SOLOPOS.COM - Obrolan Refleksi 56 Tahun Banjir Bandang Solo di Taman Jogo Kali, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres, saat, Selasa (15/3/2022). (Solopos/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SOLO — Mantan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo menjadi salah satu saksi hidup kedahsyatan banjir besar yang merendam hampir seluruh wilayah Kota Bengawan pada 16-18 Maret 1966 lalu.

Saat itu, Rudy, sapaan akrabnya, masih berusia delapan tahun dan mendiami rumah di Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari. Jarak rumah Rudy dengan mulut Kali Pepe sekitar 209 meter.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Banjir yang merendam rumahnya membuat Rudy mengungsi ke Rumah Sakit Kadipiro yang kini merupakan bangunan mangkrak. Ia mengisahkan kondisi Solo yang mengalami porak poranda akibat bencana banjir besar tersebut.

Baca Juga: Ngerinya Banjir Besar di Solo Maret 1966, Puluhan Nyawa Melayang

“Tanggul jebol langsung masuk ke rumah sehingga tak sempat menyelamatkan barang. Pasar Legi, Pasar Gede hanyut karena tak ada persiapan menyelamatkan barang yang dimiliki. [Banjir] 1966 itu tergiang-giang sampai hari ini,” kata Rudy dalam acara Obrolan Refleksi 56 Tahun Banjir Bandang Solo di Taman Jogo Kali, Kelurahan Pucangsawit, Jebres, Selasa (15/3/2022).

Menurut Rudy, kondisi tanggul dari tanah kondisinya retak-retak. Air hujan masuk membuat tanggul longsor atau erosi. Belum ada Waduk Gajah Mungkur dan kondisi infrastruktur sungai belum sebaik sekarang.

Rudy mengatakan banjir bandang sebelumnya juga terjadi di Kota Solo pada 1918. Namun pada waktu itu masih lebih banyak ruang penampung atau daerah resapan air hujan dibandingkan 1966.

Baca Juga: Telan 155 Korban Jiwa, Begini Kedahsyatan Banjir di Soloraya pada 1966

Butuh Sepekan Bersihkan Sedimen

“Kelumpuhan ekonomi harus bersih-bersih yang dilakukan tidak seperti sekarang ini. Sekarang pakai pemadam kebakaran selesai. Dulu [pembersihan] sedimen sepekan enggak selesai,” jelasnya.

Sementara itu, penulis skripsi Banjir Bengawan Solo Tahun 1966: Dampak dan Respons Masyarakat Kota Solo dari Jurusan Ilmu Sejarah UNS Solo tahun 2009, Ridho Taqobalallah, mengatakan Solo diguyur hujan deras pada 15 Maret 1966 sekitar pukul 23.00 WIB.

Sejumlah pintu air jebol, antara lain pintu air Kusuma Dilagan, Semanggi, Demangan, dan pintu air Cengklik. Ulah manusia menjadi salah satu faktor kondisi banjir menjadi parah, yakni dengan memakai aliran sungai menjadi lokasi hunian. Ada sejumlah wilayah yang paling parah, antara lain Kelurahan Joyotakan.

Baca Juga: Ngeri! Banjir Bandang 16 Maret 1966 Nyaris Tenggelamkan Seluruh Wilayah Solo

Menurutnya, pemerintah pusat menetapkan banjir besar di Solo tahun 1966 menjadi bencana nasional. Pemerintah bergerak melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) membersihkan jalan, fasilitas umum, dan membangun tanggul.

“Gotong royong, masyarakat bergotong-royong, setiap kelurahan kirim 100 orang membantu, material, tenaga, sesuai kemampuan mereka,” paparnya.

Selain Rudy dan Ridho, acara yang digelar Solopos Media Group (SMG) dihadiri pula oleh Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA) Bengawan Solo, R Panji Satrio.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya