SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, Solo–Sebuah plakat bertuliskan Pijat Urat Syaraf dan Pengobatan Alternatif Segala Macam Penyakit Pak Amin Arseto terpasang di jalan masuk Gang Kawung IV, Jl. Agus Salim, Premulung, RT 002/RW 007, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Solo. Pada rumah nomor 10 di gang tersebut, plakat yang sama juga terpasang di bagian depan.

Setelah dipersilakan masuk, solopos.com yang berkunjung ke sana pada Kamis (31/1/2019), melihat sebuah foto lawas terpampang di tembok sisi barat. Foto itu adalah foto Arseto Football Club lengkap dengan para pemainnya. Lambang kebesaran Arseto juga terpampang pada foto tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Arseto adalah klub sepak bola Galatama yang bermarkas di Solo. Klub yang berdiri sejak 1978 tersebut didirikan oleh putra Presiden ke-2 Indonesia, Suharto yaitu Sigit Harjojudanto.

Mulanya, klub tersebut bermarkas di Jakarta. Namun, sejak tahun 1983, setelah presiden Soeharto mencanangkan tanggal 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional saat peresmian Stadion Sriwedari Solo, Arseto mulai memainkan pertandingan kandangnya di Solo.

Sayang, meski pernah merengkuh gelar Galatama pada musim 1991/1992, klub berjuluk Si Biru Langit tersebut terpaksa dibubarkan pada 1998 seiring runtuhnya rezim Orde Baru.

Yatimin, si pemilik rumah pijat itu punya ikatan sangat erat dengan klub yang juga dijuluki The Cannon (Si Meriam) tersebut. Yatimin Atmorejo, demikian nama lengkapnya. Dia telah berusia 70 tahun dan ternyata Yatimin adalah mantan tukang pijat (istilah keren saat ini adalah fisioterapis) dari Eduard Tjong dkk., selama Arseto berkandang di Solo.

Lelaki yang akrab disapa Pak Min atau ada juga yang menyebut Pak Amin Arseto itu kini membuka praktik pijit di rumahnya. Meski sudah ada beberapa klub sepak bola yang menghubungi untuk menggunakan jasanya selepas pembubaran Arseto, Pak Min tak mau menerimanya. Baginya, Arseto adalah klub sepak bola pertama dan terakhir. “Saya menolak jadi tukang pijat di klub lain,” ujar lelaki asal Pasekan, Eromoko, Wonogiri tersebut saat berbincang santai dengan

Pak Min berkisah, ia datang sebagai perantau di Solo sejak 1965. Usianya saat itu masih 13 tahun lebih sedikit. Sebagai perantau yang berpendidikan tidak tinggi, ia bekerja serabutan.

Pada 1984, ia membeli becak karena pendapatan sebagai buruh mebel masih kurang untuk mencukupi hidupnya dan keluarga. Pak Min masih ingat, pada suatu malam, sekitar pukul 23.00 WIB, ia mengantarkan dua orang ke wilayah Panularan, Laweyan dari Taman Sriwedari. Saat itu terdapat bioskop yang ramai dikunjungi orang.

Di perjalanan, salah satu di antaranya menanyakan apakah Amin memiliki tetangga yang bisa massage alias memijit. “Saya enggak paham, massage itu apa?” kenang Pak Min.

Setelah mendapat penjelasan bahwa massage adalah pijat, Pak Min langsung menyatakan bisa. Padahal, sebenarnya ia tak memiliki tetangga berkeahlian semacam itu. Pak Min juga menanyakan persyaratannya. Si penumpang becak tersebut menyatakan persyaratan untuk menjadi juru pijit adalah membuat surat lamaran dan data penunjang lain seperti riwayat pendidikan. “Katanya kalau mau daftar harus pagi. Soalnya mereka berlatih mulai pukul 07.30 WIB,” ucap Pak Min.

Kedua penumpang becak tersebut belakangan ia ketahui bernama Eduard Tjong dan Ricky Yacob (Ricky Yacobi), dua pilar utama Arseto saat itu. Saat itu, Edu dan Ricky baru saja menonton film dan minta diantarkan ke Mes Arseto.

Pagi harinya, Pak Min nekat berangkat ke mes tersebut mengendarai becaknya. Ia hanya mengenakan celana pendek. Ia bertemu Danurwindo (mantan pelatih Timnas Indonesia). Ia kemudian menyatakan keinginannya melamar sebagai tukang pijat. “Pak Danur tanya ‘mana lamarannya?’ saya jawab ini ada 10 jari. Katanya yang daftar harus punya pendidikan,” tuturnya.

Meski terkendala pendidikan, Pak Min tak menyerah. Ia justru berterus terang tak punya pendidikan cukup. Namun Danur ngotot tak mau menerimanya.

Pak Min mencoba meyakinkan Danur dengan unjuk kebolehan. Di depan Danur, Pak Min menyebut ada tiga pemain Arseto yang sedang cedera. Pak Min juga menunjukkan di mana kamar mereka, dan semuanya benar. Bahkan ia bisa mendiagnosa bahwa tiga pemain itu sedang cedera engkel, knee, dan pinggang.

Mengetahui hal itu, Danur terkesima. Ia lalu memberi kesempatan Pak Min untuk memijit ketiganya. Masing-masing pemain dipijit selama satu jam. Uniknya, para pemain tersebut menyatakan pijitan Pak Min enak. “Tiga pemain itu kemudian menghadap Danurwindo dan mengatakan saya [Pak Min] pintar memijit,” tutur Pak Min berkisah.

Danur kemudian memberikan uang senilai Rp50.000 kepada Pak Min. Menurut Pak Min, pada masa itu, Rp50.000 tak akan bisa didapatkannya dengan menarik becak selama sebulan. “Tapi saya minta maaf, belum mau menerimanya. Saya bilang, kasih saya waktu satu pekan. Kalau mereka sembuh, saya bersedia menerima uangnya,” ujar Pak Min.

Benar saja, lima hari setelah itu ketiga pemain sudah siap dimainkan. Pak Min pun menerima bayaran tersebut. Ia juga ditawari menjadi tukang pijat klub dengan gaji Rp50.000/bulan. Hanya saja, ia harus seharian penuh di mes Arseto untuk memberikan perawatan kepada para pemain.

“Mulanya saya minta Rp75.000. Tapi setelah ditimbang, klub itu kemampuannya cuma bayar Rp50.000. Katanya juga kalau ada kompetisi ke luar Solo, saya akan dapat uang saku dengan syarat saya ikut. Saya pun menerimanya,” kata dia.

Pak Min menjadi tukang pijit tim sejak 1984 sampai 1996, menjelang bubarnya Arseto. Saat kali pertama bekerja, usia Pak Min masih 34 tahun.

Ia kemudian dikenal sebagai tukang pijit andal. Semua cedera otot pemain bisa dia tangani. Pak Min mengaku paling banyak menangani cedera engkel, lutut geser, dan lainnya.

Di Arseto, Pak Min tak hanya memijit para pemain tapi juga pelatih. Dalam sehari, minimal terdapat 11 orang yang ia pijit. Masing-masing orang dipijit selama satu jam. Ini artinya Pak Min menghabiskan 11 jam sehari untuk memijit.

“Jumlah pemainnya kan 22, saya bagi separo-separo. Kalau ingat masa-masa itu, kok ya saya dulu kuat ya? Hahaha,” ujar Pak Min sambil terkekeh. Ia menilai tak ada duka saat bersama Arseto. Ia justru merasa bahagia bisa menjadi bagian Arseto.

Arseto memberinya jalan rezeki. Setidaknya, hasil bekerja di Arseto membuatnya mampu menyekolahkan dua anaknya hingga perguruan tinggi dan memiliki beberapa rumah. “Tanpa Arseto, entah saya jadi apa sekarang,” kata dia.



Pak Min juga memiliki hubungan baik dengan para pemain hingga sekarang sehingga dia sering diundang saat Arseto bereuni. Sejak dulu, Pak Min sering mengingatkan para pemain Arseto agar tidak berfoya-foya demi masa depan yang lebih panjang. Mereka juga pernah “menggila” bersama di masa keemasan Arseto.

“Bentuk penghargaan kepada Arseto itulah yang membuat saya tetap menggunakan embel-embel Arseto di belakang nama saya,” kata dia.

Salah satu mantan pemain Arseto, Sri Widadi, mengakui kemampuan Pak Min sebagai tukang pijat andal. Ia termasuk salah satu pemain yang paling sering cedera otot dan Pak Min-lah yang memijitnya hingga sembuh.

“Saya ini termasuk pemain yang sering cedera. Pernah otot paha belakang tertarik. Pernah pula ada masalah dengan otot paha depan dekat tulang kering,” kata Sri Widadi saat ditemui solopos.com di Stadion Sriwedari, Jumat (1/2/2019).

Ia menaruh hormat kepada Pak Min karena dikenal sebagai seorang yang loyal dan tak pernah mengeluh. Padahal, ia dan para pemain lainnya hampir setiap hari dipijit, khususnya setelah pertandingan. “Pak Min itu gaji mundur enggak apa-apa. Orangnya tak pernah mengeluh,” terang Sri Widadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya