SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Biar tidak terus-menerus dijejali kabar hiruk-pikuk kasus Ferdy Sambo, mari kita bicara ekonomi dulu. Urusan kantung kita. Soal beban-beban yang bakal kita hadapi, di depan mata.

Apalagi kalau bukan dampak ekonomi akibat krisis energi dan krisis pangan global, yang juga merembet ke Indonesia. Kita boleh lega, setidaknya, sampai hari ini tidak terpapar pandemi krisis pangan dan krisis energi, seperti paparan virus Covid-19 dua tahun lalu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Paling tidak, saat ini posisi Indonesia relatif lebih baik. Di saat banyak negara mengalami koreksi pertumbuhan yang dalam, Indonesia justru mengalami laju ekonomi yang makin cepat. Di saat banyak negara lain –dalam kepungan krisis energi dan krisis pangan itu– mengalami fenomena stagflasi, perekonomian Indonesia masih lari kencang dengan inflasi relatif terkendali.

Stagflasi di banyak negara terjadi setelah pertumbuhan ekonomi ngadat alias stagnan, disertai lonjakan inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi yang meroket.

Akibat harga energi yang melonjak membuat banyak aktivitas ekonomi, perdagangan dan manufacturing di berbagai belahan bumi melambat. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi global terkoreksi.

Krisis pangan, yang menyertai krisis energi, akibat blokade perdagangan menyusul perang di Ukraina, seperti siraman bahan bakar untuk inflasi di banyak negara. Di Amerika, yang biasanya laju inflasi hanya di kisaran 1%, pada Juni lalu sempat melampaui 9% dan sedikit menurun menjadi 8,5% pada bulan berikutnya. Turki bahkan mengalami inflasi gila-gilaan, yang mencapai lebih dari 70%.

Maka, dalam profil global semacam itu, Indonesia masih dapat mencicipi laju pertumbuhan ekonomi 5,44% pada kuartal kedua tahun ini, dengan laju inflasi di kisaran 4,5% year on year.

Ini berkat mekanisme “rem dan gas” yang sangat berhasil dalam penanganan pandemi, sehingga mobilitas ekonomi tetap relatif terjaga. Selain itu, terdapat windfall profit dari harga komoditas yang melonjak signifikan. Ini terlihat dari surplus perdagangan yang terus membuncah sepanjang tahun ini, terutama dari batu bara dan minyak sawit.

Bukan sekadar rezeki komoditas, perekonomian juga terbantu oleh geliat manufacturing, di mana indeks pembelian manufaktur atau PMI selalu berada di atas angka 50 sepanjang tahun ini. Itu artinya, aktivitas pabrikan bergeliat. Sekadar ilustrasi, bahkan produksi otomotif kian ngebut, dengan angka penjualan yang telah melampaui penjualan otomotif Thailand.

Geliat rekor perdagangan dan manufacturing itu sebetulnya bukan keberuntungan semata. Indonesia sudah mendapatkan benefit ekonomi dari ketersediaan infrastruktur yang terbangun massive hampir satu dekade terakhir.

Ini melandasi mobilitas, konektivitas, dan akses distribusi dan logistik yang semakin lancar dan efisien. Efisiensi logistik yang relatif lebih baik itu menjadi salah satu kontributor stabilitas harga-harga konsumen. Akibatnya, inflasi relatif terkendali.

Namun, Anda jangan cepat puas dulu. Kontributor yang tak kalah besar bagi stabilitas harga-harga itu adalah subsidi energi yang tambun. Pada APBN tahun ini, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, alokasi anggaran subsidi BBM bahkan melonjak tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.

Angkanya nggak kaleng-kaleng, Rp502 triliun. Kenaikan subsidi tersebut tentu saja akibat harga minyak dunia yang melambung di atas US$100 per barel. Bila kondisi harga minyak tetap tinggi dan alokasi subsidi dipertahankan hingga akhir tahun, menurut perhitungan Menkeu, butuh anggaran tambahan subsidi sebesar Rp198 triliun.

Bila itu terjadi, diperkirakan subsidi energi bisa melonjak hingga lebih dari Rp700 triliun. Apalagi bila konsumsi BBM bersubsidi tidak dibatasi dan para pengguna BBM nonsubsidi yang mengikuti harga pasar beralih ke BBM bersubsidi.

Maka, ini seperti buah simalakama. Menjadi dilematis bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena bila mekanisme subsidi BBM terus dipertahankan, akan menjadi pemborosan anggaran yang sia-sia, tidak tepat sasaran, dan tidak berkeadilan.

Jika ini dibiarkan, belanja APBN akan terbuang sia-sia. Kita akan hilang kesempatan memanfaatkan momentum pemulihan dengan lebih cepat, dan bangkit lebih kuat.

Sebaliknya, bila subsidi BBM direlokasi ke tempat lain, maka konsekuensinya harga BBM harus naik. Konsekuensi selanjutnya, dampak inflasinya nggak akan terelakkan. Tentu, beban ekonomi bagi masyarakat tak terhindarkan.

***

Pak Jokowi tentu saja menghadapi dilema itu. Terlebih, hari ini berbeda dengan tahun 2014 lalu. Kala itu, Pak Jokowi baru saja euforia memenangi pemilu. Menjadi Presiden baru. Masih jauh dari risiko menghadapi pemilu.

Karenanya, Presiden Jokowi dapat lebih mudah bertindak firm. Hitung-hitungannya jelas. Ada uang ratusan triliun tiap tahun yang muspra, dibakar di jalan raya. Padahal, di sisi lain ada kebutuhan uang yang besar juga tidak dapat dipenuhi untuk membangun infrastruktur dan menopang pendidikan.

Maka, dengan argumentasi yang jelas, Presiden melangkah tegas. Subsidi BBM harus direlokasi. Memang ada risiko politik. Tapi, risiko itu dapat diperhitungkan. Kalaupun ada demo, paling selesai dua pekan. Habis itu, approval rate naik lagi.

Apalagi didukung dengan narasi yang juga jelas. Bukan menghapuskan subsidi, tetapi merelokasi subsidi. Biar uang APBN ratusan triliun yang habis dibakar di jalan raya, dan dinikmati orang-orang kaya, bisa dimanfaatkan untuk menopang kebutuhan ekonomi lain yang lebih urgent. Termasuk subsidi pendidikan, kesehatan dan membangun infrastruktur. Jelas guna dan manfaatnya.

Sebaliknya, bisa jadi, kini pertimbangannya berbeda. Namun, saya menduga Presiden Jokowi akan bertindak firm. Daripada subsidi ratusan triliun digelontorkan untuk BBM, yang lagi-lagi para penikmatnya adalah orang-orang kaya, mengapa tidak dialokasikan ke belanja lain yang lebih urgent? Yang lebih berguna.

Dengan narasi yang kuat, rasanya akan lebih banyak masyarakat yang bisa memahami, dan menerima. Obat penyakit berat biasanya memang pahit. Apalagi kalau penyakitnya sudah kronis. Bahkan, ibarat kanker stadium empat, kalau perlu diamputasi. Mumpung belum terlanjur ke stadium terminal. Kita siap pahit bersama-sama.

Banyak kalkulasi, kalau harga BBM bersubsidi hari ini naik mendekati harga keekonomian, inflasi pasti akan melejit, dalam seketika. Satu dua atau tiga bulan setelahnya. Barangkali bisa sampai enam bulan kalau dihitung “efek ronde kedua” dari kenaikan harga BBM itu.



Tetapi setelahnya, stabilitas pasti akan terjadi. Terlebih apabila sudah disiapkan mekanisme penyangga. Terutama bagi masyarakat yang dianggap paling rentan. Dan saya yakin, mekanisme itu pun sudah disiapkan. Pemerintah sudah sangat berpengalaman, setelah hampir tiga tahun mengatasi dampak pandemi Covid-19, banyak sekali bantalan sosial yang tinggal direplikasi.

Pemerintah tidak banyak pilihan. Imbauan moral saja, atau mekanisme pembatasan dengan aneka cara, akan sulit mengontrolnya sepanjang masih ada disparitas harga akibat subsidi. Suka tidak suka, pemerintahan Jokowi tampaknya akan memilih realistis, untuk kembali merelokasikan subsidi BBM. Supaya anggaran ratusan triliun itu dibelanjakan untuk alokasi lain yang lebih tepat sasaran, dan berkeadilan.

Bisa jadi, pertimbangan utama hari ini adalah risiko politik. Namun, mumpung saat ini approval rate Pak Jokowi masih tinggi, dan pemilu dijadwalkan masih dua tahun lagi, rasanya tak perlu menunda-nunda lagi.

Lebih dari itu, banyak narasi yang bisa dikelola untuk membangun persepsi, bahwa subsidi BBM yang masih ada hari ini sebenarnya tidak adil bagi rakyat kecil. Bukan rakyat kecil yang sesungguhnya menikmatinya, tetapi kaum kaya.

Saya percaya, dengan strategi komunikasi publik yang baik, relokasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan adil akan lebih dapat diterima. Meskipun menimbulkan “sengatan ekonomi” dalam jangka pendek. Seperti biasanya kita akan sanggup menerimanya. Masyarakat Indonesia, dengan karakteristiknya, sudah terbiasa burden sharing. Sudah terbiasa menanggung aneka beban, bersama-sama.

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Esai ini ditulis oleh Arif Budisusilo, jurnalis Bisnis Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya