SOLOPOS.COM - Warga NU Soloraya berkumpul di Jl. Bhayangkara, Solo, untuk mengikuti aksi menolak kebijakan dull day school, Kamis (24/8/2017) sore. (Irawan Sapto Adhi/JIBI/Solopos)

Demo Solo, puluhan ribu warga NU berdemo menuntut penghapusan kebijakan full day school.

Solopos.com, SOLO — Puluhan ribu warga Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai daerah di Soloraya menggelar aksi menolak kebijakan lima hari sekolah (full day school) dengan melakukan long march dari Jl. Bhayangkara, barat Stadion Sriwedari, hingga Bundaran Gladak, Kamis (24/8/2017) mulai pukul 13.30 WIB.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pantauan Solopos.com, massa aksi mulai berjalan dari Jl. Bhayangkara setelah membentuk barisan panjang dan menerima instruksi dari pimpinan rombongan di bagian depan. Selama mengikuti aksi long march dengan menyusuri Jl. Slamet Riyadi, massa aksi yang mengenakan busana muslim dominan warna putih tersebut terus-terusan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengumandangkan Syubbanul Wathan.

Sejumlah peserta aksi berjalan membawa bendera dan rontek-rontek berisi tuntutan. Setibanya di Bundaran Gladak, massa aksi berhenti dan berkumpul untuk mendengarkan orasi-orasi yang dipimpin Kyai Ahmad Riyad, Kyai Joko Prawoto dan Kyai Hudallah Ridwan.

Setelah sesi orasi, aksi damai dilanjutkan pembacaan pernyataan sikap bersama oleh koordinator aksi, Kyai Muhammad Mahbub, didampingi Pimpinan Cabang NU (PCNU) se-Soloraya. Belum selesai, aksi dilanjutkan dengan istigasah di Masjid Agung Solo.

Koordinator aksi, Kyai Muhammad Mahbub, mengatakan warga NU Soloraya menggelar aksi untuk menolak dengan keras kebijakan lima hari sekolah yang ditetapkan pemerintah lewat penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23/2017 tentang Hari Sekolah.

Massa aksi menuntut Mendikbud Muhadjir Effendi membatalkan atau mencabut Permendikbud yang diterbitkan pada 12 Juni 2017 tersebut. Warga NU resah dengan pemberlakuan kebijakan lima hari sekolah.

“Kami menolak dengan keras kebijakan lima hari sekolah karena bisa membuat eksistensi Madrasah Diniah Takmiliyah [MDT], taman pendidikan Alquran, pondok pesantren dan madrasah formal menjadi terganggu hingga terancam gulung tikar,” kata Mahbub kepada wartawan di Stadion Sriwedari, Kamis.

Penambahan jam belajar di sekolah yang diinstruksikan Permendikbud No. 23/2017 dinilai berpotensi menguras energi anak-anak sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan di luar sekolah. Warga NU meminta Mendikbud mendengarkan suara masyarakat terutama yang terkena imbas langsung dengan pemberlakuan kebiakan full day school, yakni lembaga kependidikan Islam seperti MDT, TPA, dan pondok pesantren.

Warga NU berharap Mendikbud lebih berkonsentrasi mengajak elemen masyarakat merancang model penguatan pendidikan karakter yang lebih baik. Bukan hanya itu, warga NU menyarankan Mendikbud lebih baik berkonsentrasi menyelesaikan masalah-masalah pendidikan nasional yang lebih krusial.

“Dunia pendidikan di Indonesia kini masih menghadapi sejumlah permasalahan krusial, seperti terdapat disparitas antara sekolah negeri dengan swasta, antara sekolah unggulan dan reguler, profesionalitas guru yang belum sesuai harapan masyarakat, hingga nasib pendidikan di daerah perbatasan yang tertinggal, tutur Mahbub.

Koordinator PCNU se-Soloraya, Kyai Mubarok, mengklaim aksi long march dan istigasah kali ini diikuti lebih dari 25.000 warga NU di Soloraya. Dia mengatakan jumlah massa aksi bisa saja lebih banyak jika kegiatan dipersiapkan lebih lama.

Mubarok mengetahui jika Presiden rencananya mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) soal pendidikan karakter yang membuat sekolah bisa menerapkan lima hari sekolah atau enam hari sekolah. Namun, menurut dia, hal itu tidak cukup.

Warga NU menuntut pemerintah lebih tegas dengan mencabut kebijakan lima hari sekolah. “Kalau hanya mempersilakan boleh enam hari sekolah atau lima hari sekolah, akan muncul stigma. Sekolah yang masih menerapkan kebijakan enam hari sekolah bisa terstigma menjadi sekolah yang tidak maju. Kebijakan harus tegas. Iya atau tidak? Kami menuntut Mendikbud mencabut Permendikbud No. 23/2017 tentang Hari Sekolah yang meresahkan masyarakat,” terang Mubarok.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya