SOLOPOS.COM - Irfan Sutikno (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Sebagaimana termuat dalam kolom Opini Harian Solopos edisi 21 November 2022, bahwa lomba desain ulang logo Solo The Spirit of Java seolah-olah menjadi lonceng yang mengabarkan bakal tiba waktunya era baru citra Kota Solo.

Itu adalah pembangunan citra Kota Solo yang lebih terkonsep, modern, didukung birokrasi yang gesit, dan partisipasi publik yang kreatif. Tentu saja dalam setiap perubahan pasti memunculkan dinamika.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Setiap perubahan tak bisa membahagiakan semua orang. Begitu finalis lomba desain tersebut dirilis kepada publik, beragam tanggapan muncul, baik yang menyambut gembira maupun yang masih belum legawa dan belum memahami kenapa logo lama diganti.

Ada yang menyebut desain baru logo Solo The Spirit of Java sama sekali tak memiliki karakteristik Kota Solo sebagai kota budaya, kombinasi logogram dan logotype terasa aneh, babar blas tak mewakili apa pun, apalagi muatan filosofi, histori, estetika, dan lainya, terkesan dipaksakan.

Begitu ujar seorang kawan saya di Jakarta. Menurut dia, logo lama sudah kuat dan cocok sebagai pembangun citra Kota Solo. Sebaiknya tidak usah diganti, tinggal dideformasi dan didistilasi sedikit akan lebih manis

Kalangan yang menyambut gembira logo baru juga banyak. Menurut mereka, pergantian logo adalah lompatan visual sebagai pembangunan citra kota dengan citra yang menggembirakan, sumeh, sabar, semanak.

Berdasar kesatuan desainnya tampak pesan kolaborasi yang menonjol, saatnya Kota Solo tampil simpel dan tidak berkesan berat. Beragam tanggapan tersebut menjadi bukti bahwa kota ini dicintai warganya yang peduli, merasa memiliki, dan selalu ingin berkontribusi, bukan warga yang pasif dan tidak peduli.

Dalam situasi seperti ini memang harus dikembalikan kepada pegangan agenda ke depan, apa tujuan city branding, kenapa logo lama diganti, dan kenapa logo baru yang menggantikanya dengan pola pendekatan progresif seperti itu.

Substansi pembangunan citra kota atau city branding adalah untuk meningkatkan daya saing wilayah, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui trade, tourism, dan investment.

Artinya dengan sadar kita akan berkomunikasi dengan orang luar agar mereka mempersepsikan dengan baik dan terdorong untuk hadir di kota ini dengan tujuan perdagangan, pariwisata, atau investasi.

Siapa dan di mana target komunikasi akan sanggat berpengaruh pada bagaimana cara dan gaya komunikasi itu. Bahwa Kota Solo harus memperkuat karakter lokalitas agar punya kekuatan di hadapan masyarakat global memang keniscayaan.

Dalam tuntutan demikian, cara berkomunikasi tetap harus memperhatikan cara dan gaya mereka sebagai target atau sasaran yang dibidik, bukan sekadar memuaskan domain lokal atau internal.

Kolaborasi

Gaya dan model komunikasi harus catching engagement yang relevan dengan target yang lebih luas dan heterogen. Lantas kenapa logo lama diganti? Apakah secara visual sudah tidak layak tampil dan bersanding dengan logo dan citra kota lain?

Bukan itu persoalanya. Secara visual logo tersebut masih layak tampil dan bersanding dengan logo dan citra kota-kota lain, hanya saja sejak PT Solo Raya Promosi yang mestinya menjadi pengasuh dan pengawal brand tersebut tidak aktif, praktis logo Solo The Spirit of Java yang diluncurkan pada 2006 tersebut seolah-olah kehilangan induk semang.

Logo tersebut seakan-akan tanpa ada yang mengasuh, menjadi terbengkalai, dan berangsur-angsur luntur kekuatan magisnya sebagai sumber energi pendorong aktivitas masyarakat.

Diperlukan momentum baru untuk menumbuhkan kembali kegairahan masyarakat serta menggugah memori kolektif publik terhadap kota yang kaya ragam kulinernya tersebut.

Itulah salah satu alasan kenapa diadakan lomba. Sementara bagi Mas Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang berlatar pengusaha muda kekinian, bisa saja strategi ini berdasar argumentasi yang lebih mendasar, agar logo baru Solo The Spirit of Java punya daya ungkit yang lebih baik di kancah global pada saat ini dan beberapa waktu ke depan.

Pertanyaanya, apakah lantas harus meninggalkan nilai-nilai budaya sebagai roh Kota Solo sebagai kota budaya? Tentu saja Andrea Isa dari Pikir Mikir Design Studio Bandung sebagai kreator logo pemenang tak segegabah itu.

Justru ia menempatkan nilai-nilai tersebut pada level yang lebih tinggi, yakni esensi yang lebih global. Bukan sekadar menempelkan ciri khas budaya, tapi harus lebih dari itu, yakni local value with global approach, termasuk masyarakat Indonesia yang ada di luar Kota Solo.

Intinya pembangunan citra yang berpotensi dan layak mengglobal, tidak terkungkung koridor konsumen lokal semata. Fenomena yang terjadi, kebanyakan terjebak dengan “tempelan”, kurang melihat esensi.

Ini bagian strategis untuk memulai membangun cara berkomunikasi. Bahwa Indonesia tidak sekadar Bali. Harus mulai melihat dengan kacamata global dengan pesan-pesan yang inklusif, mudah dicerna, memberikan efek impresi yang cepat, tapi menimbulkan kesan mendalam.

Membayangkan logo Kota Solo muncul di Bandara Doha. Qatar, atau di Korea Selatan tentu menjadi wahana menawarkan senyum keramahan Kota Solo untuk mereka. Senyum tidak sesederhana keramahan sebagai aset pariwisata Kota Solo. Keramahan sebagai aset membangun kolaborasi.

Ramah itu bukan remeh. Keramahan membuka tali silaturahmi, membuka pintu rezeki, membuka pintu kolaborasi dan kemajuan. Dari sini jelas bahwa citra tak sekadar indahnya logo maupun kata-kata dalam tagline. Inilah era baru citra Kota Solo sebagai kota kolaborasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Desember 2022. Penulis adalah pemerhati pembangunan citra Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya