SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak sekolah. (Reuters)

Solopos.com, JAKARTA -- Setelah rencana menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada sejumlah komoditas sembako yang bikin geger, ternyata pemerintah ingin melakukan hal sayang untuk jasa pendidikan.

Rencana in tertuang dalam darf Rancangan UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Promosi Wow! 99% Total Transaksi BRI Dilakukan Secara Digital

Rencana ini mendapat pertentangan dari banyak pihak. Salah satunya Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) yang menilai pemerintah bertindak paradoks jika memajaki sekolah, dari SD hingga SMA.

Mengutip detik.com, Kamis (10/6/2021), rencana pemungutan PPN dalam jasa pendidikan tertuang dalam Pasal 4A. Pasal tersebut menghapus jasa pendidikan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN. Begini bunyi pasalnya:

Baca Juga: Solopos Hari Ini: Sembako Kena Pajak

(Draf):

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. dihapus;
b. dihapus;
c. dihapus;
d. dihapus;
e. dihapus;
f. jasa keagamaan, meliputi jasa yang diberikan oleh penceramah agama atau pengkhotbah dan kegiatan pelayanan ibadah keagamaan yang diselenggarakan rumah ibadah;
g. dihapus;

Padahal, dalam UU yang masih berlaku, jasa pendidikan masih bebas PPN.

(UU yang sedang berlaku)

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;

Baca Juga: Yang Kaya Diampuni, Sembako Dipajaki

Adapun jasa pendidikan yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan PMK 011 Tahun 2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Seperti PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga bimbel.

Jasa Angkutan Juga Dipajaki

Selain jasa pendidikan, jasa tenaga kerja dan jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri juga bakal dikenai PPN.

Sebelumnya, draf RUU KUP ini juga menuai kritik. Salah satunya datang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP sangat tidak setuju dengan rencana tersebut.

"Itu kan baru draf di RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Makanya sebelum draf RUU diajukan ke DPR, sebaiknya dirapikan dulu mengingat hal tersebut memberatkan masyarakat. Ini juga mengesankan pemerintah tidak ada cara lain untuk menggenjot di sektor pajak," kata Sekretaris Fraksi PPP DPR, Achmad Baidowi atau Awiek, Kamis (10/6/2021).

Baca Juga: Jateng Berlakukan Pemutihan Denda Pajak Kendaraan Bareng 7 Provinsi

Anggota Komisi VI DPR itu menyebut pandemi Covid-19 membuat ekonomi masyarakat lesu. Rencana PPN 12%, ditegaskan Awiek, bukan membantu stimulus ekonomi, tetapi malah menjerat rakyat.

"Terlebih saat ini era pandemi, ekonomi lagi lesu. Masyarakat mengalami kesusahan dalam penghasilan. Sejauh ini, untuk pemulihan ekonomi memang harus merangsang stimulus. Karena kalau di era pandemi diberlakukan kenaikan PPN, dikhawatirkan tidak tepat karena bukan menjadi stimulus, (tapi) malah menjerat," katanya.

Padangan serupa disampaikan Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G). Koordinator P2G, Satriawan Salim, menduga bahwa jasa pendidikan yang dimaksud dalam draf RUU No 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ialah pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal contohnya seperti jasa bimbingan belajar.

"Yang dipajaki lembaga pendidikan di luar lembaga pendidikan sekolah formal seperti PAUD, SD, SMA/SMK/MA. Adapun yang dipajaki ini lembaga pendidikan nonformal, dugaan saya lembaga nonformal ini seperti lembaga bimbel/les yang memberikan pelayanan pendidikan," kata Satriawan Salim saat dihubungi, Kamis (10/6/2021).

Baca Juga: Siap-Siap, Orang Kaya bakal Kena Pajak Mewah Berkisar 15% hingga 25%

Kontradiktif

Akan sangat kontradiktif apabila lembaga pendidikan formal seperti SD hingga SMA dikenai PPN karena lembaga ini merupakan tanggung jawab negara. Aturan ini tertuang dalam UUD 1945.

"SD, SMP itu kan dananya juga dari perintah. Yang swasta juga demikian. Kan ada dana BOS. Tidak mungkin memajaki SD, SMP, SMA. Karena itu tanggung jawab negara. Ada dalam Pasal 31 UUD 1945," ujarnya.

Kendati demikian, Satriawan menilai memajaki lembaga yang bergerak di jasa pendidikan ini juga tak pantas. Sebab, lembaga tersebut juga bergerak untuk memajukan kehidupan bangsa lewat pendidikan.



"Bagi saya memajaki pendidikan nonformal pun dipajaki juga tidak pantas, karena lembaga pendidikan nonformal pun juga memberikan jasa pendidikan juga buat orang tua untuk memajukan kehidupan bangsa," tuturnya.

Lantas, jika yang dimaksud jasa pendidikan ini juga termasuk sekolah formal, dia menilai pemerintah bertindak paradoks. "Jika ini benar, jadi pemerintah bertindak paradoks," ujarnya.

Saat ini pihaknya masih mencermati draf RUU ini. Dia khawatir munculnya klausul komersialisasi pendidikan di UU Cipta Kerja muncul lagi.

"Kita masih mencermati, khawatirnya nanti seperti UU Cipta Kerja yang ada klausul komersialisasi pendidikan," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya