SOLOPOS.COM - Ilustrasi (ki-demang.com)

Diskusi budaya Solo kali ini membahas Serat Centhini dengan gaya berbeda.

Solopos.com, SOLOSerat Centhini yang dulu dianggap sakral, sebenarnya bisa dibawa ke zaman modern. Seperti yang dilakukan sebuah kelompok seniman dari Jogja dengan mengambil bagian tembang dalam Serat Centhini untuk syair dalam musik hip hop yang dipadu dengan lagu Lingsir Wengi.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Tak hanya itu, beberapa tembang dalam Serat Centhini juga pernah dipentaskan seniman Solo, Slamet Gundono. Saat itu, ia merefleksikan pergulatan batin Cebolang, salah satu tokoh dalam Serat Centhini yang merupakan seorang anak muda untuk mencari jati dirinya. Pertunjukan itu pun diberi nama Wayang Kondom.

Dua hal itu muncul dalam bedah buku Centhini-Kekasih Yang Tersembunyi karangan Elizabeth D. Inandiak, sastrawan dari Perancis yang lama tinggal di Indonesia pada Agustus lalu. Diskusi tersebut diadakan di Balai Soedjatmoko, Sabtu (19/9/2015) malam.

Serat Centhini yang merupakan ensiklopedi Jawa itu sebenarnya sangat modern. Tidak hanya mengungkap kehidupan masyarakat Jawa di masa lalu. Serat tersebut juga bisa merefleksikan kehidupan masyarakat saat ini,” kata Elizabeth saat menjelaskan karyanya.

Dari buku terbarunya itu, ia ingin mengajak masyarakat untuk mencintai dan mempelajari karya sastra di Indonesia. “Karya sastra jangan hanya menjadi pajangan di perpustakaan. Sebaiknya masyarakat membacanya karena banyak nilai moral yang tersimpan dalam sebuah karya sastra,” ujarnya.

Sementara, Dosen Program Studi Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja, Dr. Junanah, MIS, mengatakan cerita Cebolang di dalam Serat Centhini seperti cerita Abu Nawas dalam sastra Arab. Ketika muda, Cebolang tidak ingin diatur karena ingin mencari jati diri. Lalu, pada masa tua Cebolang kembali ke jalan Tuhan dan menyesali semua kesalahannya di masa muda.

“Dari cerita Cebolang, ada sebuah pesan yang bisa diambil. Seseorang yang banyak bertingkah sebenarnya cerdas, hanya salah langkah. Itu seperti anak muda saat ini. Jadi, orang tua sebaiknya jangan menghalangi anak muda dalam berkreativitas. Meskipun menerapkan aturan, jangan kaku karena berakibat pada psikologi anak,” katanya yang juga menjadi narasumber dalam bedah buku itu.

Ia yang merupakan Peneliti Kata Serapan Arab dalam Serat Centhini itu, menambahkan cerita dalam karya sastra tersebut banyak menggambarkan budaya kehidupan masyarakat Jawa sehingga banyak hikmah yang bisa diserap. “Hidup itu sebuah proses sehingga jangan sekali-kali menghakimi seseorang seakan-akan menjadi orang yang paling benar,” tuturnya.

Di sisi lain, dua anak muda yang telah membaca Centhini – Kekasih Yang Tersembunyi memiliki pemahaman yang berbeda tentang buku itu. “Buku ini enak dibaca seperti novel sehingga mudah dipahami. Saya pernah mencoba menerjemahkan satu bait dalam Serat Centhini tetapi sulit, meskipun bahasa yang dipakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu saya,” ujarnya saat diskusi.

Sementara, anak muda lainnya, Karisma memiliki pendapat yang berbeda. Ia memahami Serat Centhini sebagai induk dari dongeng masa lalu. Kisah-kisah wayang, legenda, mitos, dan para nabi ada dalam karya sastra Jawa itu. “Pesan moral yang terdapat dalam Centhini juga bisa diterapkan di masa kini. Terutama anak muda seperti kami,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya