut bulan Ruwah atau bulan Syakban dalam kalender Hijriah.

Semangat filantropi yang berbalut kearifan lokal ini sempat menghilang saat Ramadan tahun kemarin yang diakibatkan pandemi Covid-19 yang menghantam negeri ini. Hal ini disebabkan imbauan pemerintah untuk membatasi interaksi sosial dalam masyarakat, untuk mencegah masifnya penularan Covid-19.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam pandangan sosial, ruwahan memiliki makna komunalisme sosial yang erat hubungannya dengan interaksi sosial antarindividu yang berarti ruwahan memiliki arti bertemunya para ibu untuk rewangan pada saat membuat makanan untuk ruwahan. Rewangan, atau saling membantu tetangga saat ruwahan bisa dipastikan rentan menularkan virus bebahaya ini saat Ramadan tahun lalu.

Sebenarnya makna filantropi ruwahan memiliki nilai strategis sebagai arena berbagi pada masa sulit akibat pandemi Covid-19 dengan semangat kultural-religius, bahkan bisa dinilai sebagai ketahanan pangan menjelang Ramadan, sesuai arahan Gubernur Jawa Tengah mengenai aplikasi program Jaga Tangga di masyarakat.

Ekspedisi Mudik 2024

Pada tahun lalu masyarakat Jawa menjalani laku prihatin karena banyak ritual masyarakat yang berbalut keagamaan ditunda penyelenggaraannya. Tradisi ruwahan, menurut hemat saya, pada saat pandemi ini masih bisa dilaksanakan karena memiliki banyak nilai strategis positif bagi masyarakat yang tentu saja harus dilakukan dengan aman dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Sayang jika esensi filantropi, kebersamaan, interaksi sosial dengan filosofi pager mangkok menuju tercapainya ketahanan pangan menjelang Ramadan pada tahun kedua pandemi Covid-19 ini tidak diteruskan karena selain bernilai sedekah ruwahan ini mengingatkan pada Tuhan, mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan.

Nilai Strategis Ruwahan

Ruwahan berasal dari kata ruwah yang mengandung arti arwah (Geertz, 1998). Bulan ini diyakini bulan yang bagus untuk melaksanakan kegiatan spiritual yang berkaitan dengan leluhur. Ritual itu biasanya diawali dengan pembuatan makanan ruwahan, membersihkan kuburan, ritual kenduri, dan ziarah kubur kemudian diakhiri dengan ritual padusan atau mandi.

Tradisi ini diyakini merupakan akulturasi antara tradisi Hindu-Buddha dengan Jawa dan Islam. Sebagian masyarakat Jawa meyakini roh leluhur masih dapat memberi manfaat dan mudarat bagi yang masih hidup, kemudian diberi doa-doa secara islami dengan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Biasanya tradisi ini beriringan dengan tradisi slametan dan ziarah kubur.

Ruwahan tidak lepas dengan tradisi dalam ruang publik. Individu-individu dipertemukan dalam satu kepentingan, yakni tradisi dan agama. Kepentingan bersama yang diwujudkan dengan rewangan, yakni saling membantu memasak antartetangga, kemudian saling memberi makanan berbahan dasar sama, yaitu makanan berupa kolak, kue apam, dan ketan, Berbagai sajian lezat yang dibagikan kepada tetangga ini ternyata memang penuh filosofi.

Kolak dari kata kholaqo merupakan simbol untuk mengingatkan manusia kepada Sang Khaliq, Sang Pencipta alam semesta (Susanti, 2018). Kue apam berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf, yakni saling memberi atau menerima maaf sebelum Ramadan yang suci datang.

Sedangkan ketan yang berasal dari kata kraketan atau ngraketke yang berarti merekatkan ikatan adalah simbol eratnya persaudaraan dengan tetangga atau sesama manusia (Geertz, 1972). Filosofi kolak, apam, dan ketan memiliki nilai strategis yang luar biasa yang bisa diambil dalam perikehidupan manusia yang adiluhung.

Konsep memayu hayuning bawana mengandung dimensi karakter secara komprehensif dan spiritual pada masyarakat Jawa dalam menjaga harmonisasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan antarmanusia (Nugraha, 2018). Dari sini terlihat nilai filantropis, saling berbagi, kedermawanan atau sedekah mengemuka dalam  kegiatan ruwahan ini.

Masyarakat Jawa menerapkan konsep pager mangkok atau memagari property hak milik bukan dengan pagar tembok namun dengan pagar mangkok atau kedermawanan, salah satunya dengan memberikan makanan, yang disimbolkan dengan mangkok.

Ini merupakan ketahanan pangan. Masyarakat diharapkan saling peduli kepada tetangga yang membutuhkan, terutama dalam hal pangan. Pager mangkok ini ternyata efektif meski pada era modern kini ada banyak rumah yang memiliki kamera closed circuit television atau CCTV dalam menjaga keamanan rumah, namun melupakan CCTV tetangga yang lebih ampuh menangkal kejahatan dan menjaga keamanan  lingkungan.

Hingga mengemuka kesimpulan nilai strategis keamanan dan kenyamanan antarwarga didapatkan dari tradisi ini. Keharmonisan antartetangga dan masyarakat bisa terbentuk saat mereka saling berbagi, hidup rukun, minim keributan, dan tidak afa disintegrasi atau perpecahanan.

Humanisme

Pada dasarnya kearifan lokal yang memiliki makna kultural-relegius mampu membangun toleransi dan humanisme. Prinsipnya adalah melestarikan tradisi lama yang baik dan meletakkannya pada tatanan modernitas yang lebih baik (Nada, 2019).

Hal ini termasuk dalam konsep filantropi ruwahan yang masih relevan sebagai sarana berbagi kepada tetangga, masyarakat sekitar, khususnya menjelang bulan suci Ramadan. Implementasi ajaran Islam murni kini semakin berkembang dan  nyatanya tak sepenuhnya menghilangkan tradisi Jawa berbalut nuansa islami yang ada lebih dulu.

ErapPandemi Covid-19 seperti sekarang ini mencegah masyarakat kekurangan pangan dengan menumbuhkan dan mengedepankan solidaritas masyarakat untuk berbagi, bersedekah kepada tetangga kanan-kiri seperti konsep Jaga Tangga yang digaungkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, memang mendesak dilakukan.

Masyarakat jangan hanya tergantung kepada pemerintah dalam mengatasi bencana kemanusiaan ini, namun harus mampu mandiri dan bersinergi  dalam menghadapi berbagai krisis yang menimpa akibat pandemi. Krisi situ mulai dari krisis pangan karena banyak pemutusan hubungan kerja, krisis sosial, krisis keamanan, dan krisis kesehatan.

Ketika masyarakat tidak kelaparan maka keamanan dan kondisi sosial akan stabil, tidak terjadi chaos atau kejadiank kriminal. Salah satu cara dengan saling berbagi, memperhatikan tetangga kanan kiri. Konsep filantropi ruwahan masih relevan untuk menyadarkan masyarakat agar saling membantu pada masa sulit. Tentu lebih baik dikembangkan bukan hanya sebentuk pemberian makanan penuh makna simbolis seperti kolak, apam, dan ketan semata.

Menurut hemat saya, sedekah menjelang bulan puasa lebih utama dengan sedekah yang baik. Sebagai contoh, selain memberikan makanan ruwahan kepada para tetangga, bisa ditambah dengan paket bahan pokok kebutuhan sehari-hari yang bermanfaat.

Dari sini akan terlihat kearifan lokal berpadu dengan perintah agama dalam hal sedekah yang bisa diadopsi dengan maksimal pada momentum yang tepat, yakni berbagi pada bulan Syakban yang pada akhirnya akan menimbulkan ketahan pangan menjelang Ramadan.



 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya