SOLOPOS.COM - Peserta menggunakan kostum dan membawa payung mengikuti arak-arakan payung pada Festival Payung Indonesia 2017 di Pamedan Mangkunegaran, Solo, Jumat (15/9/2017). (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Festival Payung Indonesia 2017 dilaksanakan di Pura Mangkunegaran hingga Minggu (17/9/2017).

Solopos.com, SOLO — Parade Sepayung Indonesia yang dimulai dari Pasar Triwindu menuju Pura Mangkunegaran Solo, Jumat (15/9/2017), menjadi penanda dibukanya Festival Payung Indonesia (FPI) 2017. Ingar bingar kegembiraan terlihat dari wajah para peserta pawai dan pengunjung yang sebelumnya asyik berswafoto.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Warna warni payung bermotif batik seperti kawung, parang, dan lurik, turut memeriahkan acara pembuka yang berakhir dengan fashion show di area Pendapa Pura Mangkunegaran.

Pengembangan fungsi payung dari pelindung menjadi penghias sebuah festival ini bukanlah kali pertama. Gegap gempita acara adat di Nanggala, Toraja Utara pada 1972, juga didukung beberapa varian payung sebagai hiasan utama. Jauh sebelumnya para perempuan Bali membawa payung fantasi saat menggelar upacara adat di tempat mereka pada 1917.

Cerita tentang payung zaman kolonial Belanda tersebut disimpan dalam dokumentasi foto di Tropen Museum, Amsterdam, yang juga dipamerkan dalam acara FPI. Pameran bertajuk Tempo Doeloe tersebut juga menyuguhkan cerita tentang payung-payung tradisi era 1900-an yang juga digunakan para pejabat.

Gubernur Lampung pada 1921 Dirk Fock dinaungi payung kertas berbentuk bulat datar saat mengunjungi tanah Transmigrasi masyarakat Jawa di Lampung, Sumatra Selatan. Payung di daerah Kesultanan Sumbawa bahkan dijadikan sebagai simbol kekuasaan.

Pengunjung berswafoto di area instalasi payung saat Festival Payung Indonesia 2017 di Pamedan Pura Mangkunegaran, Solo, Jumat (15/9/2017). (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Pengunjung berswafoto di area instalasi payung saat Festival Payung Indonesia 2017 di Pamedan Pura Mangkunegaran, Solo, Jumat (15/9/2017). (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Dokumentasi A. Kurnia Sanjaya memperlihatkan sebuah payung yang menaungi Sultan Muhammad Kaharuddin IV saat melaksanakan prosesi pengangkatannya sebagai Sultan Sumbawa ke-17 pada 5 April 2011. Payung yang selalu dibawa saat acara Kesultanan Sumbawa tersebut bernama Sarpedang, diperkirakan sudah ada sejak 1600.

Begitu juga dengan Solo, maskot FPI, Putri KGPAA Mangkunagara IX Gusti Raden Ajeng Ancillasura Marina Sudjiwo, Jumat (8/9/2017), mengatakan di Pura Mangkunegaran payung termasuk salah satu benda sakral yang biasa digunakan untuk pelengkap upacara-upacara tradisi.

“Payung selain pelindung juga menjadi salah satu pusaka. Ini bagian dari sejarah dan kebudayaan yang harus kita pelajari,” kata dia.

Salah satu daerah pengrajin payung yang terkenal adalah Tasikmalaya. Aktivitas pengrajin pada 1930 juga dipamerkan dalam acara tersebut. Tak hanya itu, bukti sejarah payung zaman dulu juga tersimpan dalam panil relief di beberapa Candi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dipotret oleh Arief Budi Santono.

Maestro Tari

Acara yang dibuka secara resmi Jumat malam ini juga dimeriahkan ratusan instalasi payung kreasi dari berbagai daerah. Ditambah 127
payung rajut dan 29 karya para perupa Nusantara. Hari terakhir FPI, Minggu (17/9/2017), panitia menghadirkan enam maestro tari Dariah Banyumas, Ayu Bulantrisna Djelantik Bali, Rusini Solo, Retno Maruti Jakarta, Didik Nono Thowok Yogyakarta, dan Munasiah Daeng Jinne Makassar.

“Acara festival payung ini cukup ramai. Saya sudah pernah ke acara ini sampai dua kali. Pertama di Taman Balekambang dulu. Meski enggak sebesar di Thailand cukup menarik untuk wisatawan. Kami jadi tahu ragam budaya di Indonesia,” kata salah satu pengunjung asal Thailand Sirikanda Sakulpimolrat.

Inisiator FPI Heru Prasetyo yang akrab disapa Heru Mataya, Kepala Dinas Kebudayaan Basuki Anggoro Hexa, Deputi Pengembangan Bidang Pariwisata Kementerian Pariwisata Esthy Reko Astuty, Gusti Puteri Mangkunagara IX, serta perwakilan Thailand membuka FPI 2017 secara simbolis dengan memutar payung berdiameter 50 sentimeter di Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran.

Esthy dalam sambutannya mengapresiasi konsistensi Heru yang menyelenggarakan FPI hingga tahun keempat. Seusai dengan misi Sepayung Indonesia yang berarti keberagaman dan kekayaan, ia berharap acara ini semakin menambah daya tarik Indonesia. Dampak lain dari acara ini tak hanya di bidang pariwisata tetapi juga mengangkat perekonomian masyarakat.

“Seperti yang dikatakan Gusti Puteri Mangkunagara IX tadi, payung makna filosofinya sangat dalam. Kita lahir sampai mati memerlukan payung. Terima kasih perwakilan daerah lain yang meramaikan acara hari ini. Semoga  tahun depan semakin banyak yang terlibat. Dari luar negeri tak hanya Thailand tetapi negara negara Asia lainnya seperti Tiongkok, Korea hingga menjadi festival internasional,” kata dia.

Euforia malam pembukaan kemudian dilanjutkam dengan  beragam tari payung. Di antaranya Tari Srimpi Moncar dari Kematren Langenprojo Pura Mangkunegaran, Rentak Sepayung Balariung Seni dari Sri Gemala Kepulauan Riau, serta pentas Payung Fantasi Cinta Indonesia feat Fashionoleh desainer Uzi Fauziah bersama BSO. Sejak sore ribuan pengunjung padati malam pembukaan FPI 2017 di Pura Mangkunegaran. Mereka memenuhi lapangan pamedan hingga area Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya