SOLOPOS.COM - Suasana shooting film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta di Studio Gamplong, Desa Sumberayu, Moyudan, Sleman, Kamis (8/3/2018). (Harian Jogja/Bernadheta Dian Saraswati)

Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta yang sempat dikritik Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara

 

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Harianjogja.com, SLEMAN– Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta yang sempat dikritik Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara karena menggunakan batik motif parang yang tidak sesuai, langsung direspon Hanung Bramantyo selaku sutradara film dengan melakukan shooting atau proses pengambilan gambar ulang untuk adegan yang sama.

Protes GKR Bendara disampaikan melalui akun media sosial Instagram. Purti bungsu Sri Sultan HB X itu mengutip dari Rijksblad atau pranata dalem, tercantum larangan motif-motif tertentu di dalam kraton. Penggunaan parang hanya boleh untuk kerabat Kraton. Parang yang berukuran 12 cm itu hanya diperuntukkan Raja, yang berukuran 8 cm untuk permaisuri dan yang lebih kecil untuk Putri dan Pangeran.

Adapun menurutnya dalam potongan adegan di film Sultan Agung yang dibuat oleh Hanung Bramantyo, Sultan Agung memakai parang yang kecil dan berwana biru. “Padahal yang membuat Parang adalah Ibu Beliau. Malah yang memerankan abdi dalem di belakangnya yang pakai Parang lebih besar,” tulisnya dalam caption foto Instagram yang diunggah  pada Rabu (7/3/2018).

Menanggapi protes itupun, pada Kamis (8/3/2018) kemarin Hanung mengerahkan crew-nya untuk melakukan shooting kembali, tetapi dengan kostum yang berbeda. Sultan Agung pada shooting kedua sudah mengenakan jarit parang barong sesuai aturan Kraton Jogja.

Menanggapi kritik di media sosial itu, Hanung menegaskan bahwa jalan cerita film Sultan Agung sudah berdasarkan riset bersama para sejarawan dari Solo dan Jogja. Setiap kali memproduksi film tokoh pahlawan, ia selalu berupaya menemui pihak-pihak yang bersinggungan dengan tokoh yang akan difilmkan. Ia memohon izin sekaligus menggali informasi terkait sosok tersebut, berikut dengan budaya dan latar belakangnya untuk mendukung jalan cerita.

Hal itu juga ia lakukan saat membuat film Soekarno. Sebenarnya Hanung ingin menemui Megawati Soekarnoputri, tetapi tidak berhasil dan hanya bertemu dengan Taufik Kemas, suaminya.

“Tidak mungkin saya tidak sowan [berkunjung]. Tinggal yang disowani mau apa tidak,” tuturnya kepada awak media di lokasi shooting di Studio Gamplong, Sumberayu, Moyudan, Sleman, Kamis (8/3/2018).

Ia juga mengakui, berbicara sejarah memang bukan tentang riset tetapi lebih kepada sudut pandang. Oleh karena itu, ia pun menganggap penting momentum pertemuan dengan pihak-pihak yang bersinggungan dengan tokoh yang ia filmkan untuk memberikan referensi terkait latar belakang tokoh yang akan difilmkan, termasuk cara berpakaiannya.

Untuk proses editing film Sultan Agung nanti, ia masih akan menghadirkan sejarawan. Hanung akan meminta pertimbangan terkait bagian mana yang relevan untuk ditayangkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya