SOLOPOS.COM - Anicetus Windarto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Bukan kebetulan bahwa, meski masih diliputi suasana pandemi Covid-19, sejumlah daerah di negeri ini dilanda bencana hampir secara berturut-turut. Mulai dari musibah kecelakaan pesawat Sriwijaya Air, disusul dengan tanah longsor di Sumedang, banjir Kalimantan Selatan, gempa di Sulawesi Barat, dan erupsi Gunung Semeru.

Hal itu tentu memberi tanda yang cukup jelas bahwa ada skenario (scenario) yang dapat dijabarkan dari beragam pemandangan (scene) bencana tersebut. Dalam salah satu kajian semiotik berjudul Loyola, Sade, Fourier (1971), Roland Barthes menunjukkan bahwa dalam sebuah skenario terdapat beragam tanda yang mampu memperlihatkan apa dan siapa yang sesungguhnya sedang tampil.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dengan kata lain, tanda-tanda yang mengonstruksi letusan gunung berapi, gempa, banjir, dan/atau tanah longsor bukan sekadar merupakan musibah, melainkan bagian dari perubahan alam semesta untuk mencapai keharmonisan. Maka, dalam kerangka skenario itu, segala hal yang selama ini ditandai sebagai bencana perlu dimaknai ulang dengan menempatkannya sebagai pemulihan alam semesta.

Singkatnya, dibutuhkan dekonstruksi bencana agar kita tidak semata-mata memandangnya sebagai sumber penderitaan, tetapi peringatan untuk jeli dan waspada terhadap kerusakan alam yang sudah tak tertanggungkan lagi. Penting untuk diketahui bahwa dekonstruksi bukan sekadar pembalikan atau bahkan resistensi, penggugatan, dan penolakan terhadap hierarki oposisi biner.

Artinya, apa yang selama ini dipandang sebagai bencana tidak semata-mata ditentang, bahkan dibuang begitu saja, namun justru ditunjukkan bagian mana dari pandangan itu yang membuat bencana sekadar dianggap sebagai ancaman atau bahaya daripada suatu berkat atau rahmat.

Di sinilah dekonstruksi menjadi salah satu skenario yang dibutuhkan agar keyakinan  tidak mudah menjadi mitos dan sukar digoyang bahkan dengan pengetahuan sekalipun. Maka, untuk dapat menjadi kritis dan tajam, skenario yang dekonstruktif terhadap makna bencana diperlukan dengan pegangan teoretis sebagai berikut.

Pertama, memahami sifat differance atau diferans dari makna bencana. Di sini bencana yang terlanjur dimaknai sebagai sumber malapetaka telah menjadi konstruksi kekuasaan yang menyebar secara meluas. Karena itulah, perlu dikaji ulang dengan cara membuat di satu sisi pembedaan (to differ) dan di lain sisi penundaan (to defer).

Dalam konteks ini, bencana yang umumnya mengakibatkan kerusakan dan penderitaan tidak serta-merta dapat dipersamakan dengan suatu ancaman atau bahaya sebab berkat letusan gunung berapi, misalnya, justru alam di sekitarnya mendapat limpahan bahan-bahan material seperti pasir atau bebatuan yang dapat dimanfaatkan secara alami.

Jadi, pemaknaan bencana sebagai pembawa malapetaka perlu diidentifikasi kembali agar tidak terjadi pembekuan dan/atau pembakuan terhadapnya. Kedua, redefinisi terhadap makna bencana. Cukup jelas bahwa bencana yang telah dikonstruksi sedemikian rupa, khususnya melalui wacana ilmu pengetahuan, justru mengakibatkan pemaknaan yang berkonsep serba dikotomis.

Itulah mengapa pemaknaannya selama ini sering kali kontradiktif, tidak lengkap, tidak selesai, dan ambigu. Bahkan, tak jarang pemaknaannya itu seolah-olah hanya merupakan kompromi belaka terhadap pihak-pihak atau aparatus yang telah banyak diuntungkan sebelum terjadinya bencana.

Contohnya, para pengusaha pertambangan batu bara atau perkebunan sawit yang terbukti telah mengakibatkan perusakan tanah dan hutan seperti di Kalimantan Selatan. Begitu pula dengan para pengusaha perkebunan teh di kawasan Puncak, Bogor, yang tak bisa diabaikan jelas telah mengakibat beragam perubahan dalam struktur dan daya tahan tanah sebagai penyangga kawasan konservasi itu.

Jadi, makna bencana semakin menjadi ambivalen dan kehilangan pesan sebagai dering peringatan kritis. Ketiga, mengarifi makna bencana yang kompleks dalam konfigurasi kekuasaan. Sulit untuk dibantah bahwa makna bencana, terutama di tengah pandemi global Covid-19 saat ini, adalah bagian dari produk ilmu pengetahuan.

Sumber daya dan infrastruktur keilmuan lebih didominasi oleh para pakar dari Barat yang lebih sering memarginalkan para pakar dari Timur. Itulah mengapa makna bencana tidak lebih bermanfaat daripada sekadar alat atau perangkat untuk memamerkan pengetahuan yang pada dasarnya berorientasi eksklusif  dan esensialis.

Tak mengherankan makna bencana hanya ditampilkan sebatas malapetaka yang lebih menumbuhkan kecurigaan yang bersifat esensialis terhadap alam semesta daripada ulah segelintir manusia yang serakah. Dengan ketiga pegangan tersebut, barangkali kita perlu mulai belajar secara dekonstruktif dari bencana demi bencana yang tidak dapat diprediksi kapan dan di mana akan terjadi.

Hanya dengan pendekatan itulah segala paradigma, metode, dan alat bantu untuk memahami hubungan-hubungan kekuasaan dapat dipraktikkan dengan lebih tajam dan dalam, apalagi dalam skenario dekonstruksi, makna bencana mampu dijelaskan tanpa perlu memasang jebakan yang menyembunyikan kompleksitas konfigurasi kekuasaan pada era global ini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya