SOLOPOS.COM - Para petani di Dukuh/Desa Bonagung, Kecamatan Tanon, Sragen, berunjuk rasa menolak penjualan sawah kepada investor pabrik sepatu, Selasa (14/7/2020). (Solopos-Moh. Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN -- Sekitar 30 petani di Dukuh/Desa Bonagung, Kecamatan Tanon, Sragen, Selasa (14/7/2020), berunjuk rasa di area persawahan yang mereka miliki.

Puluhan petani di Bonagung, Tanon, Sragen itu berunjuk rasa menolak menjual tanah kepada investor yang akan membangun pabrik sepatu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Aksi tersebut digelar di sela-sela kesibukan mereka di lahan. Para petani berkumpul dengan membawa poster atau papan kayu bertuliskan penolakan penjualan tanah mereka kepada investor.

Digeruduk Emak-Emak, Arena Judi Dingdong di Gawan Tanon Sragen Ditutup

Di area persawahan itu, para petani menyampaikan orasi menolak alih fungsi lahan produktif menjadi area industri.

"Kemerdekaan pangan itu berada di tangan para petani. Kalau lahan pertanian sudah berubah jadi pabrik, maka petani akan tersisih hingga pada akhirnya kemiskinan akan merajalela," ujar Thonie Sujarwanto, 27, salah seorang petani pada kesempatan itu.

Untuk membangun pabrik sepatu itu, investor membutuhkan lahan 50-60 hektare. Lahan tersebut milik sekitar 250 petani di Desa Bonagung dan sekitarnya.

Kecelakaan Sragen: Truk Hantam Bokong Truk Kebanan, Sopir Tewas Tergencet

Kepada petani Bonagung, investor itu menawarkan biaya pembebasan lahan senilai Rp150.000/meter di tengah sawah dan Rp200.000/meter di tepi jalan umum.

"Dari sekitar 250 petani itu, yang setuju menjual tanah mungkin hanya sekitar 5%. Kalau Pak Lurah mengklaim yang setuju sudah 90%, saya curiga ada data yang dimanipulasi. Misal, tanah milik kakeknya, tapi yang dimintai tanda tangan persetujuan adalah anak atau cucunya. Ada yang tidak setuju namun dianggap setuju," papar Thonie.

Menyekolahkan Anak

Sulardi Endro Sucipto, 68, salah seorang petani menolak keras masuknya investor yang akan membeli lahan milik petani. Menurutnya, lahan pertanian itu merupakan ladang penghasilan petani.

Dari sawah, kata dia, petani bisa makan setiap hari, menyekolahkan anak serta mencukupi kebutuhan. “Kami hanya punya sawah ini untuk makan. Kalau sawah dijual, kami mau makan apa?” ujarnya.

Ketua DPRD Sragen: Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Legislator!

Senada disampaikan Siti Mulyani, 67. Dari hasil bertani, kata Mulyani, dirinya berhasil membiayai pendidikan tiga anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Oleh sebab itu, dia menolak lahan dia dijual kepada investor yang berniat membangun pabrik sepatu di lokasi. “Kalau sawah dijual, kami tidak bisa bekerja di ladang. Padahal, pekerjaan satu-satunya kami ini ya bertani. Kami tidak bisa berdagang karena bisanya ya bertani,” ucapnya.

Ditemui di kantornya, Kepala Desa Bonagung, Suwarno, mengatakan sesuai Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Desa Bonagung masuk zona industri. Oleh sebab itu, kata dia, pembangunan pabrik sepatu itu tidak melanggar aturan yang berlaku.

Biaya Pembebasan Lahan

Dia menjelaskan proses pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik sepatu itu sudah dimulai sejak satu bulan terakhir. Dia mengklaim dalam sosialisasi pertama yang digelar bersama perwakilan warga, sekitar 90% warga sudah menyatakan setuju.

Ikan di Waduk Kedung Ombo Mati Keracunan, Nelayan Sragen Banting Harga Nila Rp5.000/Kg

Namun, dalam sosialisasi itu belum dibahas berapa harga yang ditawarkan investor untuk membebaskan lahan. Penolakan dari petani baru muncul setelah digelar sosialisasi berikutnya yang membahas besaran biaya pembebasan lahan.

“Tiga pekan lalu kami mengundang 100 petani untuk sosialisasi. Rencananya sosialisasi kepada petani lainnya akan kami agendakan pekan berikutnya karena kami tidak boleh mengumpulkan banyak warga demi mencegah penularan Covid-19. Namun, terjadi salah paham di sini. Kami malah dikira hanya mengumpulkan 100 warga yang setuju. Karena ada penolakan, sampai sekarang sosialisasi tetap jalan terus, namun tiap RT. Tidak dikumpulkan dalam satu forum seperti sebelumnya,” jelas Suwarno.

Suwarno mengklaim saat ini sudah 50% petani yang setuju menjual lahan mereka kepada investor. Meski ada 50% petani yang menolak, dia menilai proses pembebasan lahan kemungkinan tetap dilanjutkan secara persuasif.

“Kalau mau dihentikan tentu sangat disayangkan karena sudah banyak petani yang setuju. Tapi, langkah berikutnya saya serahkan ke tim pembebasan lahan desa, selanjutnya disampaikan ke tim pembebasan lahan dari investor. Mau dilanjutkan atau tidak, keputusan ada di tangan investor,” papar Suwarno.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya