SOLOPOS.COM - Ilustrasi guru memberikan materi online untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan sekolah. (Antara-Rivan Awal Lingga)

Solopos.com, KARANGANYAR — Pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai Sabtu (3/7/2021) hingga Selasa (20/7/2021). Kebijakan yang diberlakukan selama dua pekan itu menyasar kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali.

Tujuan utama program PPKM Darurat berupaya memutus mata rantai persebaran Covid-19. Secara sederhana PPKM Darurat ini melarang sejumlah kegiatan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Solopos.com merangkum sejumlah perbedaan penerapan aturan pada PPKM Darurat dengan PPKM Mikro. Aktivitas masyarakat yang sebelumnya diperbolehkan selama PPKM Mikro kini dilarang.

Baca juga: Karanganyar Dapat Jatah 1.000 Dosis Vaksin Untuk Anak 12 Tahun ke Atas, Begini Cara Daftarnya

Sebagai contoh, pemerintah melarang penyelenggaraan hajatan atau resepsi pernikahan dalam bentuk apa pun. Padahal sebelumnya pemerintah tidak melarang kegiatan tersebut.

Selain hajatan, pemerintah juga memberikan catatan untuk kegiatan peribadatan, kegiatan seni, sosial, budaya, dan kegiatan lain. Salah satu yang krusial adalah kebijakan penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM).

Pada PPKM Mikro, pemerintah pusat masih memberikan kelonggaran kepada pemerintah daerah yang termasuk kategori hijau kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka diizinkan menyelenggarakan tatap muka terbatas.

Baca juga: Sepekan PPKM Darurat, Mobilitas Warga Karanganyar Diklaim Turun 90%

Berbeda kondisi dengan kabupaten/kota yang termasuk kategori merah, kuning, maupun oranye kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka dilarang melaksanakan PTM atau diizinkan tetapi didahului dengan uji coba PTM.

Nah, pada PPKM Darurat ini, pemerintah tidak mengizinkan PTM pada zona warna apa pun bahkan hijau. Seluruh kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring atau online.

Padahal, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, pernah mengumumkan PTM terbatas pada Juli 2021. Apabila mengacu agenda, pendidikan punya gawe tahun ajaran baru pada Senin (12/7/2021).

Semua Kegiatan Daring

Pemerintah daerah menyambut kebijakan itu dengan suka cita. Mereka berbenah dan mempersiapkan sebaik-baiknya agar memenuhi syarat menyelenggarakan PTM terbatas. Akhirnya, semua persiapan itu sirna. Pemerintah pusat melarang PTM.

Tahun ajaran baru identik dengan siswa baru, pengenalan sekolah, dan segudang kegiatan lain. Pada kondisi normal, semua kegiatan dilakukan secara tatap muka di sekolah. Tetapi, pada kondisi darurat saat ini, semua kegiatan dilaksanakan secara daring.

Kondisi itu terjadi di seluruh kabupaten/kota yang menerapkan PPKM Darurat. Tidak terkecuali Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.

Baca juga: Terus Berbagi di Tengah Pandemi Ala Komunitas dan Pemdes di Karanganyar

Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Karanganyar, Endang Trihadiningsih, menuturkan pemerintah tidak bisa mengambil risiko terhadap kesehatan peserta didik.

“Kondisi Covid-19 makin tinggi akhirnya PTM belum berani diadakan. Semua berpulang keselamatan, kesehatan siswa, guru, dan tenaga pendidik. [Pembelajaran jarak jauh] PJJ lagi,” kata Endang saat berbincang dengan Solopos.com, Senin (12/7/2021).

Di sisi lain, kebijakan PJJ atau pembelajaran daring membawa konsekuensi serius terkait kualitas pendidikan. Pada akhirnya, kualitas pendidikan berpengaruh terhadap kualitas peserta didik.

Kualitas PJJ dan Tatap Muka

Pada beberapa kesempatan Solopos.com mengobrol dengan sejumlah pemerhati dan pelaku pendidikan. Mereka seolah sepakat kondisi pendidikan saat ini darurat. Mereka menyoroti kedaruratan kualitas pendidikan dan mau tidak mau membandingkan PTM dengan PJJ.

“Tapi kan kondisi ini [pandemi Covid-19] tidak hanya dialami Karanganyar saja. Pak Menteri saja mengakui kualitas PJJ dan tatap muka itu lebih baik tatap muka. Memang kualitas [pendidikan] menurun,” ungkapnya.

Tetapi, Endang meyakinkan bahwa guru dan tenaga pendidikan berada di bawah sumpah profesi untuk berupaya mempertahankan kualitas pendidikan dalam kondisi apa pun. Sayangnya, hal itu tidak sejalan dengan infrastruktur.

Baca juga: Asa Seribuan Pembatik di Desa Wisata Batik Girilayu Karanganyar Dongkrak Perekonomian

“Idealnya kualitas tetap tinggi apa pun yang terjadi. Tapi infrastruktur memengaruhi pelaksanaan. Mau tidak mau harus menyampaikan kalau [kualitas pendidikan] menurun, tapi tidak drastis. Untuk mengatasi ini, kami berkoordinasi dengan orang tua murid,” jelasnya.

Orang tua mengambil peran sebagai motivator agar anaknya mau belajar meskipun dalam kondisi darurat dan serba terbatas. Endang menyebut peran orang tua sama pentingnya dengan guru di masa pembelajaran daring ini.

Salah satu peran krusial orang tua di rumah berkaitan dengan karakter anak. Dia mencontohkan hal sederhana terkait jam bangun anak selama PJJ. Anak cenderung bangun siang ketimbang saat PTM. Solopos.com teringat obrolan sejumlah bocah yang melintas di depan rumah.

Baca juga: Ribuan Santri Karanganyar Sudah Balik ke Ponpes, Tapi PTM Belum Boleh Digelar

Wah, aku sak suwene daring iki tangi awan terus. [Wah, aku selama pembelajaran daring ini bangun kesiangan]. Saiki tangi jam 09.00 WIB. [Sekarang bangun jam 09.00 WIB],” ujar bocah lelaki itu sembari terkekeh.

Endang mengamini hal itu. Anak-anak menjadi tidak memiliki kewajiban bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat ke sekolah sebelum jam 07.00 WIB, dan lain-lain.

“Dengan terlalu lama anak di rumah ini kan kadang karakter anak jadi berubah. Jadi tidak disiplin lagi, ya mungkin tata krama juga berubah. Biasanya harus bangun pagi, mandi, makan, sekolah. Sekarang bangun siang. Mungkin tidur kemalaman. Guru tidak bisa mengawasi lagi. Keluhan itu umum dan disampaikan sejumlah orang,” tutur dia.

Pembentukan Karakter Anak

Kepala SMKN Jenawi, Karanganyar, Sri Eka Lelana, sepakat dengan pernyataan Endang. Eka menyebut kondisi kedaruratan pendidikan saat ini berkaitan dengan pembentukan karakter atau psikologi anak. Saat ini, guru dan tenaga pendidik tidak lagi mengetahui perkembangan anak.

“Anak SMA/SMK itu proses mencari jati diri. Seharusnya butuh pembimbingan di sekolah. Pembimbingan dari guru, senior, wali kelas, dan lain-lain. Selama 1,5 tahun ini [pandemi Covid-19] proses itu [pembimbingan] hilang. Anak menemukan jati diri cenderung lari ke sosial media,” ujar Eka saat berbincang dengan Solopos.com, Senin.

Dampak dari ketidakhadiran sejumlah pihak dalam momen pembimbingan peserta didik di sekolah itu mengakibatkan lost generation atau kehilangan generasi. Eka menyebut para pemerhati pendidikan sepakat dengan istilah itu.

“Kognitif bisa dikejar tapi mental dan karakter anak tidak bisa didapatkan. Kami kehilangan anak-anak yang memiliki karakter,” ungkapnya.



Baca juga: Nyaris Meneteskan Air Mata, Bupati Karanganyar Ngaku Tak Tega Lihat Kondisi Masyarakat Saat PPKM Darurat

Tetapi, Eka meyakinkan pemerintah pusat melalui Pusat Pengembangan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek berupaya mengejar agar lost generation tidak menjadi momok selama PJJ. Salah satu cara yang dilakukan Puspeka adalah melahirkan program Agen Penguatan Karakter (APK).

APK ini adalah guru dan kepala sekolah terpilih yang dinilai memiliki inovasi, dedikasi, dan menginspirasi. Eka menyebut ada 139 APK di seluruh Indonesia. Di Jawa Tengah sendiri ada 23 orang. Salah satunya adalah dirinya.

“Harapannya dari APK ini bisa membantu menekan hilangnya karakter atau ideologi anak. Meskipun melalui cara terbatas, yakni daring. Lalu masuk lagi program Liga Kampanye Penguatan Karakter. Program dilaksanakan satu tahun pada 2021,” ceritanya.

Baca juga: Kisah Perjuangan Tancuti Cerdaskan Ibu-Ibu Buta Aksara di Karanganyar

Program tersebut berkonsentrasi pada empat hal, di antara Profil Pelajar Pancasila, perundungan di sekolah, kekerasan seksual, dan lain-lain. Profil Pelajar Pancasila sendiri mencakup enam hal, yakni Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, Berke-Bhineka-an Global, Bergotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis atau Berpikir Kritis, dan Kreatif.

“Program dijalankan di tengah keprihatinan, kedaruratan, dan ancaman kehilangan generasi. Maka dibuat melalui video, sosialisasi bersama stakeholder pendidikan. Pendekatannya penguatan kurikulum, salah satunya pembentukan karakter,” papar dia.

Pada akhir obrolan, Eka memang tidak bisa memastikan program tersebut bisa mencegah terjadinya kehilangan generasi sebagai akibat pembelajaran dengan metode baru. Tetapi, dia optimistis program tersebut sebagai cermin bahwa pemerintah tidak tinggal diam melihat potensi kehilangan generasi.

“Kalau dibilang menekan ya tidak sepenuhnya bisa karena bagaimanapun itu hanya gambaran. Tapi setidaknya ini bagian dari usaha meski tidak sepenuhnya menjawab kedaruratan pendidikan,” jelasnya.



Tak Terjangkau Jaringan Internet

Itu sekilas cerita dari sisi karakter anak. Mari kembali pada obrolan dengan Endang tadi yang menyebut bahwa infrastruktur juga mempengaruhi upaya guru dan tenaga pendidikan menjaga kualitas pendidikan selama PJJ. Solopos.com berbincang dengan Wakil Kepala (Waka) Kesiswaan sekolah menengah atas negeri (SMAN) Jumapolo, Karanganyar, Hartanta.

Sekolahnya berada di wilayah yang tidak sepenuhnya terjangkau jaringan internet. Maka laporan siswa yang mengalami kendala belajar selama PJJ itu menjadi hal biasa. Dia mencontohkan saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) pada Senin.

“Dari 360 siswa yang diterima, ada 317 siswa yang hadir dalam MPLS online. Sisanya [43 orang] tidak hadir secara online karena berbagai alasan. Ada yang karena kendala perangkat, sinyal tidak stabil, dan lain-lain,” tutur dia.

Baca juga: Meraba Konsep Merdeka Belajar di Tengah Pandemi

Hartanta membenarkan bahwa PJJ membuat kebiasaan anak disiplin waktu menjadi kendur. Tetapi, menurut dia, kondisi darurat ini tidak lantas menjadi alasan guru dan tenaga pendidik menjadi kendur memberikan pendidikan yang berkualitas kepada peserta didik.

“Kami pahamkan tentang kondisi darurat ini [kepada siswa dan orang tua]. Bapak, ibu guru dan tenaga pendidik juga menyesuaikan diri dengan kondisi serba daring ini,” tutur dia.

Jadi, kondisi darurat pendidikan selama pandemi Covid-19 ini tidak boleh kemudian menjadikan stakeholder di bidang pendidikan patah semangat memberikan pendidikan berkualitas kepada peserta didik. Malah, stakeholder pendidikan harus berlomba-lomba menciptakan inovasi agar kualitas pendidikan tetap terjaga di masa darurat ini.

“[Masa pandemi] Covid-19 ini sudah berjalan lebih dari satu tahun. Penyesuaian luar biasa. Teknologi ini tidak sepenuhnya buruk. Melalui teknologi bisa memantau kerja siswa dan memberikan treatment sesuai persoalan yang dihadapi,” urai dia.

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya