SOLOPOS.COM - Gamelan Sekaten Kyai Guntur madu pertama kali ditabuh di bangsal Pradonggo Mesjid Agung Solo, Sabtu (2/11/2019). (Solopos-Sunaryo HB)

Solopos.com, SOLO — Salah satu ritual yang wajib ada dalam tradisi Sekaten di Keraton Solo adalah menabuh gamelan selama sepekan mulai tanggal 5 bulan Rabiul Awal hingga 12 Rabiul Awal kalender Jawa.

Sebagaimana diketahui, saat ini sedang berlangsung Pasar Malam Sekaten di Alun-alun Utara (Alut) dan Alun-alun Kidul (Alkid) Keraton Solo. Pasar malam untuk memeriahkan tradisi Sekaten itu dibuka pada Jumat (16/9/2022) hingga Minggu (16/10/2022) atau kurang lebih sebulan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rencananya, Keraton Solo juga akan menggelar dua ritual wajib yakni tabuh gamelan dan Grebeg Maulud. Hanya untuk tanggalnya hingga kini belum diputuskan.

Dalam ritual tabuh gamelan Sekaten, nanti ada dua set gamelan yang dibawa dari Keraton Solo menuju Bangsal Pradangga atau Pagongan Masjid Agung Solo. Di lokasi itu kedua gamelan akan ditabuh nonstop selama tujuh hari enam malam.

Ekspedisi Mudik 2024

Berdasarkan informasi yang dihimpun Solopos.com, dua gamelan itu masing-masing bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Kundharu Saddhono dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dalam kajian dan penelitian tentang Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta menyebutkan asal usul kedua gamelan tersebut.

Baca Juga: Tak Hanya Pasar Malam, Grebeg Maulud juga Digelar di Sekaten Keraton Solo

Disebutkan bahwa gamelan Kyai Guntur Sari merupakan peninggalan Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raja Mataram). Sedangkan gamelan Kyai Guntur Madu merupakan peninggalan Paku Buwono (PB) IV.

Sarana Syiar Islam

Munculnya dua gamelan itu sebagai bagian tradisi Sekaten Solo tidak lepas dari fenomena penyebaran ajaran Islam di Jawa dan Nusantara pada era Wali Sanga. Mereka menggunakan musik gamelan yang menjadi hiburan masyarakat kala itu sebagai sarana agar ajaran Islam lebih mudah diterima masyarakat.

Dalam perayaan Sekaten, prosesi tabuh gamelan diawali dengan membawa dua set gamelan, Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu, ke Bangsal Pradangga atau Pagongan kompleks Masjid Agung Solo.

Bangsal ini terletak simetris di sisi selatan dan utara halaman Masjid Agung. Gamelan Kyai Guntur Madu diletakkan di bangsal sisi selatan melambangkan syahadat tauhid dan Kyai Guntur Sari di bangsal utara melambangkan syahadat rasul.

Baca Juga: Membaca Arti Simbol-Simbol Gunungan Jaler-Estri di Grebeg Maulud Sekaten Solo

Gamelan mulai ditabuh pada tanggal 5 Rabiul Awal setelah ada perintah dari Keraton Solo. Biasanya siang atau setelah waktu Asar. Saat gamelan ditabuh untuk kali pertama ini merupakan saat yang ditunggu-tunggu banyak orang.

Berdasarkan kepercayaan yang berkembang kala itu mereka yang mendengarkan gending gamelan Sekaten sambil nginang (menguyah kinang/daun sirih) akan awet muda. Ritual tabuh gamelan akan berakhir pada 12 Rabiul Awal yang merupakan tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Grebeg Maulud

Pada hari itu juga Keraton Solo mengadakan Grebeg Maulud dengan mengarak sepasang gunungan, jaler dan estri, dari kompleks Keraton menuju Masjid Agung. Sesampai di Masjid Agung sepasang gunungan itu akan didoakan.

Setelah itu gunungan dibawa keluar dan menjadi rebutan masyarakat yamg telah menunggu. Sebagian masyarakat masih percaya gunungan itu membawa berkah.

Baca Juga: Tak Sekadar Perayaan, Ini Arti Mendalam Tradisi Sekaten Keraton Solo

Pada perayaan Sekaten di Keraton Solo tahun 2019 atau sebelum pandemi, gamelan ditabuh mulai 2 November 2019 sekitar pukul 14.00 WIB. Tafsir Anom Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KRT Muhtarom, mengatakan Gamelan Kyai Guntur Sari diletakkan di pagongan selatan dan Kyai Guntur Madu di pagongan utara.

“Tradisi ini berawal dari inisiasi para Wali Sanga saat berdakwah di Tanah Jawa. Ketika mereka berdakwah menggunakan cara konvensional, penyebaran Islam kurang signifikan. Sehingga beliau mencoba akulturasi budaya agar masyarakat bisa menerima. Jadi penyebaran Islam menggunakan berbagai jalur, yakni politik, sosial, dan budaya,” kata dia saat itu.

Istilah Sekaten berasal dari syahadatain atau dua kalimat syahadat. Wali Sanga menggunakan gamelan, salah satu alat musik tradisional Jawa untuk menarik masyarakat. Gamelan yang dimainkan di Halaman Siti Hinggil dan Masjid Agung kala itu boleh dinikmati oleh seluruh masyarakat. Namun, mereka wajib mengucapkan syahadat sebagai tiket masuk pertunjukan gamelan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya