SOLOPOS.COM - Profesor Rahmanta Setiadi saat membacakan pidato ilmiah, Selasa (24/1/2023). (unmermadiun.ac.id)

Solopos.com, MADIUN — Rahmanta Setiahadi secara resmi telah dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Manajemen Hutan pada Fakultas Pertanian Universitas Merdeka Madiun. Dalam pidato ilmiah yang disampaikan, Rahmanta berbicara mengenai sistem verifikasi legalitas dan kelestarian dalam kerangka perdagangan global.

Dikukuhkan pada Selasa (24/1/2023), Rahmanta Setiahadi menjadi guru besar kedua yang dimiliki Fakultas Pertanian Unmer Madiun. Pidato yang disampaikan dalam pengukuhan itu berdasarkan hasil penelitian dan kajian ilmiah yang telah dilakukan selama sekitar 10 tahun.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kepada Solopos.com, Profesor Rahmanta menyampaikan pada tahun 2003 Uni Eropa meluncurkan rencana aksi European Union-Forest Law Enforcement Government and Trade (EU-FLEGT)  yang menekankan upaya peningkatan tata kelola hutan yang baik untuk mengurangi pembalakan liar dan mempromosikan perdagangan kayu legal. Kaitannya ekspor produk furnitur ke Uni Eropa, pemerintah Indonesia kemudian menyepakati perjanjian dengan mematuhi lisensi FLEGT. Salah satu unsur yang diterapkan adalah pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

“Soal SVLK itu sebenarnya secara mandatory sejak tahun 2013. Kebijakan itu muncul karena ada tuntutan dari negara-negara Eropa sejak 2002,” kata dia seusai mengisi diskusi di Mucoffee, Kota Madiun, Minggu (29/1/2023).

pengukuhan guru besar unmer
Profesor Rahmanta Setiahadi (memegang microphone) saat mengisi diskudi terkait lingkungan di Mucoffee Kota Madiun, Minggu (29/1/2023). (Istimewa/Solopos.com)

Rahmanta menyampaikan tujuan besar SVLK ini untuk mencapai pengelolana hutan yang lestari, sehingga implementasinya ada di sektor hulu. Yang dimaksud dengan industri sektor hulu adlaah semua unit kegiatan kehutanan yang produk akhirnya adalah kayu dan hasil ikutan lainnya dari hutan.

Dalam penelitiannya, dia menemukan sejak SVLK diberlakukan pada 2013 sampai 2023 ada beberapa kekurangan standar dan kriteria yang sesuai tuntutan dari Uni Eropa.

Dia menyebut terbaru Uni Eropa mengaitkan efektivitas SVLK ini dengan perubahan iklim dan deforestasi. Padahal terkadang ada konsep yang pemahamannya berbeda antara Uni Eropa dengan Indonesia.

Seperti definisi deforestasi, kata dia, ternyata tidak sama pemaknaannya antara Indonesia dan Uni Eropa. Perubahan fungsi hutan dari kawasan hutan alam ke kawasan hutan produksi bukan deforestasi bagi Indonesia. Namun, sebaliknya Uni Eropa menganggap aktivitas itu sebagai deforestasi.

Kaitannya dengan kebijakan pemberlakuan SVLK, Rahmanta memberikan beberapa rekomendasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dari penelitiannya terungkap bahwa biaya pengurusan SVLK itu dianggap sangat berat bagi industri kecil. Atas temuan itu, dia menyarankan supaya pemerintah mengeluarkan peraturan SVLK yang berbasis kewilayahan.

“Oleh karena itu, saya mau menyarankan dan memberikan rekomendasi untuk melakukan skema sertifikasi yang berbasis yurisdiksi kewilayahan,” jelasnya.

Terkait sertifikasi berbasi kewilayahan, dia menjelaskan sertifikasi yang dilakukan bukan terhadap satu jenis unit usaha, melainkan pada satu wilayah di mana unit usaha itu berproduksi dan menghasilkan barang produk.

“Misalnya Madiun ini menjadi sentra industri furnitur, jadi yang disertifikasi adalah wilayah Kabupaten Madiun, bukan industri-industri yang ada di dalamnya,” terang dia.

Melalui konsep itu, menurutnya, ada jaminan bahwa bahan baku kayu yang masuk Kabupaten Madiun itu sudah legal dan keluarnya juga legal. Sehingga yang perlu disertifikasi adalah wilayahnya.

“Kalau selama ini kan SVLK itu berdasarkan CV atau unit usaha alias sendiri-sendiri. Semisal ada lima unit usaha, ya mereka mengurus SVLK sendiri-sendiri. Padahal biaya untuk sertifikat tida murah. Bisa mencpaai Rp15 juta hingga Rp20 juta,” katanya.

Namun, ketika sertifikasi dilakukan di tingkat wilayah, tentu peredaran kayu di daerah tersebut akan menjadi tanggung jawab bersama, mulai bupati hingga camat. Melalui konsep yang ditawarkan, biaya pengurusan sertifikasi bisa dibebankan kepada pemerintah. Sehingga pelaku usaha kecil bisa berkembang dan tidak terbebani.

“Karena pemda akan mendapatkan pendapatan kan. Seperti saat ada produk layak ekspor tentu PAD akan meningkat.”

Rahmanta melanjutkan untuk kayu yang bisa diikutkan dalam SVLK bebrasis kewilayahan ini hanya untuk bahan baku berisiko rendah dair huatn rakyat. Sedangkan untuk hutan negara tetap menggunakan standar SVLK.

“Jadi, kalau Perhutani harus melakukan mekanisme perdagangan di dalam menggunakan standar penataan hasil kayu yang ada di kementerian. Tapi kalau hutan rakyat menggunakan deklarasi kesesuaian pemasok,” kata dia.

Dari penelitiannya, dia juga menemukan banyak industri yang tidak memiliki SVLK itu banyak yang meminjam “bendera” atau perusahaan lain. Sedangkan kayu yang bisa masuk dalam program sertifikasi kewilayahan hanya untuk kayu berisiko rendah dair hutan rakyat, seperti jati, mahoni, dan lainnya. Menurut dia, konsep SVLK kewilayahan ini akan mengurangi risiko mal praktik legalitas kayu.

“Rekomendasi ini telah saya sampaikan ke pemerintah pusat, tetapi belum ada respons,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya