SOLOPOS.COM - Perempuan buruh tani bekerja menanam padi di Desa/Kecamatan Sidoharjo, Sragen, belum lama ini. (Solopos-Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN —  Kasus perempuan dinomorduakan atau disubordinasikan daripada laki-laki masih terjadi di Kabupaten Sragen. Hal itu terlihat dalam pemberian upah yang berbeda antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki di sektor informal dan masih ada kesenjangan tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Kasus-kasus ketimpangan gender tersebut disampaikan Kasi Pemberdayaan Perempuan dan Pengarusutamaan Gender Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Sragen, Tiwi Hanimpuni, saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (21/4/2021).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) DP2KBP3A Sragen Siti Suharmi juga membenarkan masih adanya kasus-kasus tersebut.

Baca juga: Pesona Masjid Baitussalam Tangen Sragen, Perpaduan Arsitektur Jawa dan Timur Tengah

“Sebenarnya banyak anak-anak perempuan yang berprestasi tetapi peluang untuk bekerja lebih banyak untuk para laki-laki. Dari segi upah saja juga terjadi subordinasi terhadap kaum perempuan terutama di sektor informal. Seperti buruh tani, upah untuk buruh tani perempuan lebih rendah daripada buruh tani laki-laki. Upah untuk asisten rumah tangga perempuan juga lebih rendah daripada laki-laki,” ujarnya.

Tiwi menginginkan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki itu disetarakan karena ada perempuan yang menjadi kepala rumah tangga dan bertanggung jawab dengan ekonomi keluarga.

Porsi Pendidikan Lebih Tinggi

Tiwi mengatakan DP2KBP3A Sragen berupaya untuk sosialisasi kepada para pengusaha agar dalam kebijakan upah itu disetarakan antara perempuan dan laki-laki.

Baca juga: Bupati Yuni Segera Purnatugas, Pemkab Sragen Dipimpin Pj Sampai Awal Juli

Tiwi juga melihat adanya perbedaan pada sektor pendidikan karena masih kuatnya mindset bahwa perempuan hanya berurusan dengan dapur. Dia menjelaskan para orang tua memberi porsi pendidikan yang lebih tinggi kepada anak laki-laki karena akan memikul tanggung jawab keluarga.

Dia mengatakan sebaliknya masih ada orang tua yang memberi porsi pendidikan rendah pada anak perempuan.

Mbok sekolah dhuwure kaya apa wae, urusane mung neng pawon. [Mau sekolah setinggi apa pun, urusannya hanya di dapur]. Mindset inilah yang harus dikurangi sedikit demi sedikit sehingga posisi perempuan tidak disepelekan tetapi dihargai,” jelasnya.

Baca juga: Sekolah di Sragen Ini Peringati Hari Kartini dengan Bagi-Bagi Takjil

Tiwi menerangkan peran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen berupaya dalam kebijakan anggaran yang responsif gender.

Dia mengatakan kebijakan anggaran tersebut didasarkan pada pertimbangan analisis gender, seperti untuk penanganan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian balita (AKB); penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak; kebijakan untuk meningkatkan melek huruf kaum perempuan yang berdampak pada angka putus sekolah, dan seterusnya.

“Masing-masing OPD [organisasi perangkat daerah] bisa melakukan analisis gender tetapi tidak semua kegiatan bisa dianalisis gender,” terangnya.

Kekuatan dan Kecepatan Kinerja

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, mengakui bila upah untuk buruh tani memang ada perbedaan antara buruh tani perempuan dan buruh tani laki-laki.

Baca juga: Tak Ingin Kecolongan, Polisi Awasi Jalan Tikus di Sragen Saat Penyekatan Pemudik

Dia menjelaskan perKetua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, mengakui bila upah untuk buruh tani memang ada perbedaan antara buruh tani perempuan dan buruh tani laki-laki. Perbedaan itu terletak pada kekuatan dan kecepatan kinerja laki-laki daripada perempuan. Suratno menyebut pekerjaan mencangkul dilakukan laki-laki sementara buruh tanam dilakukan perempuan.

Sama-sama pekerjaannya, misalnya menyiangi atau matun, jelas Suratno, buruh perempuan diberi upah Rp35.000 per patok sedangkan buruh laki-laki Rp45.000/patok.

“Buruh panen padi menggunakan thresher itu bisanya melibatkan 23 orang buruh yang terdiri atas 10 orang perempuan dan 13 orang laki-laki. Upahnya pun berbeda, upah perempuan Rp80.000/patok dan upah laki-laki Rp100.000/patok karena tenaganya lebih kuat dan lebih cepat laki-laki,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya