SOLOPOS.COM - Iwan menggambar pola tas kulit sapi merek Jasun miliknya di rumahnya di Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih, Kulonprogo, Rabu (2/3/2016). Ia biasanya memproduksi tas tersebut dengan bantuan istri. (Sekar Langit Nariswari/JIBI/Harian Jogja)

Ekonomi kreatif berikut mengenai kerajinan kulit sapi.

Harianjogja.com, KULONPROGO-Meski seringkali mendapatkan pesanan tas yang diadopsi dari model-model tas bermerek ternama, Iwan tak mau menconteknya mentah-mentah. Pasalnya, ia sadar betapa pentingnya hak cipta akan model yang didesain oleh si empunya merek.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Iwan memulai usaha kerajinan kulit sapinya dari hasil kumpulan amplop pernikahannya pada 2010. Berbekal uang Rp2,5 juta, ia menggerakkan nasibnya untuk tak lagi sekadar menjadi buruh pabrik tas. Uang tersebut ia belikan mesin jahit bekas seharga Rp1,8 juta dan sisanya dihabiskan untuk membeli kulit sintetis sebagai bahan baku tas yang akan diproduksi. Belum ada satu pun pesanan kala ia memulai usahanya. Hanya bermodal nekat untuk menaikkan taraf hidup, Iwan mantap memulai usaha. Hingga kemudian ia mendapatkan pesanan dari promosi tetangga-tetangganya.

Kabar tersiar dan peminat produknya makin meluas, tetapi seringkali Iwan sulit dihubungi. Apa pasal? Ternyata Iwan yang saat itu masih tinggal di rumah mertua di Kecamatan Girimulyo sulit mendapatkan sinyal seluler.

“Saya harus memanjat pohon jika terima telepon,” ujarnya sembari menggambar pola di atas kulit sapi, Rabu (2/3/2016).

Kemudian ia pindah ke rumah saudara sang istri sembari menjaga kandang sapi sang pemilik rumah. Rumah yang terletak di Dusun Pengasih, Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih inilah yang kemudian ia tempati bersama sang istri hingga memiliki seorang putra. Letaknya yang lebih dekat ke pusat kabupaten memudahkannya membeli bahan baku. Selain itu, yang terpenting adalah ia mudah menerima telepon dan memiliki akses ke pemerintahan yang memberinya kesempatan untuk mempromosikan produknya.

Karyanya paling banyak dibeli dan dipromosikan melalui pameran-pameran yang diadakan oleh pemerintah. Meski demikian, ia juga memiliki akun media sosial guna menyebarluaskan merek kerajinan kulitnya. Kerajinannya juga selalu dilabeli dengan merek Jasun sebagai penanda kepemilikannya. Jasun, akronim dari kata Jawa-Sunda yang terinpirasi suku bangsa ia dan sang istri, Wahyuni Sukarti yang setia menemani semua prosesnya.

Meski memiliki model-model yang dirancang sendiri, Iwan juga melayani apabila ada pembeli yang ingin memesan model tersendiri. Umumnya, pembeli datang dengan membawa gambar model tas yang diinginkan. Namun, ia selalu menolak memproduksi tas dengan model yang persis sama sebagaimana di gambar. Sebab ia khawatir jika model tersebut memiliki hak cipta, apalagi umumnya gambar yang dibawa merupakan model tas dengan merek-merek besar.

Kekhawatiran itu membuat pikirannya tidak tenang karena merasa telah mengambil desain si pemilik merek.

“Batin kan tidak bisa dibohongi,” ujar pria yang mulai belajar menjahit tas sejak bekerja sebagai buruh ini.

Karena itu, ia selalu memberitahukan kepada si pemesan bahwa ia menolak jika harus membuat tas yang persis sama. Entah bagaimana, ia akan memberi sentuhan tersendiri, paling tidak sedikit, untuk tas yang dipesan itu.

Apabila tidak setuju, Iwan juga tidak berkeberatan jika si pemesan  membatalkan orderannya. Ia berkisah bahwa pernah datang seorang wanita yang datang membawa gambar tas merek terkenal asal Prancis dan ingin dibuatkan sampel tas yang persis sama seperti itu. Wanita tersebut meminta agar permintaan dan desain yang ia minta dirahasiakan. Karena mencurigakan, akhirnya Iwan menolak permintaan tersebut.

Selain kasus di atas, ia nyaris tak pernah menolak permintaan order tas kulit. Namun, kadang beberapa peminat tas harus bersabar menunggu. Semuanya ia kerjakan sendiri bersama sang istri sehingga waktu produksi yang dibutuhkan untuk mengerjakan sebuah tas belum bisa cepat. Mulai dari proses menggambar pola hingga tahap akhir, Iwan hanya mampu membuat dua tas per hari. Jelas bukan sistem yang efisien untuk memenuhi pesananan tas yang membeludak sewaktu-waktu.

Selama hampir lima tahun, ia sudah memproduksi sekitar 80 jenis tas yang dihargai berkisar Rp250.000 sampai Rp600.000 per buah. Harga ini bisa lebih murah apabila tas tersebut akan dijual kembali.

“Bisa dikorting sedikit lagi,” ujarnya sembari tersenyum.

Harga tidak bisa dikurangi meski tas dibeli dalam jumlah yang banyak dan dengan model yang sejenis. Pasalnya, tas kulit membutuhkan penanganan satu per satu sehingga tidak bisa dihargai secara kodian.

Kini, tas buatan Iwan sudah semakin diminati hingga ke berbagai kalangan. Selain pesanan yang datang dari penjuru Indonesia, ia baru saja mendapatkan pesanaan 100 pembatas buku dari kulit untuk Kedutaan Indonesia di Rusia.

“Baru saja dihubungi, sudah sepakat tapi kami masih menunggu detail produknya,” ujar Yuni, sang istri.

Meski mengaku usahanya sudah bisa menghidupi keluarganya, pasangan suami istri ini masih berusaha menabung untuk membeli mesin jahit khusus benang besar yang akan lebih memudahkan proses produksi mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya