SOLOPOS.COM - Rudi Agus Hartanto (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kota Solo menjadi lokasi kelima yang disinggahi Lilinelofer dalam agenda pameran tunggal Thinking and Revolution. Warung Kopi Pejalan berperan sebagai ruang yang merekam ide, gagasan, dan kisah seniman yang tumbuh di Jogja tersebut. Tidak ada gegap gempita malam itu. Acara berlangsung sederhana.

Pameran dihadiri sekitar dua puluhan orang. Hal itu membuat kehangatan justru hadir. Terlihat sejak acara dimulai hingga sesi diskusi terjadi interaksi. Termasuk ketika sesi presentasi karya berlangsung.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bahwa tema yang diangkat sebenarnya tidak terikat dengan sebuah makna besar. Lilinelofer menjelaskan mengenai kecenderungan manusia sekarang yang hampir di setiap sendi kehidupannya terikat uang.

”Nilai material telah membuat kita terkungkung, yang membuat kita tidak bisa menjadi manusia bebas dan memelajari kebebasan,” ucap Lilinelofer pada Sabtu (14/1/2023).

Ucapan itu justru membuat pikiran saya melayang ke mana-mana, bahkan pergi jauh dari konteks acara. Membawa saya menuju tempat lain, yakni komunitas atau teman yang pernah beririsan dengan saya.

***

Saya kira semua orang setuju bahwa seorang anak lahir tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Sampai ketika tumbuh dewasa, ternyata dunia bekerja tidak sebagaimana orang-orang menyepakati kelahiran seorang anak.

Bahwa di bumi bagian selatan, di sebuah negara kepulauan yang tahun ini berusia 78 tahun, memiliki privilese berdasar trah ningrat, penguasa, atau pebisnis besar ternyata jauh lebih menjamin masa depan seorang anak.

Misalnya di sektor politik, banyak terjadi fenomena anak seorang pimpinan partai politik diproyeksikan meneruskan jabatan orang tuanya sebagai petinggi. Di sektor pemerintahan, sebuah keluarga yang ”akan” maupun yang ”turun-temurun” bergantian menjadi penguasa.

Fenomena tersebut terjadi di tingkat pusat sampai daerah. Apakah kondisi demikian salah? Tentu pengetahuan dan pengalaman saya belum mampu menjawab, tetapi entah mengapa hal itu terus berkelindan di kepala saya.

Lantas bagaimana dengan seorang anak yang ndilalah tidak memiliki privilese? Apakah benar yang dikatakan para motivator dari trah ”aman” bahwa kesempatan anak itu jauh lebih besar karena tidak menanggung beban apa pun. Lagi-lagi saya tidak mampu menjawabnya.

Saya bermaksud menceritakan mengenai komunitas dan teman yang pernah beririsan dengan saya. Saya menjamin mereka tidak memiliki trah seperti yang saya sebut sebelumnya, kecuali dari trah ora penak, kalau itu sebaliknya, saya berani bertaruh.

Darsa Kolektif sejak 2017 tumbuh dan berkembang di Kabupaten Sukoharjo. Mereka sangat lekat dengan kultur musik. Saling Pandang Gigs, Keliling Kabupaten, dan All Scene Unit adalah acara rutin yang diinisiasi mereka.

Beberapa kali mereka juga menggandeng komunitas-komunitas lain di luar Kabupaten Sukoharjo. Selain acara musik, terkadang Darsa Kolektif juga menyelenggarakan pameran seni rupa, diskusi film, dan sebagainya.

Saya masih ingat betul pada 1 Oktober 2021, di Omah Burjo, sebelah barat Alun-alun Sukoharjo, Keliling Kabupaten menyajikan acara dengan tajuk Merayakan Puisi dan Akustik. Sayangnya, acara itu berhenti di tengah jalan karena dibubarkan aparat.

Pada waktu bersamaan ada bazar di Gedung Graha Wijaya, yang terselenggara hingga tengah malam, namun berjalan tanpa gangguan apa pun. Bergeser sedikit, tepatnya di Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, di sebuah rumah kontrakan, hiduplah koperasi swakelola yang bernama Arus Balik Cooperative.

Berjalan tanpa bos. Setiap pekerja memiliki hak, kewajiban, dan suara yang setara dan sama rata. Manajemen pekerjaan dilakukan tanpa hierarki, tetapi setiap pekerja bekerja sesuai kemampuan masing-masing. Dulu koperasi itu bernama Proletar Project dan beraktivitas di daerah Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.

Sebagian pekerja Arus Balik adalah mereka yang dikenal vokal perihal masalah yang terjadi di sekitarnya. Andil keterlibatan mereka yang terjelas adalah di Kabupaten Sukoharjo Melawan Racun atau Aksi Kamisan Solo. Koperasi tersebut dimaksudkan menunjang keperluan gerakan masyarakat maupun individu/komunitas yang bermaksud memproduksi merchandise kaus.

”Dari novel [karya] Pramoedya Ananta Toer,” begitulah mereka menyebut inspirasi penamaan Koperasi Arus Balik.  Di sebel;ah timur Bengawan Solo berdiri komunitas sastra Kamar Kata Karanganyar. Para penulis yang terpayungi di komunitas tersebut telah banyak melahirkan karya di media, buku, atau menjuarai pelbagai kompetisi menulis.

Sebut saja di Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Kamar Kata telah mencatatkan dua pemenang dalam dua kali kompetisi, yaitu pada 2019 dan 2021. Di sisi lain, Kamar Kata sering membuat acara bedah buku atau diskusi sastra lainnya. Tentu saja mereka bekerja sama dengan komunitas di luar ruang sastra.

Sementara itu, ”ruang” secara konvensional diartikan sebagai sebuah bangunan. Saya ingin menyebut Warung Kopi Pejalan. Dalam evolusinya, Warung Kopi Pejalan pindah beberapa kali, pindah dari beberapa tempat. Yang menarik adalah warung ini selalu memilih pinggiran kota, jauh dari suara klakson atau knalpot brong.

Saat ini lokasinya di dekat makam Pangeran Benowo, Ngringo, Jaten, Karanganyar. Monolog Pejalan, Ngopi Buku, Ngobrol Kawan adalah acara rutin yang diselenggarakan. Sering juga digunakan komunitas-komunitas untuk presentasi karya. Di komunitas yang terbentuk berbasis warung kopi ini mayoritas adalah anak muda.

Sebenarnya saya masih ingin bercerita mengenai komunitas lain, tapi karena keterbatasan ruang tulisan, saya sebutkan saja: di Tawangmangu ada Sanggar Wagu Budaya; di Mojogedang ada Sanggar Bima Suci; di Tasikmadu ada Sanggar Pamongan, dan lainnya.

***

Saya harus kembali ke Thinking and Revolution-nya Lililnelofer. Ia memamerkan lukisan yang dibuat sejak 2005 hingga 2022. Menggunakan media akrilik di kertas. Misinya menyebarkan nilai kemanusiaan dan kebebasan, yang menurutnya perlahan-lahan mulai tergerus karena keterikatan material, khususnya uang.

Karena itulah, ia memilih warung kopi sebagai ruang pamer agar karya-karyanya dapat dinikmati sekaligus ditafsir berbagai kalangan. Berkaitan dengan pendapat tersebut, pikiran saya justru semakin ke mana-mana.



Utamanya mengenai ruang publik, yang setahun ke depan mungkin akan sesak berisikan baliho ”trah” yang maju di pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Bisa juga tentang uang kaget yang datang menjelang coblosan berlangsung. Biar pikiran saya berdengung di situ saja.

Mengenai teman, saya tidak jadi menceritakan karena tidak berani menyebut nama. Saya menganggap serius meme ”tukang bakso” (yang membawa handy talky). Yang pasti, komunitas dan ruang yang saya sebut itu semuanya berjalan karena keyakinan tulus.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Desember 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya