SOLOPOS.COM - Seorang kamerawan mendokumentasikan aktivitas warga Desa Bedoro, Sambungmacan, Sragen, saat membuka pasar gratis di Balai Desa Bedoro, Sabtu (20/3/2021). (Solopos.com-Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Pengembangan desa digital di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah terganjal pakem pembangunan fisik desa. Kondisi itu tergambar tatkala seorang kamerawan menggerakan kamera DSLR saat membuat video aktivitas warga di Desa Bedoro, Kecamatan Sambungmacan, Sabtu (20/3/2021).

Juru kamera itu didatangkan dari wilayah Kecamatan Sidoharjo untuk membuatkan dokumentasi di desa itu yang nantinya ditayangkan dalam profil desa secara online. Aktivitas warga desa yang berkaitan dengan penanganan Covid-19 di desa itu didokumentasi, mulai dari atribut sosialisasi yang tersebar di sejumlah dukuh sampai program Jaga Tangga dengan membagikan sayur mayur dan kebutuhan keluarga lainnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hampir semua dukuh di desa itu sudah memiliki jaringan Internet. Para warga desa pun sudah melek teknologi informasi (TI). Internet di desa itu tak sekadar digunakan untuk media pembelajaran daring bagi siswa saat masa pandemi Covid-19 tetapi juga digunakan warga desa untuk membuka wirausaha.

Baca Juga: Wow, Siswa MIN 2 Sukoharjo Juggling Bola 1.216 Kali dalam 10 Menit!

Apa yang dilakukan warga Desa Bedoro itu persis seperti di Desa Sambi, Sambirejo, yang sudah ada jaringan Internet di hampir seluruh pos kamling. Seperti halnya di Desa Tangga, Gesi, yang sudah memiliki jaringan Internet sampai ke basis rukun tetangga (RT).

Pendamping Desa Kecamatan Sambungmacan, Sragen, Eko Mulyono, saat berbincang dengan Solopos.com di Bedoro, Sambungmacan, Sragen, dari sembilan desa di Kecamatan Sambungmacan, ada tiga desa yang bergerak menuju ke desa digital, yakni Desa Digital, Desa Sambungmacan, dan Desa Toyogo. Eko berkeinginan Internet itu tidak sekadar untuk pegawai pemerintah desa tetapi juga bisa menjadi sarana untuk memudahkan pelayanan publik lewat program aplikasi daring, seperti surat keterangan online dari tingkat RT ke desa.

“Di Bedoro, dari 34 RT, sebanyak 13 RT di antaranya sudah terpasang jaringan Internet. Sedangkan untuk RT lainnya dipasang secara bertahap. Selama ini asyiknya desa itu masih di program fisik atau infrastruktur. Padahal prioritas dana desa (DD) itu setiap tahunnya berubah-ubah. Rata-rata kepala desa masih pakem, yakni prioritas pembangunan infrastruktur,” ujar Eko.

Baca Juga: Jelang Piala Menpora, PSIS Semarang Tak Panggil Pemain di Luar Negeri

Pakemnya kepala desa yang terfokus pada pembangunan fisik menjadi kendala tersendiri bagi desa menuju desa digital. Eko menyebut program desa digital ini sebenarnya sudah muncul sejak 2020 tetapi baru dimaksimalkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mulai 2021.

Dengan digitalisasi desa itu, Eko berharap hampir semua layanan bisa dilakukan secara online, seperti informasi desa, pelatihan BUMDesa digital, bayar listrik, bayar air PDAM, bayar pajak bumi dan bangunan (PBB), dan layanan lainnya bisa dilakukan secara daring.

Selain itu, Eko menyampaikan desa juga bisa membuat aplikasi layanan yang memudahkan masyarakat untuk mengakses terutama berkaitan dengan pelayanan dokumen administrasi kependudukan (adminduk) yang terintegrasi dengan sistem daring di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Sragen.

Baca Juga: Ini Keunggulan Bengalore Penyebab Elon Musk Bikin Pabrik Tesla di India

“Sejumlah aplikasi yang terhubung ke kementerian juga bisa berjalan, seperti elektronik human development worker (e-HDW) atau kader pembangunan manusia dan sustainable development goals (SDGs) dengan 18 program prioritas DD dari Kemendes PDTT. Aplikasi e-HDW itu berfungsi untuk mencatat kasus stunting di desa. Sedangkan unduk SDGs digunakan untuk mencatat 18 indikator yang menjadi dasar pemetaan desa dalam menentukan perencanaan prioritas pembangunan desa,” jelas Eko.

Optimalisasi Dana Desa

Dia melihat dua sistem itu sebenarnya mandukung pelaporan DD dan memang baru diefektifkan di 2021. Dia mengatakan dengan optimalisasi dua sistem itu maka desa bisa menjadi desa digital.

Dalam sistem SDGs misalnya, jelas Eko, ada database penduduk berbasis individu, keluarga, RT, dan desa, termasuk di dalamnya pendataan penggunaan media sosial di tingkat desa.

Baca Juga: Menghayati Cerita Kehidupan Anak Penyintas Penyakit Langka di Harinya

“Hasilnya berupa peta desa yang komprehensif, karena mencakup demografi, kondisi rumah, monografi, dan seterusnya. Di sisi lain, Internet desa itu mampu meningkat ekonomi lewat pengembangan badan usaha milik desa (BUM-Desa),” katanya.

Bidan Desa Bedoro, Sambungmacan, Febriyani Puji Hastuti, merasakan manfaat e-HDW dalam penataan kasus stunting di Bedoro. Dia menyebut selama 2020 ada 57 kasus bayi stunting di Bedoro atau 17,38% dari populasi bayi satu desa sebanyak 328 orang. Hingga akhir 2020, Febri mencatat ada 18 bayi yang lulus stunting setelah dilakukan intervensi.

“Banyaknya kasus stunting itu disebabkan karena asupan gizi bayi selama kehamilan tidak optimal. Saya sendiri menemukan banyak ibu hamil yang berumur lebih dari 35 tahun dan di bawah 20 tahun. Artinya mereka ini merupakan ibu hamil risiko tinggi. Saya sampai membuka layanan posyandu remaja untuk penanganan stunting itu,” katanya.

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya